: espresso :

41 7 1
                                    

Akhirnya dengan pertimbangan yang dipertimbangkan kurang matang, aku terpaksa mengangguk setuju. Lagian, aku merasa sedikit lebih tidak khawatir karena dia adalah orang yang sama saat kejadian tertukarnya kopi kemarin.

Belum sampai setengah perjalanan, hujan turun. Dia membuka kaca helm dan kalau aku tidak salah dengar dia berkata, "hujannya deras, kita neduh dulu nggakpapa?" Aku yang sudah merasa perih karena rintik hujan menampar wajahku, hanya mengiyakan.

Tak berapa lama kemudian, ia menepikan motornya. Coffee shop yang kemarin? Aku sedikit terkejut, bertanya dalam hati kenapa orang itu memilih berhenti di tempat ini. "Gue masih inget lo, kopi kita yang ketuker. Jadi neduh di sini nggak ada masalah, kan?" Katanya saat kami sampai di tempat parkir. Aku mengangguk sekaligus terheran, ternyata dia masih ingat.

Kami langsung duduk setelah pesan kopi. Beruntung, tempat di pinggir jendela kaca besar yang menghadap langsung jalan raya masih menyisakan ruang. Dengan seragam yang sedikit basah karena air hujan, aku duduk mematung memperhatikan situasi di luar. Tadi aku sempat melirik laki-laki itu saat membuka jaket, dari name tag-nya bertulis Arsenio Darrel. Rasanya aku pernah mendengar nama itu, tapi entahlah.

Lalu, seorang karyawan datang membawa pesanan kami. Aku tidak tahu apa yang Arsenio itu pesan, karena ia tidak bertanya kepadaku sebelumnya. "Espresso dan double ristretto, silakan dinikmati." Karyawan itu meletakan satu cangkir kopi hitam di hadapanku dan Arsen bergantian, lalu pergi kembali ke tempatnya. Aku tidak terkejut kenapa dia memesan dua kopi tersebut.

Entah sudah menjadi kebiasaan atau apa, aku selalu menatap kopi lekat-lekat sebelum menikmatinya. Kali ini ada yang aneh. Lagi-lagi aku mendapat espresso, bukan ristretto! Lalu, aku menoleh ke arah Arsen yang sudah terlebih dahulu menatap kopi di depanku ini. Beberapa detik kemudian, kami tertawa kecil. Terkekeh menyadari kopi kami salah alamat. Aku lihat Arsen menggeser kopinya ke arahku, spontan aku melakukan hal yang sama kepadanya.

"Suka ngopi, ya?" Tanya Arsen setelahnya.

"Iya." Jawabku dengan mengangguk mantap, lalu mengalihkan pandangan darinya. Awal aku suka kopi, itu karena hasutan Adrasta. Dia sering mengajakku mampir ke kedai tanpa sepengetahuan Mama, sekadar untuk duduk-duduk manis katanya.

"Hujan gini sambil ngopi cantik itu nikmat banget, ya nggak?" Aku hanya mengangguk setuju. Betul sekali, hujan dan kopi itu perpaduan yang tidak bisa diganggu gugat serasinya.

"Oh iya, kenapa lo bisa sadar kalo kopi kita ketuker waktu kemaren juga tadi? Sedetail itu?" Sebenarnya aku tidak tahu ini normal atau tidak, Arsen terus saja menghujam dengan pertanyaannya yang aku jawab singkat. Padahal, kami bahkan belum berkenalan secara resmi, tapi bukan berarti juga aku sangat ingin.

"Saya emang udah sehati sama ristretto, jadi diliat lima belas detik-pun udah bisa bedain." Bukannya meninggi atau apa, tapi memang begitu. Dari dulu, aku sudah klop dengan ristretto, karena lebih menyukai kopi hitam tanpa ramainya campuran lain. Jika dibandingkan dengan espresso, ristretto memiliki rasa yang tidak terlalu 'nendang' dan kadar kafein yang lebih sedikit. Jadi, ya, lebih ringan.

"Gitu, ya? Lo nggak pengin eksplorasi rasa baru? Gue tau, loh, tempat yang racikan kopi lokalnya juara. Kayaknya, lo bakal suka kopi gayo." Kata Arsen setelah menyeruput kopi hitamnya. Kemudian aku menggeleng, rasanya kurang nyaman dengan tawaran seperti itu.

