Bag 2

21 6 0
                                    

°°Jika cinta seperti hujan°°
Maka aku tidak ingin sebodoh hujan, yang terhempas jatuh menyentuh bumi


Lluvia mengempaskan tubuhnya di atas ranjang. Merenggangkan seluruh bagian tubuhnya yang menegang karna terlalu lama duduk dan mengerjakan tugasnya. Calla datang dengan segelas susu hangat, wanita paruh baya itu mengusap puncak kepala cucu kesayangannya, memberikan gadis itu waktu untuk meneguk habis minuman yang ia bawakan. Lluvia memeluk tubuh sang nenek dengan nyaman, melepaskan semua penatnya dalam kehangatan tubuh Calla. Ia tersenyum, benar-benar mirip dengan Antonio semasa kecil batinnya.

"Sudah mengunjungi ayahmu hari ini?" Lluvia mengangguk pelan, tanpa sepatah katapun.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" Calla kembali bertanya, membuat gadis yang bermanja manja dalam pelukannya menatapnya dengan senyum simpul.

"Berjalan dengan baik."

"Gadis pintar, sekarang ganti pakaianmu dan beristirahatlah"

Calla mendaratkan kecupan hangat di kening cucu semata wayangnya, mengusap lembut pipinya lalu pergi meninggalkan kamar Lluvia.

•–––––•

Disisi lain sebuah makan malam mewah tengah di gelar. Kediaman keluarga Lemington malam ini terlihat ramai, tak seperti biasanya. Putri tunggal kelurga Lemington terlihat begitu cantik dan mempesona. Duduk bersanding dengan pria yang tak lama lagi akan menjadi suaminya. Keluarga mereka tengah bertemu,membicarakan pesta pernikahan yang tidak lama lagi akan di gelar.

Kara, begitu sapaan akrabnya. Wanita yang telah memasuki usia akhir tiga puluhan tahun itu. Tersenyum dengan anggunnya. Wanita cantik yang nampak awet muda, hingga siapapun tidak akan percaya jika dirinya telah memasuki usia lebih dari kepala tiga. Wanita itu sempurna tanpa celah.

Berbeda dengan Fabian yang sedari tadi gusar, menatap layar ponselnya yang terus berdering, memperlihatkan nama sang kekasih. Pria itu tidak nyaman dengan sikap Kara yang selalu menempel padanya. Demi apapun dia merasa terganggu pada sikap wanita yang tengah bermanja-manja memeluk lengannya.

Wanita itu akan bersikap sangat manis dan anggun saat berada di hadapan orang tua Fabian, namun sebaliknya jika mereka hanya berdua. Kara akan melompat kedalam pelukannya, bergelayut manja di dadanya. Tanpa perduli tatapan penuh ketidak sukaan yang ia berikan.

"Kenapa mengabaikan panggilanku? bahkan pesan singkat dariku pun tidak mendapat balasan," Pria berperawakan tegap, dengan kulit putih susu yang tak kalah tampan dari Fabian mengomel kesal.

Pria itu duduk bersandar di sofa apartemen mereka. Bukan sepenuhnya milik dia, Fabian memberikan hunian itu kepada dirinya sebagai hadiah di perayaan ke tiga hubungan keduanya.

Fabian mendaratkan pantatnya disamping kekasihnya itu, menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Dia memijat keningnya secara perlahan.

"Maafkan aku,"

"Wanita itu terus menempel padamu?" ia bertanya dengan nada penuh kecemburuan, dia tahu tentang rencana pernikahan kekasihnya dengan wanita itu.

Pria tampan itu menghembuskan nafasnya pelan. Beranjak pergi meninggalkan Fabian, dan memilih masuk kedalam kamar.

Fabian memandang kepergiannya, dengan gusar pria itu mengusap wajahnya kasar. Dia tidak mungkin meninggalkan kekasih yang begitu ia cintai. Namun ia juga bukanlah anak durkaha yang melawan amanat dari keluarganya.

EN LA LluviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang