Sebuah tawa melengking mengusik kesenyapan dalam ruang sempit itu. Beberapa pasang mata melirik kesal ke sudut tempat suara itu berasal. Entah atas sebab apa pemuda jangkung itu mengeluarkan tawa melengkingnya. Padahal situasinya sama sekali jauh dari kesan lucu atau menyenangkan. Dengan kedua tangan terikat di belakang punggung dan wajah babak belur bersimbah darah, tawanya hanya semakin memancing kemarahan para polisi yang menawannya.
"Dasar gila!" umpat seorang polisi berbadan tinggi besar ber-name tag Kim Mingyu yang terpancing ulah tawanannya itu. Sebelah kakinya sudah bergerak untuk memberi tawanannya sedikit peringatan, sebelum seseorang menginterupsi pergerakannya.
"Jangan memberinya perhatian! Karena itu yang dia inginkan dari tadi." ujar seorang polisi berpangkat letnan dengan dingin. Telinganya seolah tuli akan tawa Jaemin yang semakin lama makin memekakkan telinga.
"Tapi dia berisik sekali."
"Kalau begitu sumpal saja telingamu."
Polisi jangkung itu mendengus mendengar ucapan rekan kerjanya yang bersikap seolah tak terganggu sedikitpun. Kalau diperbolehkan, rasanya Mingyu ingin menyumpali mulut penjahat kurang ajar itu saja. Ujung matanya melirik ke arah tawanan mereka yang masih tertawa tanpa ada niat untuk berhenti.
'Ku dengar kelompok penjahat itu memang sedikit gila. Tak kusangka otak mereka rusak separah ini!'
Polisi tampan itu membatin dengan sinis. Susah payah ia mengalihkan perhatiannya dari tubuh ringkih yang masih sibuk tertawa -lihatlah, dia bahkan sampai mengeluarkan air mata!- dan kembali fokus pada gambar tidak bergerak di depannya.
Lima belas kaca monitor menampilkan latar yang berbeda-beda. Fokus kesemua layar itu masihlah dalam satu gedung Coex Convention Center yang terlihat sepi. Acara pameran yang harusnya masih akan berlangsung sampai setidaknya dua jam ke depan itu terpaksa harus dibubarkan lebih awal. Penyelenggara pameran, meski bersungut-sungut, setuju untuk mengevakuasi seluruh pengunjung pameran berliannya. Dia tak punya pilihan lain, karena keselamatan pengunjung VIP-nya tergantung pada keputusan dan kecepatannya membubarkan acara. Dalih akan adanya bom yang telah terinstall pada beberapa sudut gedung menjadi dorongan utamanya membubarkan acara pameran.Dia tak mungkin berani menempatkan tamu-tamu pentingnya dalam bahaya, bukan?
Doyoung, sang letnan polisi masih bersidekap di depan seluruh layar-layar itu. Bibirnya berkedut-kedut jika teringat si gendut pemilik gedung. Tua bangka yang beruntung, pikirnya sinis. Nasib orang memang beda-beda. Dulu ia sering mengeluhkan ketidakadilan Tuhan. Terutama saat ia harus banting tulang, menekan pengeluarannya untuk makan sekalipun dan super berhemat demi bisa melunasi cicilan apartemen dan biaya pendidikannya. Sangat berbanding terbalik dengan para chaebol yang senang bergonta-ganti jenis mobil dan hobi berpesta di seluruh penjuru dunia. Doyoung membenci mereka, para orang-orang kaya yang gemar menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tak penting.
Ia tak begitu mempermasalahkannya sekarang, omong-omong.
Impulsive, Doyoung menyebutkan kata "bom" saat si pemilik acara tak mau begitu saja membubarkan pameran. Sikap dan pembawaannya yang tenang malah meyakinkan si pemilik acara yang sangat keras kepala itu akan adanya ancaman tersebut. Padahal, Doyoung hanya asal saja menyebutnya.
Ya, hanya asal saja.
Karena tak lama setelah tuan Park pamit dengan raut panik dan muka penuh peluh dingin, rekan-rekan kerjanya langsung mengerubunginya seperti semut. "Darimana kau tau akan ada bom?"
"Aku tidak tau. Asal saja."
"A-apa kau gila?"
"Aku sudah mengejar komplotan penjahat itu bertahun-tahun. Aku tidak ingin mereka lolos dengan memanfaatkan sandera seperti waktu itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
R.O.D - Ride or Die ✔
FanfictionMarkhyuck Nomin/Noren Chensung NCT Dream Cerita singkat tentang Bonnie dan Clyde modern