"Suka kopi, tapi nge-stuck sama satu rasa. Payah," Arsen menyesap kopinya sesaat, "cari rugi itu namanya. Tiap rasa punya ceritanya sendiri nantinya, kan?"

Aku terdiam mendengarnya. Benar, sayang sekali jika tidak menjelajahi rasa serta ceritanya. Dulu, aku pernah mencoba lungo saat datang ke kedai seorang diri. Saat itu aku sedang jengkel, dan sialnya lungo malah membuatku semakin getir, gelisah, berdebar, dan kondisi yang sangat tidak nyaman. Sejak itu, aku harus pikir berulang kali untuk mencicipi racikan lain.

"Oke-oke. Di mana tempatnya?" Aku jelas merasa ditantang karena sebetulnya tidak terima mendapat lontaran payah seperti itu. Jadi, akan kucari bukti untuk diriku sendiri bahwa aku tidak selemah yang dia kira untuk mendapatkan kejutan dari cita rasa baru.

"Id-line?"

" ... "

"Id-line lo, gue share lokasinya nanti."

"Tinggal bilang aja langsung, ribet banget."

"Ya udah sih, kalau nggak mau."

Dengan terpaksa, aku memberinya. Kalau bukan karena masalah kopi, sampai espresso jadi luar biasa manis pun tidak akan aku bagi. Demi apa, baru pertama kali bertemu dengan orang semacam ini. Selain karena jangkauan pergaulanku itu sempit, juga banyak yang hilang minat untuk kenal denganku. Mereka cenderung cepat-cepat menyelesaikan masalah denganku.

Tak terasa, butuh waktu tiga puluh menit untuk menunggu hujan reda. Kopi pun sudah habis, kami melanjutkan perjalanan untuk pulang. Setelah itu tidak ada percakapan, hanya suara kendaraan yang meramaikan.

"Gerbang item, yang catnya warna biru pastel." Aku menunjuk salah satu rumah saat kami masuk ke komplek. Arsen mengangguk, kemudian motornya menepi di sisi jalan, depan rumahku.

"Makasih, maaf kalo ngerepotin. Uhm, Ar ... sen?" Aku mengucapkan terimakasih setelah turun dari motornya yang agak tinggi, lalu melirik ke arah name tag-nya sambil mengangkat sebelah alis.

"Nio aja." Ia mengoreksi. Jadi, aku salah, harusnya memanggil Nio. Setelah itu, ia melaju pergi bertolak arah.

Aku membuka gerbang dan berjalan masuk ke rumah. Sepi, Mama dan Adra belum pulang. Dengan langkah gontai, aku masuk ke kamar dan langsung membersihkan diri.

Setelah mandi, aku merebahkan tubuh ke atas tempat tidur. Membuka ponsel malas, bahkan notifikasi dari beberapa akun sosial media gagal menarik perhatianku. Sayang, tak ada jejak dari Zian di sana. Aku berniat menghubungi Ane untuk memberitahu supaya tidak lupa mengerjakan tugas untuk besok, anak seperti dia terkadang sengaja lupa.

Alea Shaquina
Jangan lupa kerjain tugas, Bu Hana bisa ceramah dua jam kalo ada satu yang nggak ngumpulin.

Beberapa menit setelah pesan itu terkirim, terdapat panggilan masuk dari Ane. Aku mendengus malas lalu menolaknya.

Karina Meyshane
Iya iya
Angkat telponnya kek, gue kesepian dirumh ni.

Alea Shaquina
Ogah

Aku memang tipe orang yang enggan untuk berbicara langsung di telepon, lebih baik lewat pesan seperti ini. Pengecualian untuk Zian.

Karina Meyshane
Buset dah
Kalo zian pasti cepet bgt.

Alea Shaquina
:)

Karina Meyshane
Itu perasaan, bukan ubi
Jangan dipendem terus.
Dianya udh ada yg punya baru mewek.

Alea Shaquina
Dih apaan, jibang.

Karina Meyshane
Okey, u just fall in love with his mind.

Selalu gitu.


•••

Alea's playlist :

- Your guardian angel - The red jumpsuit apparatus
- Still into you - Paramore
- All out of love - Air supply
- Listen to your heart - Roxette

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PersonalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang