b(u)ll.y

4 3 2
                                    

Aku selalu melihat langit, siapa tahu hujan deras segera turun, dengan begitu hatiku menjadi sedikit tenang. Tapi mustahil, terik mentari menghanguskan hati, menanamkan duri, memuntahkan sekarung rasa benci.

Mata ini berusaha menahan airnya, pura-pura menguap, akhirnya kewalahan. Hujan deras turun dari mata, bukan langit.

Derai tawamu memekakan telinga, serak suaraku enggan keluar, perutku kembang kempis, nafasku tak beraturan. Aku menggigil, entah gejala demam atau karena takut.

Kau memegang erat pergelangan tanganku, temanmu yang lain menertawakanku, aku berteriak dalam hati, menangis tanpa suara, perih mataku.

Tawa, cercaan, dan hinaan perlahan hanya terdengar lamat-lamat. Semua gelap seketika. Ini mati lampu atau tiba-tiba aku buta?

Aku hanya pingsan. Tapi sudah mati sekarang, perasaanku.

***

Didedikasi untuk teman-teman yang pernah membuat aku berkata bahwa hidup tidak menarik sama sekali. Aku pernah ingin mati tapi kuputuskan aku tak perlu mati, yang kuperlukan hanya membuang teman-teman dan menarik diri dari keramaian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senandika Tanpa MaknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang