⭕ Feel

57 8 3
                                    

  Tugas Cerpen
Judul : Feel
Pengarang : Dyah
Id Wattpad :  i_yel_yel

Banyak yang mengatakan bahwa terkadang cinta itu datang karena terbiasa. Tapi kenapa  aku tidak merasakan cinta meskipun aku sudah bersamanya terlampau lama. Selama tiga tahun bersama bukan perasaan cinta yang kurasakan. Tapi perasaan lainnya, perasaan yang membuatku ragu akan perasaanku sendiri.

Terkadang aku merasa bahagia berada di sampingnya, menatap matanya yang menyipit saat tertawa, lesung pipitnya yang ketara saat ia menyunggingkan senyumnya dan pundaknya yang selalu membuat sandaran kepalaku kelewat nyaman.

Namun dibalik itu semua. Hatiku mencelos saat ia dengan tanpa dosanya menceritakan tentang seseorang lain yang entah sejak kapan hadir di tengah-tengah kisahku dengannya. Seseorang yang mungkin telah lama berdiam diri di hatinya, hati yang hanya ia yang tau akan menjadi milik siapa.

"Lama banget. Dasar cewek," gerutunya saat langkah kakiku berhenti tepat di samping bangku yang ia duduki.

"Maaf. Tadi ketiduran," jawabku lalu mengambil duduk di sampingnya.

"Oh."

"Ada apa? Tumben ngajak kesini. Biasanya juga kamu kerumah kalau ada apa-apa," tanyaku dengan nada heran dan tatapan mata yang tak lepas darinya.

Ia tersenyum tipis hingga lesung pipitnya ketara, namun samar.

"Nggak usah senyum kaya mas-mas Indomaret, Ta. Geli liatnya," ucapku selanjutnya sembari membuang pandanganku kesegala arah.

"Tapi kamu suka kan?" ledeknya dengan siku menyenggol pelan tanganku.

Tuh tau. Batinku. "B aja," dustaku.

"Tadi kamu kesini naik apa?" tanyanya seperti sengaja mengalihkan topik.

"Grab," singkatku dengan nada ketus. Menutupi perasaan aneh yang tiba-tiba menerpa hatiku.

"Yaudah. Nanti sama ibu, kamu disuruh ke rumah," ucapnya yang membuat wajahku kembali berpaling ke wajahnya.

"Ada acara?" tanyaku. Karena sering sekali aku diundang ke rumahnya, terutama saat ada acara.

"Masa mau minta kamu datang harus nunggu ada acara dulu. Siapa tau ibu lagi ingin dekat sama calon menantunya," jawabnya dengan nada tanpa dosa.

"Oh. Yaudah nanti aku datang," ucapku sebagai tanda persetujuan.

"Gitu doang? Nggak baper?" tanyanya dengan raut muka heran.

"Buat apa?" tanyaku cengo.

"Ya... apa gitu," ucapnya salah tingkah. Kedua bahunya naik lalu turun lagi.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi setelah ia mengucapkan itu, sebuah perasaan baru tiba-tiba kembali menerpa hatiku. Perasaan campuran yang aku tak tau apa namanya? Baper? Entahlah. Aku belum pernah.

"Kamu setuju nggak kalau aku jadian sama Grace?" celetuknya.

Dan entah kenapa perasaan aneh tadi tiba-tiba lenyap dan digantikan oleh perasaan aneh yang lainnya. Yang masalahnya aku sendiri tidak tau perasaan macam apa itu.

"Ya... kenapa tanya ke aku,Ta? Bukannya kamu emang sudah punya niat untuk itu?" tanyaku balik. Karena sejujurnya di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak akan pernah setuju dengan pemikiran Nata yang satu itu. Entahlah. Aku juga bingung.

"Kalau kamu nggak setuju seperti ibu, aku akan turuti. Tapi, kalau kamu setuju mungkin aku bakalan kasih tau ke Grace tentang perasaanku," ucapnya.

Aku mengangguk pelan lalu mengulum bibirku. Merasakan perihnya tertusuk beribu jarum pintal yang merajam hatiku sesaat setelah ia mengucapkan kalimat itu.

"Gimana, Ar? Kamu setuju atau nggak," tanyanya lagi.

