Dua

41 7 17
                                    

POTONG RAMBUT

Kirana duduk dia atas kursi rias kamarnya. Sejak pagi, Sasha sudah datang ke rumahnya entah untuk berbuat apa.

Kirana disuruhnya anteng, sedangkan dia sendiri malah sibuk mengutak-atik smartphone.

"Ran, wifi lo, bermasalah nggak sih? Kok dari tadi loading nggak selesai-selesai, sih?" tanya Sasha kesal. Ia mengayun-ayunkan benda pipih persegi panjang itu ke udara. Mencari signal katanya.

"Oh, iya, Sha. Udah hampir dua bulan nggak diisi sama ayah, kenapa?"

Dengan gerakan lambat, Sasha menoleh ke arah kirana. Melirik temannya dengan sorot ekspresi aneh, menggunakan ekor matanya.
"Makasih, lho, Ran."

"Abisnya, kamu nggak tanya dulu, sih. Main pake-pake aja."

"Kan ini demi kepentingan lo, Kirana!" Ucap Sasha. Ia berusaha menjangkau layanan google sekarang, demi mencari beberapa cara yang akan ia gunakan dalam 'misi' kali ini. Namun wifi rumah kirana mati. Tidak diisi hampir dua bulan.

"Jadi?" tanya Kirana.

Sasha berpikir sejenak, kemudian ia melihat jam dia atas nakas,"Gue ada ide lain, sih. Tapi apa lo mau?"

Tatapan Sasha beralih pada gunting yang terdapat pada wadah pensil diatas meja belajar Kirana. Kirana ikut melihatnya, ekspresinya sedikit aneh.

"Aku nggak yakin, Sha."

  •••

Sekolah memang masih sepi, tapi tidak jarang ada siswa yang berjalan melewati koridor. Sebagian dari mereka menatap dua orang gadis yang sedang berjalan beriringan. Penampilan mereka sedikit mirip, hanya salah satunya sedikit menarik perhatian.

"Kalo gini caranya, temenin aku ke koperasi, yuk, beli masker. Daripada kayak gini." Ucap Kirana yang mulai tidak nyaman. Lumayan banyak siswa yang menatapnya aneh, ia merasa sedikit risih.

"Kenapa, sih, Ran. Nggak papa, kali. Mereka itu terlalu terpesona sama lo. Liat, lo cantik gini." Sasha memilin rambut Kirana, ia berusaha menenangkan hati dan pikiran sahabatnya. Ia tau ini sedikit sulit bagi Kirana.

Ketika hampir sampai di depan kelasnya, Kirana merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu yang ia inginkan, sekaligus ia takutkan.

Tepat di depan pintu kelas, Kirana menggenggam tangan Sasha kuat-kuat. Tapi Sasha tau, tugasnya hanya sampai disini. Ia harus enyah. Dan Kirana harus menjalankan rencanaya sendiri, menghadapi sang monster 'utama'.

Jo tersenyum. Tangannya terulur untuk menjamak tangan Kirana secara halus. Kirana tau, ia harus mengikuti saja apa yang dilakukan Jo nanti.

Ketika hendak membuka suara, ia teringat perkataan Sasha tadi.
"Inget, Ran. Lo harus pake bahasa 'lo gue', jangan 'aku kamu'. Jadi diri lo yang lain, buat dia se-ilfeel mungkin."

Suaranya agak bergetar, "Selamat pagi, Jo."

Jo menatap heran. Ia mendekatkan tubuhnya pada Kirana. Kirana metutup matanya. Bukan karena ia berpikiran kotor akan dicium, tapi karena, ya, mata Jo terlalu tajam untuk ditatap.

"Pagi. Ada apa, hmn?" Tangan jo menyelipkan anak rambut Kirana yang sedikit acak-acakan ke telinga. Mengusap kepalanya lembut." Ada apa denganmu?"

Kini, setiap siswa yang melewati mereka menatap dengan banyak ekspresi.

Kirana membuka matanya. Sedikit mendongak ke atas agar dapat menatap mata Jo. "Emn... gue, nggak papa."

"Kenapa...jadi pendek?"

"Emn.. pengen aja." jawab Kirana 'sok' acuh.

Ya, rambut Kirana kini pendek. Tidak terlalu pendek memang. Rambut lurus yang sebelumnya sepinggang dan selalu dikepang, kini berubah menjadi lebih pendek, yaitu selengannya--digerai. Jelas Jo merasa sangat aneh.

Ini semua ulah Sasha. Dan Kirana merasa bodoh karena telah mengikuti teman gilanya itu.

Jo mengerutkan dahinya, ada rasa bingung disana. Lalu sepersekian detik setelahnya, ekspresinya normal kembali.

Jo menurunkan tangannya dari pipi Kirana, lalu menarik Kirana menuju kelas. Kelas Kirana.

Mereka duduk bersebelahan, dengan dua kursi di dekat jendela. Matahari semakin naik, wajah Kirana terkena sorotan sinar cahaya yang semakin terang. Jo tak melepaskan pandangannya sedetik pun.

"Apa ini?" tanya Jo ketika melihat gelang yang berwarna sangat kontras dengan pergelangan tangan kiri Kirana. Itu bukan gelang yang selalu dipakai Kirana. Itu bukan gelang pemberiannya. "Dimana?"

Beberapa siswa yang sekelas dengan Kirana mulai berdatangan. Tapi mereka tidak masuk, melainkan berdiri berjejer-jejer di sepanjang koridor. Tentunya mereka tidak akan berani masuk ke dalam kelas yang sekarang sedang disambangi oleh 'bandit' sekolah.

Kirana ikut melihat tangannya. Ia mulai bisa mengatur dirinya.
"Gelang baru. Gelang dari lo.. ak--, gue buang. Gue nggak suka."

Wajah Jo berubah merah. Ekspresinya dingin. Ia menatap manik mata Kirana dengan lekat.
"Maksud kamu, apa?" tanya Jo dingin. Alisnya terangkat sebelah.

Kirana mengalihkan pendangannya ke arah lain. Ia sungguh tidak pernah mampu menatap mata hijau Jo. Kirana hanya mampu diam.

Tiba-tiba Jo mencengkram tangan kiri Kirana. Mencengkram tepat di bagian gelang itu berada.

"Ssh, sakiit, Jo. Au.." ringis Kirana menagadu.

Tapi Jo tidak peduli.

Tak lama setelahnya, siswa-siswi di luar kelas bercicitan tak jelas.

Jo memeluk Kirana. Memeluk dengan erat.

Kirana beku. Ia bingung. Kenapa Jo memeluknya? ini seharusnya tidak terjadi. Seharusnya Jo marah dan meninggalkannya, bukan malah memeluknya begini.

Tuhan, kenapa skenarionya salah?!

"Seberusaha apapun kamu menjauhi aku dengan cara begini, aku nggak akan terperangkap jebakanku sendiri, Kiran. Mengerti?!"

Jo tersenyum miring.

•••

Gaje ya? Emang. Saya juga ngerasa gitu. Tapi yaudah lah. Kalo ada Typo, kritik, atau saran, komen aja, ya😊

KaisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang