Jeon Wonwoo masih terdiam di ruang tamu. Bahkan setelah tiga jam berlalu semenjak ia sampai di rumahnya. Ada banyak hal yang menahan ia untuk tidak segera masuk ke kamar dan menata barang-barangnya. Sebagaian dari dirnya merasa asing dengan sagala hal di rumahnya. Tidak ada yang berubah di sana, hanya saja ia merasa kemirisan itu ketika melihat bebarapa bingkai foto yang terpampang di meja nakas. Ia tidak heran jika tidak ada dia di foto-foto itu, karena jika menilik ke belakang, memang tidak pernah ada dirinya di sana. Iya, ia tidak pernah ada. Dan sebagian lain dari dirinya masih dirubung rasa takut. Bahkan ia tidak sanggup menelan ludahnya sendiri. Tidak perlu mengingat hal yang ingin ia lupakan. Begitu ia berusaha menghipnotis dirinya. Namun kali ini ia tidak berhasil. Bayangan tentang adiknya masih tetap muncul.
"Wonwoo-ya"
Seakan terlepas dari renungan batinnya, ia tergelagap dan tidak menyadari bahwa ibunya sudah duduk di sampingnya.
"Kau sudah menemui Wonhoe?"
Oh, rupanya ibunya tidak mengerti dan tidak akan pernah mengerti kekhawatiran Wonwoo selama ini. Ia ingin menghindari pertanyaan itu jika bisa. Namun melihat senyum dan tatapan mengharap dari ibunya, ia tidak bisa tidak menjawabnya dengan tenang. Ia berusaha untuk tetap tenang di depan ibunya.
"Belum, bu. Aku merasa lelah, jadi aku langsung ke sini. Lagi pula masih banyak kesempatan."
"Kalau begitu sekalian saja kau menemuinya saat ia ulang tahun. Kita merayakannya bersama."
Sial. Wonwoo lebih tidak menginginkan ide itu.
"Hyung! Kau sudah berjanji."
"Hyung, aku tidak bisa mempercayaimu lagi. Sungguh. Kali ini aku benar-benar membencimu!"
"Hyung, kau pantas mendapatkan semuanya!"
Kilasan-kilasan itu muncul tanpa bisa dicegah dan seketika memenuhi pikiran Wonwoo. Benaknya tidak bisa tenang hingga suara ibunya pun tidak ia hiraukan. Wonwoo mencoba untuk memejamkan matanya, berharap bayangan-bayangan itu segera lenyap. Sayangnya, tidak segampang itu. Jika sebelumnya ia dapat dengan mudah mengusir bayangan itu dalam pikirannya, kali ini berbeda. Ia berada di tempat bayangan itu berasal. Tempat yang ia hindari dari dulu. Ia tidak takut. Sama sekali tidak. Hanya saja Wonwoo merasa sesak tiba-tiba dengan kemunculannya.
Dan ia tidak ingin mati karena itu. Bagaimana pun juga ia harus mulai terbiasa dan akan lebih baik jika ia mulai melupakannya dengan sempurna.
Oleh karena itu ia pulang. Iya, pulang ke rumah kelahirannya setelah hampir lima tahun menetap di Melbourne, Australia. Bohong jika alasannya pulang adalah karena ingin menemui ibunya yang memang. Ia mengakui dengan jelas bahwa dirinya benar-benar anak durhaka yang sama sekali tidak berkeinginan bertemu dengan keluarga bahkan ibunya sekalipun.
Tetapi bolehkah Wonwoo membela dirinya sendiri? Ia tidak ingin dianggap yang paling jahat dalam cerita ini. Sungguh Wonwoo selalu mengira bahwa dirinya adalah pemeran utama. Tapi nyatanya ada Jeon Wonhoe di sampingnya yang memiliki langkah lebih panjang darinya, sehingga dapat memiliki segalanya dengan mudah. Ia tidak memiliki apapun. Bahkan Tuhan yang menciptakan ceritanya.
"Wonwoo-ya! Kenapa kau masih di situ?" tanya Ibu Wonwoo yang ternyata sudah beberapa menit yang lalu berada di depan mesin jahitnya, selagi Wonwoo masih terjerat oleh benaknya sendiri.
"Eoh? Kenapa eomma?" tanyanya linglung.
"Apa yang kau pikirkan? Cepat taruh barang-barangmu di kamar, setelah itu makan siang. Eomma sudah memasakkan beberapa menu kesukaanmu."
"Iya, tapi aku akan mandi terlebih dahulu. Rasanya badanku lengket semua."
"Ya sudah, terserah kamu."
Akhirnya dengan sedikit keengganannya, ia beranjak menuju kamarnya. Bahkan langkahnya terasa semakin berat ketika sebuah pintu di pojok lorong menampakkan diri. Namun mau bagaimanapun ia harus melawan kontra dari benaknya. Dengan sekali hembusan nafas ia buka pintu itu dan segera memposisikan dirinya pada tempat tidur. Mencoba untuk langsung terlelap tanpa harus melihat keadaan kamar itu.
Sialnya hal itu tidak berhasil. Hingga setengah jam berlalu ia masih saja terjaga dengan segala keresahannya. Bahkan ia melupakan niat awalnya untuk mandi.
Oh, ia tidak akan bisa mengakhiri semuanya jika ia terus menerus menjadi pengecut seperti ini. Aku harus memberanikan diri, pikir Wonwoo untuk ke sekian kalinya.
Merasa jengah dengan dirinya sendiri, ia mulai bergerak dan membereskan barang-barangnya, memasukkan pakaiannya ke lemari. Pandangannya terhenti pada selembar foto yang terletak di antara lipatan bajunya yang dulu. Fotonya bersama Wonhoe tujuh tahun yang lalu. Sebelum dirinya pergi ke Australia untuk mengejar gelar Magister di bidang Arsitektur.
Dan pada dasarnya itu merupakan salah satu dari berbagai alasan Wonwoo untuk meninggalkan rumah itu. Jika boleh dikatakan ia melarikan diri ke negeri itu, mungkin benar. Ia tidak sanggup mengatasi kekacauan yang ada di sini. Oleh karena itu ia memilih pergi, berusaha melupakan dan meninggalkannya di belakang. Berharap waktu berlalu dan ia akan melupa dengan cepat. Tapi nyatanya mustahil. Buktinya ia masih enggan untuk datang ke rumah itu.
Setelah selesai membenahi barang-barangnya, segera dengan langkah lebar, Wonwoo menuju ruang makan di mana sudah tersedia banyak masakan khusus dari ibunya yang tertata rapih di meja. Wonwoo ingat betul bahwa ibunya berkata ia memasakan menu masakan kesukaannya. Tapi yang ada ia justru berusaha untuk tidak membalikkan meja itu sekarang juga. Seharusnya ia sadar, bahwa ia tidak pernah memiliki masakan kesukaan. Iya, ia tidak berhak untuk memilikinya, Wonwoo pikir.
Kali ini Wonwoo akan mengambil langkah yang berbeda.
"Eommaa.." panggil Wonwoo dengan nada merengek. Tidak lama kemudian ibunya muncul dari balik dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang makan.
"Ada apa?" tanyanya kemudian. Merasa janggal dengan sikap Wonwoo.
"Katanya Eomma memasakkan menu kesukaanku? Mana?"
"Hey, kau sedang nglindur? Itu di depanmu kau anggap apa?"
"Ini bukan makanan kesukaanku. Hanya Jeon Wonhoe yang sanggaup memakan makanan seperti ini."
"Ada apa denganmu? Gadis Australia telah mencuri ingatanmu ya?" tanya ibunya meledek.
"Eomma! Aku serius."
Oh Tuhan, Wonwoo bahkan geli dengan sikapnya sendiri. Ia bukan tipe orang yang gampang merengek.
"Kau kan dulu pernah bilang, apapun yang disukai oleh Wonhoe kau juga akan menyukainya. Jangan merengek seperti anak kecil seperti ini! Dulu kau tidak pernah protes tentang apapun. Sudahlah, makan saja yang ada." ujar ibunya sebelum pergi lalu menghilang di balik dinding pembatas.
Wonwoo mengakui, ia terlalu cepat untuk melangkah.
Pengecut, memang. Ia dilahirkan sebagai pengecut. Ia tidak akan mengatakan tidak suka, meski sebenarnya ia sangat suka. Ia akan tetap diam, meski sebenarnya ia marah. Ia akan menurut, meski sebenarnya ia tidak setuju.
Ia akan tersenyum, meski sebenarnya ia ingin menangis.
Bahkan di depan Wonhoe sekalipun.
Sekarang bolehkah Wonwoo jujur dan mengatakan kepada ibunya bahwa ia tidak ingin bertemu Wonhoe? Boleh. Tapi ia tidak cukup berani untuk sekedar bersuara.
(Maaf yah kalau ceritanya muter-muter. lagi cari plot yang pas aja biar ngga bikin bosen. meski mungkin kalian udah pada bosen bacanya kkkkkk :') )
adakah di antara kalian yang bingung dengan jalan cerita ini nantinya bakal kek gimana? jujur aja, aku sendiri juga bingung haha. engga deng.
bingung deng (haha/apasih?). sebenernya pengen cepet2 sampai ke moment hayoung sama wonwoonya, tapi kalau langsung kesitu, ceritanya jadi agak aneh dan terkesan memaksa. jadi ya begini lah...
maaf atas celotehan yang ngga bermutu ini )
-Habbang-
KAMU SEDANG MEMBACA
Delusion
FanfictionCast Jeon Wonwoo Oh Hayoung Oh Sehun Jeon Wonhoe kali ini aku ngga bakal masangin sehun sama hayoung sebagai sepasang kekasih ( hehe maaf buat oh couple shipper) melainkan sebagai kakak adik. Bukan tanpa alasan kenapa aku jadiin oh couple sebagai...