"Nggak," jawabku sedikit tercekat.

"Nggak setuju?" tanyanya mencari kepastian.

"Nggak tau mau bilang apa," jawabku dengan kepala menunduk.

Aku mendengar helaan nafasnya. Seperti sebuah helaan nafas lega akan sesuatu yang ternyata sesuai dengan apa yang ia inginkan.

"Ternyata ibu benar, Ar." Celetuknya setelah itu.

Aku mengangkat kembali kepalaku lalu menoleh ke arahnya. "Benar kenapa Ta?" tanyaku selanjutnya.

"Kalau kamu memang pantas. Pantas menjadi prioritas," ucapnya ambigu diakhiri senyum yang selalu menampakkan lesung pipitnya.

Aku mengernyit bingung. Sebagai seorang gadis yang belum pernah menyecap sebuah hubungan, perkataan manis dan ambigu serta gombalan aneh yang kadang dilontarkannya menjadi sesuatu yang harus otakku cerna setiap harinya.

Nata kembali menyinggungkan senyumnya. Kali ini lebih lebar dan lesung pipit miliknya tercetak jelas.

"Jangan bilang kalau kamu nggak paham," ucapnya. Dan sialnya aku mengangguk mengiyakan.

"Dasar jomblo dari orok kamu, Ar." Kekehnya lalu mengacak-acak gemas rambut pendekku.

"Ibu ingin kita lebih dari teman. Dan tentunya aku juga ingin hal tersebut," ucapnya lagi.

Aku terdiam. Perasaan itu kembali. Perasaan yang selalu datang di saat aku selalu bersamanya, kembali.

"Tapi kenapa bukan Grace yang ibu kamu minta?" tanyaku polos. Aku butuh sesuatu untuk menjernihkan otakku kembali.

"Ibu lebih suka aku jalan sama kamu daripada sama Grace. Jadi yah... begitu lah. Dalam kata lain, ibu merestui kita," ucapnya dengan binar mata bahagia.

"Tapi kita masih sekolah. Dan tahun depan kita sudah tidak satu almamater lagi, Ta." Rancauku. Aku takut ada sesuatu yang terjadi di hubungan ini. Mengingat ini adalah yang pertama bagiku.

Nata mendesah lalu memutar pundakku agar bisa berhadapan dengannya.

"Kita jalanin dulu, Ar. Siapa tau kita memang jodoh. Kalau kita tidak berjodoh, kasih aku kesempatan buat jaga kamu. Meskipun aku tau bahwa aku sedang menjaga jodoh orang lain," ucapnya. Entah kenapa lagi-lagi seribu jarum pintal kembali merajam hatiku saat ia mengatakan kalimat yang terakhir.

"Tapi aku takut memulainya, Ta." Rancauku lagi.

"Kita mulai sama-sama. Meskipun nanti kita jauh," ucapnya meyakinkan. Senyumnya yang manis kembali tersinggung di bibirnya. Dan ternyata senyumnya lambat laun menular. Aku pun ikut tersenyum. Meskipun samar.

"Jadi.. Arni mau kan jadi pacarnya Nata?" tanyanya masih dengan senyuman manisnya.

"Iya. Arni mau, Ta." Jawabku pelan dengan sekali tarikan napas.

Nata tersenyum lagi, lalu dengan gerakan pelan ia menghalauku untuk dipeluknya. Rasanya nyaman dan hangat. Lebih nyaman dibanding dengan sandaran di pundaknya.

"Ar... aku sayang kamu," bisiknya pelan.

Aku tersenyum di pelukannya. Dengan malu-malu aku melongkarkan tanganku ke tubuhnya.

"Aku juga sayang sama kamu, Ta." Gumamku sebagai jawaban sembari mengeratkan pelukanku.

Sekarang aku sadar bahwa aku memang salah menilai hatiku. Aku terlalu naif untuk mengungkapkannya. Terlalu takut untuk menyadari bahwa sebenarnya aku memiliki perasaan yang lebih untuknya. Terlalu takut bahwa perasaanku ini bertepuk sebelah tangan. Dan telalu takut untuk memulai sesuatu.

Dari Arni untuk Nata...
-Sampai bertemu saat LPD di Akpol Semarang-

Cangkir MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang