Canggung.
Itulah yang saat ini Dilan rasakan ketika duduk di sofa yang sama dengan Rangga.
Dilan tidak mengerti kenapa ia tahan duduk di sini selama sepuluh menit memperhatikan TV yang tidak menyala, ataupun kenapa Rangga langsung bungkam setelah mandi. Dilan yang clueless, berusaha mengurut semua hal yang salah dari ucapannya terdahulu, diam-diam di dalam benaknya.
'Kalau kamu mau basah-basahan bareng cuma karena saya satu tingkat sama abang kamu, lebih baik kalau kamu tetap di luar. Dan jangan anggap kalau kita ini keluarga.'
Ah, benar. Dari sana rupanya.
Lantas kalau bukan keluarga, mereka harus dalam konteks yang bagaimana?
Rekan kerja? Mereka bahkan tidak pernah satu frame.
Teman? Oh, tidak. Terimakasih sekali. Mereka punya jalur yang berbeda.
Katakanlah Dilan pengecut, ia tidak punya keberanian untuk come out ataupun memproteksi diri seperti Rangga, makanya ia menggunakan skill berdramanya di depan publik. Entah bersama Milea, atau dengan gadis bule di Amerika sana, Dilan tidak masalah. Ia harus bersembunyi sampai bisa mendapatkan kekuatan di kakinya sendiri.
Seperti Rangga.
Hanya saja, Rangga tidak tahu betapa Dilan memujanya. Bahkan Dilan sendiri tidak bisa menghitung dengan persis sejak kapan hal ini terbentuk.
Di saat seperti ini, ponsel Dilan berdering. Entah sebagai penyelamat atau perusak, pemuda itu memilih tidak menggubris panggilan yang ia tahu tentunya dari Milea. Gadis itu punya banyak waktu luang untuk menghubungi Dilan, sepertinya yang selalu punya kesempatan untuk menggombali Rangga.
Sampai panggilan ketiga, Dilan menekan tombol daya dan ponselnya mati sekarang.
"Kenapa nggak diangkat?"
Butuh beberapa detik untuk Dilan memastikan kalau Rangga betulan bertanya padanya. Namun karena segan, ia tidak berani untuk menoleh apalagi menatap. Dilan menurunkan lengan yang sempat menutupi matanya, mendesah berat.
"Lagi nggak dalam mood yang bagus untuk bicara sama Lia, Om."
"Oh,"
Hening lagi.
Bahkan Dilan tidak tahu alasan apa lagi ia harus tetap berada di rumah Rangga.
Well, ada. Ia harus tahu kenapa Rangga tiba-tiba hening di sore seterik ini. Atau kenapa mereka tidak jadi masak-masak, atau kenapa mereka harus diam-diaman seperti pasangan ABG yang baru terciduk berzina. Dilan perlu tahu.
"Saya bakal minta maaf duluan," oke, Dilan berani menoleh sekarang. "Buat banyak hal."
"Uhm, okay..." Dilan tidak langsung merasa tenang, karena ia belum tahu sebabnya. "At least, give me a reason."
"Its too much, i guess." Rangga membungkuk, membiarkan lengannya bertumpu pada lutut. Ia bahkan menunduk, dan Dilan memperhatikannya. "Tapi saya nggak mau kita ada dalam circle keluarga. Sama sekali nggak ada niatan kesana."
Oh, benar. Masih dengan hal yang sama.
Dilan mengerti sekarang kalau hal itu benar-benar sensitif untuk Rangga.
Ia mengerti. Karena ia juga memikirkannya semalaman.
Mereka memikirkannya semalaman.
"Aku akan memilih buat dengarkan Om dulu." Dilan mencoba tersenyum, Rangga mengangkat kepala namun tetap tanpa ekspresi. "Dan kita memang harus bicara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stigma
RandomRangga adalah seorang artis papan atas, ia punya segala hal yang diinginkan semua pria normal. Namun entah darimana datangnya, gosip tentang dirinya seorang gay atau homoseksual mulai merebak secara cepat. Santer tanpa kontrol. Sementara Dilan yang...