Lluvia menatap pria tua di hadapannya dengan air muka yang sulit di artikan, keningnya terkerut. Untuk beberapa saat memejamkan matanya, mencerna kembali apa yang baru saja pria itu sampaikan.
Lagi-lagi Dante meminta keluarganya untuk menetap di Italia, ia berdalih usianya yang tak lagi muda. Membuat dirinya tak lagi bebas untuk berpergian jauh dari keluarganya. Setidaknya jika gadis kecilnya menolak untuk menikah, mereka bisa menetap di salah satu kota kelahiran Dante.
Dan untuk kesekian kalinya Lluvia menolak, ia memiliki tanggung jawab di perusahaan tempatnya bekerja. Dan satu hal terpenting, makam Antonio ada disini. Gadis itu memilih untuk diam, bukan karna dirinya tidak mengerti keadaan sang kakek. Hanya saja meninggalkan ayahnya sendirian di kota ini, akan sangat membuatnya terluka.
"Kita bicarakan lagi nanti," putusnya, sebelum ia berdiri meninggalkan ruang kerja sang kakek dengan gusar.
Gadis itu tengah berkeliling, memasuki satu persatu pertokoan yang berjajar di pinggir kota London. Mencari furniture untuk hunian yang tengah ia tangani. Langkahnya terhenti di sebuah toko sederhana, matanya berbinar ketika menatap perabot kuno di setiap sudut toko. Sebuah meja tua dari kayu mahoni yang begitu elegan, serta masih begitu kokoh menjadi pusat perhatiannya. Ini sesuai dengan keinginan clien, gadis itu bergegas menemui sang pemilik. Mereka berbincang dengan santai, pemilik toko tersebut adalah seorang pria lanjut usia yang sangat ramah. Pria itu menjelaskan segala barang yang ia jual, kualitas serta darimana furniture itu berasal.
Lluvia mantap membeli satu set meja kayu dengan kursi kayu berbalut kulit dengan warna coklat gelap, begitu menenangkan setiap dipandang. Rasanya ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk memanjakan matanya, menatap perabot- perabot kuno. Langkah kecilnya terus menyusuri rak kayu, dengan tatanan rapi. Memperlihatkan berbagai koleksi perabot kecil seperti vas bunga serta lampu kamar cantik era 80an.
Terdengar suara lonceng pintu, menandakan ada pengunjung yang datang, sambutan ramah dari penjaga toko terdengar seiring masuknya orang tersebut. Lluvia masih sibuk melihat beberapa lampu tidur cantik saat pria tua pemilik toko memberikan bukti pembelian pada dirinya. Dia berterimakasih, meja itu akan dikirim pada alamat yang telah tertulis di kertas bukti pembelian.
Ketika kakinya akan melangkah keluar meninggalkan toko, seseorang menghentikannya. Memanggil namanya dengan sedikit berteriak. Membuat Lluvia menoleh.
"Lluvia," dia tersenyum, menghampiri gadis yang kini tengah berdiri mematung. Menatapnya dengan bingung, "Lluvia Carmine,"
"Maaf,"
Lluvia mengeryit semakin bingung, menatap pria tampan di hadapannya yang tengah tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Kau melupakanku?"
"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, tuan?"
Pria itu kini terkekeh geli, masih sama. Gadis kecil pelupa, namun dapat mengingat semua ilmu yang disampaikan oleh pelatih kursus mereka.
"Kau ingat dengan seorang anak remaja yang menemanimu setiap sore di bangku taman Painfull?" pria itu menghela nafas pasrah, ketika tatapan Lluvia masih terlihat sama, "Ini aku, Trevor Harland"
Gadis itu terbelalak, bibirnya terbuka untuk beberapa saat namun segera ia tutup dengan telapak tangannya, pria di hadapannya tersenyum senang. Menyadari kini dirinya tengah memperlihatkan raut wajah yang begitu lucu.
"Mengapa tidak memberitahu, jika kau telah kembali," gadis itu berdecak kesal. Saat mereka telah duduk bersama di outdor caffe kecil dengan dua cangkir espresso yang masih mengepulkan asap panas. Bersama aroma nikmat menyeruak dalam indra penciuman mereka.
"Bagaimana caranya memberitahu, jika alamat rumah baru mu saja aku tidak tahu,"
Gadis itu tersenyum meringis, menyadari kebodohannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EN LA Lluvia
Random••••• Jika cinta seperti hujan ••••• Maka aku tidak ingin sebodoh hujan. Gadis itu terlihat tanpa jiwa, begitu kosong, di bawah tetesan hujan. Mengenggam payung hitam yang melindungi tubuhnya. Seakan tak mengizinkan setetespun air hujan menyentuh k...