Written by : Noorah91
Peluh masih memenuhi wajah Windi, gadis itu baru saja selesai latihan cheers untuk pertunjukannya minggu depan bersama tim basket saat pertanding final.
"Win, gue balik duluan ya! Lo dijemputkan nanti?" tanya Sasa-teman satu cheerleader Windi.
Gadis itu melambaikan tangannya yang disambut Windi dengan anggukan.
Dengan langkah tenang Windi berjalan menuju ruang ganti, ia ingin bersih-bersih dan mengganti pakaiannya terlebih dahulu.
Derrt ... derrttt
Suara getaran dari ponselnya, menunjukkan sebuah chat.
My Mom
Kakak maaf, mama gak bisa jemput. Di butik lagi banyak orderan sayang. Kalo gak kecapean kamu mampir ke sini ya. Ni dua bocah juga lagi pada maen gulung-gulungan.Windi
Ok Ma!Windi langsung bergegas menuju gerbang sekolah yang terlihat sudah sepi. Biasanya Pak Dimin-sang penjaga-selalu menutup gerbang pada pukul 6 sore. Beliau mencegah hal-hal yang tidak diharapkan. Terlebih SMA Alamanda adalah salah satu sekolah favorit dengan fasilitas lengkap. Termasuk ada lebih dari 200 komputer di ruang praktek. Jelas akan sangat berbahaya jika saja gerbang utama dibiarkan terbuka hingga larut malam.
Tangan mungil Windi menghentikan angkutan umum berwarna merah, jurusan butik sang mama. Sepanjang perjalanan ada beberapa anak dengan seragam SMP yang tengah berbisik-bisik sambil memperhatikan penampilan Windi yang hanya mengenakan kaos putih dengan perpaduan jaket batik solo, ditambah celana denim dengan garis batik warna senada dengan jaket di kedua sisinya. Pastilah mereka terpesona, Windi selalu mendesain pakaiannya sesuai imajinasi dan menggunakan bahan yang ada, tepatnya bahan sisa potongan gaun yang tak dipakai oleh mama-nya.
"Keren banget sumpah, kira-kira beli di mana ya?" salah satu siswi yang mengenakan jaket hoody berbisik ke temannya yang duduk di sebelah kanan.
"Tanya aja deh mending, gue juga mau." Teman yang satunya menimpali.
"Kok gue sih? Mending lo aja, kan biasanya yang suka kepo tuh elo." Siswi yang duduk di tengah mengguncang-guncang tubuh temannya yang duduk paling pojok.
Mendengar percakapan keempat anak SMP itu, membuat sebuah senyum kecil terbit di wajah Windi.
"Kak, boleh kita tanya gak?" gadis yang duduk di pojok menatap Windi, senyumnya mengembang.
"Ya?" Windi pura-pura tak mengerti pertanyaan yang akan disampaikan.
"Jaket kakak bagus banget deh. Kita suka banget sama warnanya, bahannya juga Indonesia banget. Kelihatan keren," ucap gadis tadi dengan sedikit menelan salivanya lalu kembali melanjutkan, "kalo boleh tau, kak beli dimana ya? Kami pengen soalnya!" lanjutnya yang langsung diangguki kedua temannya yang lain.
"Oh ini, kalian bisa mampir ke WMT Boutique di jalan Ahmad Yani."
"Wah makasih ya, Kak." Windi mengangguk lalu turun tepat di depan butik sang mama.
"Assalamualaikum."
Si kembar, Marco dan Tiffany yang sedang asik berguling-guling diantara banyaknya tumpukan kain menoleh kemudian langsung berhamburan menghampirinya.
"Kawin ...," teriak keduanya seraya loncat-loncat kegirangan.
"Kalian gak nakal 'kan?"
Kedua anak itu menggelengkan kepala seirama. Senyumpun terlukis di wajah lucu mereka.
"Emang bener, Ma?" Dira-sang mama hanya mengangguk dan tersenyum jahil.
Tangannya diketuk-ketukkan di atas bibir seperti sedang berpikir apakah Marco dan Tifa berbuat kegaduhan atau tidak sejak tadi siang.
"Emmm, sebenarnya sih mereka gak nakal, Kakwin. Cuma ...," Dira menggantungkan kalimatnya sejenak sambil melirik kedua anak bungsunya, "mereka mindahin gulungan benang ke pojok. Jadi mama cukup kesulitan saat nyari." Senyum jahil Dira kembali mengembang. Dilihatnya si kembar menundukkan wajah dalam-dalam. Bahkan sesekali tangan mereka sengaja saling menyenggol.
"Hayoo ketauan," goda Windi, "jadi, harusnya kalian bilang apa sama mama?" Ia melipat kedua tangannya di depan dada.
"Sorry." Marco dan Tifa menghampiri Dira. Kedua tangannya menjepit telinga masing-masing. Puppy eyes yang mereka tunjukkan seperti benar-benar merasakan penyesalan telah membuat sang mama repot akibat ulah mereka.
Dira mengangguk, yang langsung membuat si kembar bertepuk tangan. "Yey ... thanks mom!" Keduanya hampir mengecup pipi Dira. Namun, belum juga mendarat kecupan di pipi Dira, suara Windi menginterupsi.
"Eits, tapi kalian harus dapat hukuman," ucapnya. Windi memungut sebuah kotak karton berukuran sedang untuk kemudian disodorkan ke hadapan kedua adik kembarnya itu.
"Masukin lagi benangnya ke sini. Baru abis itu kita makan spageti meat ball, setuju?"
Marco dan Tifa saling pandang sebelum kemudian berteriak, "Ay, ay, Captain!"
***
Rumah dengan nuansa orange itu terlihat begitu asri. Dua pohon mangga tumbuh rimbun di dua sisi depan. Sementara gerbangnya terbuat dari besi dengan tanaman sulur yang merambat dan penuh bunga. Ada taman kecil di bagian samping depan dengan sebuah ayunan dua kursi kanan dan kiri sebagai pelengkapnya. Sebuah kolam berada di dekat dinding pembatas dengan beberapa jenis ikan menari-nari di dalamnya. Gemericik air menambah suasana menenangkan rumah Tomi, ayah Windi.
"Kak, Co laper!" tangan pemuda kecil itu mengusap-usap perutnya yang sedikit buncit.
"Tifa juga." Adik kembarnya turut melakukan hal yang sama. Pipi keduanya terlihat menggemaskan, membuat tangan jail Windi tak pernah bisa berhenti untuk mencubitnya.
"Iya, sebentar lagi. Kak mau rebus brokolinya dulu. Kalian sana cuci tangan dulu, terus siapin piringnya, ya!" Marco dan Tiffany mengangguk. Dengan cepat mereka berlarian menuju wastafel.
"Assalamualaikum." Suara Tomi dan Dira mengucap salam.
"Wa'alaikumussalam Mama, Papa ...." Si kembar berlarian kembali menghampiri orang tuanya dengan tangan yang masih basah.
"Kawin masakin apa nih buat makan malem kita?" tanya Tomi, yang langsung mengecup kening putri sulungnya.
"Win masak spageti meet ball sama brokoli rebus. Ada tempe mendoan juga kentang goreng kesuakaan mama sama papa."
Senyum Dira tak bisa dibendung. Wanita itu mengistirahatkan kepalanya di bahu sang suami. "Makasih ya Kakak selalu bantu mama. Love you." Kecupan hangat mendarat di kening Windi.
"Love you always mom. You my heart!" pelukan keduanya semakin lengkap saat Tomi, Marco, dan Tiffany ikut bergelayut. "By the way, kita kayak gini terus .... makannya kapan nih?" bisik Tomi yang langsung mendapatkan tawa keempatnya.
Semua duduk berhadapan dengan menu makan malam, ala chef Windi. Marco dan Tiffany terlihat begitu semangat menikmati spageti dengan daging cincang yang dibentuk seperti bola-bola kecil. Mulut mereka terlihat penuh, dengan garpu yang terus mereka masukkan ke dalam mulut kecilnya. Terlihat lucu jika diperhatikan. Dira dan Tomi lebih menyukai tempe stik, dengan irisan daun bawang, daun mint, daun kemangi, dan daun jeruk. Memadukannya dengan adonan dari terigu, tepung maizena, dan tepung kanji. Yang membuat teksturnya begitu krispi.
Setelah selesai menikmati santapan, Windi membantu Dira mencuci peralatan kotor. Sedangkan Tomi membantu si kembar membuat PR. Suasana rumah terasa nyaman dan damai. Keriuhan selalu terjadi saat kelakuan jail Marco yang selalu mengusili Tiffany yang berakhir terdengar tangis dari mulut mungil kembarannya.
Windi bahagia. Meskipun ia tidak pernah mengenal siapa ibunya dan tidak hidup dalam gelimang harta, keluarga kecil mereka selalu memberinya banyak hal untuk disyukuri. Gadis itu menatap keluar jendela sembari sesekali tangannya menulis untaian kalimat indah yang sering ia tuangkan dalam buku harian.
Bibirnya menyunggingkan senyum.
Teruntuk kamu sang kelabu
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror
Fiksi RemajaWe fall in love with people we can't have. Ada sebuah cerita dibalik setiap manusia. Ada alasan yang mengapa mereka berbeda. Masa lalu telah menciptakan mereka, dan kadang, mustahil untuk bisa memperbaikinya. Seperti aku, jatuh cinta pada orang yan...