#13

21.5K 3K 672
                                    

Untuk kamu, iya kamu. Kita nggak sedang hidup di dunia sinetron yang kalau kamu berbisik di dalam hati, semua orang bisa dengar, kan? Jadi, mari bicara.”
Aksara dan Opang, yang kadang sejalan.

***

SEVA
Jakarta, 19 Agustus 2010
Aku duduk di sofa ruang tamu setelah dipersilakan oleh seorang wanita yang kuterka merupakan asisten rumah tangga rumah ini. Kemudian, aku menggunakan waktu menunggu untuk menenangkan diri. Seharusnya waktu tiga puluh menit yang kugunakan untuk menuju rumah Bu Riska ini cukup untuk bisa menormalkan kembali emosi, tapi nyatanya jemariku masih gemetar dan dadaku masih sesak.

Saat Papa baru saja pulang kerja tadi, aku menyampaikan keinginanku, yang pernah kusampaikan juga sejak lama. “Aku ingin mengembalikan hak cipta puisi yang pernah terbit di Aksara Jakarta, Pa. Itu bukan punyaku, Papa tahu. Itu punya Anya,” ujarku. “Katakan saja langkah yang aku ambil salah, sejak awal sangat salah. Izinin aku untuk mengulang semuanya dari awal, Pa. Aku ingin punya sesuatu yang bisa aku kerjakan dengan suka hati dan menghapus semua kesalahanku.”

Saat mendengar permintaanku, Papa marah. “Anya nggak pernah mempermasalahkan hak cipta puisi ini, kan? Dia saja bisa tenang, kenapa kamu harus merasa bersalah terus-menerus? Nggak akan ada pengembalian hak cipta, Seva! Dan jangan pernah coba-coba membuat masalah!” ancamnya.

Aku kadang nggak mengerti, mengapa definisi mengagumkan untuk orang dewasa harus serumit ini? Yang justru membuatku tertekan dan harus menanggung rasa bersalah pada sahabatku sendiri sampai aku merasa membencinya sangking terlalu kecewa pada diri sendiri, yang membuatku harus selalu berpura-pura bahagia dan bangga di depan semua orang dengan karya palsu itu.

“Seva?” Bu Riska datang dengan wajah kebingungan. “Ada masalah?” tanyanya khawatir saat duduk di hadapanku dan menatap wajahku lekat-lekat.

“Bu?” Suaraku pelan karena hampir saja tertelan rasa ragu.

“Ya?” Bu Riska masih menatapku.

“Ibu tahu caranya mengembalikan hak cipta dari sebuah karya yang pernah terbit di media?” tanyaku.

Bu Riska menatapku dengan bingung. “Maksud kamu?”

“Aku mau minta tolong, Bu.” Aku menatap Bu Riska dengan serius dan berusaha mengatakan kalimat itu dengan yakin.

***

AKSARA
Gue menatap lagi layar ponsel, mengharapkan sebuah balasan pesan dari Anya berisi tentang penjelasan atau hal lain yang setidaknya membuat gue mengerti karena dia telah membuat gue menunggu selama dua jam di parkiran.

Setelah berdebat dengan Rian dan meninggalkannya, di perjalanan tiba-tiba gue ingat ada janji dengan Anya sehingga gue memutuskan untuk kembali ke sekolah, ke area parkir semula dan membuka sebuah pesan dari Anya.

Anya : Gue ada diskusi dulu sama anak-anak mading. Mau nunggu?

Setelah membaca pesan itu, gue membalasnya, menyetujui untuk menunggu dan memberutahu kalau gue akan menunggunya di tempat semula gue janjikan. Namun, setelah dua jam berlalu dia nggak kunjung datang, sampai rasanya semua keringat gue rontok karena area parkir ternyata bukan tempat yang bisa direkomendasikan menjadi tempat untuk menunggu—apalagi dua jam. Gue sudah berusaha menghubunginya, tapi nggak bisa. Telepon gue nggak diangkat dan pesan gue juga berakhir diabaikan.

Aksara Sevanya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang