SEMBILAN BELAS

26 6 0
                                    

Written by : Zulfa_Fauziyyah

Bangunan berlantai tiga di depannya tampak ramai. Anak-anak berpakaian putih abu-abu terlihat berlalu lalang dengan santai. Sementara, siswa-siswi angkatan baru terlihat canggung dengan seragam putih biru mereka. Windi memperhatikannya dengan seksama di balik kaca mobil.

Akhirnya dia kembali menghadapi rutinitas meski belum sepenuhnya siap. Mobil Xenia silver itu berhenti, tepat di depan gerbang.

"Nanti kalau mau pulang telpon Mama ya, Kak," pesan pria paruh baya yang ia panggil Papa.

Windi mengangguk. Dilepaskannya sabuk pengaman yang sedari tadi menahan tubuhnya. Cepat-cepat ia menarik ranselnya di atas dashboard sebelum mencium tangan Tomi.

Setelah Windi say goodbye pada ayah dan kedua adiknya, gadis itu berjalan santai di koridor sekolah. Setiap langkah kakinya, ia terus tersenyum pada beberapa anak yang dilaluinya. Ia berdiri di depan pintu kelas 11 IPA 1 untuk mencari namanya. Tidak ada. Dia berlanjut ke kelas berikutnya. Tidak ada juga.

Ia mendesah, hingga tiba-tiba tangannya ditarik oleh seorang gadis manis berambut sebahu. Gadis itu berteriak dan memeluk Windi erat-erat.

"Windi, kita sekelas lagi!" teriaknya kencang.

Gadis itu adalah Lina. Windi mengernyit melihat kelakuan temannya itu. Hal itu tidak bertahan lama, kini gantian Anin yang menelusuri setiap jengkal tubuh Windi.

"Kok beda? Lebih ... anggun. Nggak kayak Windi yang bawel dan suka dandan kayak dulu," ungkapnya sambil menunjuk tubuh Windi.

Windi tertawa kecil. "Iya. Menurut lo gimana? Apa gue keliatan jelek?"

Lina mengibas-ngibaskan tangannya. "Enggak kok. Lo tetep cantik. Cuma jadi agak pendiem aja. Ada apa nih?"

"Nggak pa-pa. Oh ya, by the way, kelas kita di mana?"

Lina menepuk jidatnya, sekarang wajahnya terlihat sangat sumringah. "11 IPA 3. And guess what...." Ia tersenyum kecil, mendekatkan tubuhnya ke arah Windi dan berkata, "Kita sekelas sama ... Akmal!"

Windi langsung shock. Padahal ia berharap tidak sekelas dengan Akmal tahun ini atau tahun depan. Ia merasa nelangsa.

"What? Akmal! OMG, kenapa harus sekelas sih?" jeritnya.

"Lo kenapa sih, Win? Bukannya lo suka sama Akmal? Sekarang sekelas sama dia malah elo khawatir gini. Ada apa sih?" desaknya.

"Nggak ada apa-apa. Gue cuma... cuma bosen aja sama dia. Lagian dia juga nggak respect gitu sama gue, so, mending gue cari cowok lain aja," dusta Windi.

Lina menyipitkan matanya saat menatap Windi. "Yakin gara-gara itu?"

"Enggak! Eh, maksud gue iya," jawabnya kikuk.

"Win...."

Windi semakin resah. Tatapan Lina benar-benar membuatnya tak berkutik. Kini jantungnya berdebar kencang. Pikirannya berdebat sendiri. Antara bilang terus terang atau diam saja. Windi mengusap keningnya khawatir. Ia melirik sekilas pada sahabatnya itu.

"Oke. Gue emang boong sama elo. Gue punya masalah besar. Dan masalah itu bikin gue harus lupain perasaan gue ke dia. Gue ... gue...."

Windi panik. Dia tertekan. Melihat itu, Lina berjalan mendekat, pandangannya yang semula menyelidik sekarang berubah khawatir. Ia merangkul Windi dalam pelukannya.

"Udah, udah. Gue minta maaf, gue nggak akan tanya-tanya lagi soal ini sampai elo siap. Oke?"

Windi mengangguk. Diusapnya pipinya yang mulai basah.

MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang