#5

26.6K 3.1K 409
                                    

“Kalau dikasih pertanyaan sama guru Matematika, isi kepala gue mendadak sepi, kayak ruko tutup, sampai suara jangkrik aja bisa kedengaran. Terus jantung gue berdebar lebih cepat, kayak orang yang lagi jatuh cinta.”
—Aksara, yang selalu grogi kalau ditanya Guru.

***

AKSARA
Jakarta, 10 Juli 2018
Penyanyi kafe melantunkan lagu Perfect milik Ed Sheeran yang membuat Opang bersenandung ringan, sementara matanya sejak tadi terpaku ke arah kanan, ke arah meja di mana ada tiga orang wanita dewasa muda yang sedang berbincang dan sesekali tertawa sampai suaranya sedikit mengganggu konsentrasi gue sejak tadi.

Gue menyandarkan punggung ke sandaran kursi, lalu meraih cangkir kopi untuk meninggalkan penatnya mengetik nama-nama teman SMA yang kira-kira penting untuk gue undang ke acara resepsi pernikahan nanti.

Ada sekitar lima puluh nama yang sudah gue ketik, sedangkan masih tersisa beberapa kelas lagi yang belum gue buka file buku tahunannya. Sevanya menyuruh gue untuk menyeleksi teman-teman yang memang kenal dekat, jadi yang hanya kenal selewat nggak usah diundang katanya. Dan kayaknya gue harus mengerucutkan lagi nama-nama yang sudah gue list tadi.

“Gue lihatin daritadi, cewek-cewek di samping nggak berhenti foto-foto, ketawa, ngomong kencang-kencang kayak di rumah sendiri. Ganggu banget, deh.” Akhirnya Rian mengomentari tingkah cewek-cewek di samping yang daritadi juga diperhatikan Opang.

“Ini namanya generasi baru,” ujar Opang sambil sesekali masih melirik ke arah kanan, cewek-cewek itu.

“Generasi baru apaan?” tanya gue setelah menyimpan kembali cangkir kopi ke meja.

“Generasi perempuan yang otaknya mengkerut lari ke dada,” lanjut Opang.

“Kampret!” Gue melempar gulungan tisu kotor ke wajah Opang.

“Jadi daritadi lo lihatin apanya sih, Pang?” tanya Rian. “Heran gue.”

“Eh, gue nggak lihatin sampai segitunya, ya,” sanggah Opang, santai. “Gue hanya mengemukakan pendapat gue tentang hal pertama yang melintas di kepala saat lihat cewek-cewek itu,” jelasnya.

“Dan hal pertama yang melintas di kepala lo semesum itu?” tanya gue.

“Nggak berubah,” sindir Rian.

Opang tersenyum miring. “Menurut penelitian, laki-laki akan lebih cepat merespons dengan kepala bawah daripada kepala atas ketika melihat sesuatu yang menarik.”

“Penelitian darimana, tuh? Baru denger gue!” Rian sewot.

Perdebatan mereka berlanjut, sementara gue, nggak bisa ikut campur lagi karena adanya sebuah panggilan masuk di ponsel. Sevanya, menelepon lagi. Ini, dia kenapa hari ini jadi rajin banget neleponin gue?

Gue berdeham sejenak, lalu menyapa dengan suara dibuat manis, “Halo, Sayangnya Akang.” Diabetes-diabetes deh dia sekalian.

“Hadiah pertama yang kamu kasih buat aku apa, Kang?” tanya Sevanya. Ini cukup mengejutkan, ya? Nggak ada salam, nggak ada sapaan balik—boro-boro merasa tersanjung sama sapaan gue barusan,  dan nggak ada basa-basi, tiba-tiba dia menodong gue dengan pertanyaan semacam itu.

“Kok tiba-tiba nanya gitu?” tanya gue, heran.

“Katanya, buat obrolan MC di resepsi pernikahan kita nanti, bakal ada kayak flashback gitu sewaktu kita pacaran dulu,” jelasnya. “Aku cuma mau ngetes kamu aja, sih. Masih ingat apa nggak?”

Percaya nggak, pertanyaan semacam ini lebih sulit dari teka-teki Cak Lontong? Jawabannya kadang nggak terpikirkan, bikin serba salah, dan membuat gue ingin menyerah saja. Gue menggumam cukup lama, berpikir, lalu menjawab, “Cokelat?” Suara gue terdengar ragu.

Aksara Sevanya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang