Chapter 2 - Eye of Atum

3.7K 419 26
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Atum berjalan menuju pinggir Sungai Nil. Semilir angin yang membawa sedikit butiran pasir terbang menyentuh kulit laki-laki itu. Dewa Pencipta berdecak. Dia tidak menyukai sensasi dingin yang membuat tubuhnya meremang.

Pria itu membayangkan, seandainya ada sebuah benda yang dapat menghangatkan tubuhnya tentu akan sangat menyenangkan. Dewa Pencipta menarik napas dalam-dalam lalu menutup mata.

Perlahan, sepasang sepatu, celana, baju, hiasan tangan, dan penutup kepala yang terbuat dari emas terbentuk menutupi permukaan kulit hingga kepalanya.

Atum mengangkat kedua tangan untuk mengamati hasil ciptaannya dan bergumam puas. Tubuh pria itu terasa jauh lebih hangat dibandingkan sebelumnya.

Tiba-tiba Dewa Pencipta teringat dengan kedua anaknya. Tentu Tefnut dan Shu akan merasa gembira apabila dibuatkan benda penutup kulit sama seperti miliknya.

Mata hitam pria itu mulai melihat sekeliling untuk mencari anak-anaknya. Langit yang menaungi dirinya semakin gelap. Namun, Tefnut dan Shu tidak terlihat di mana pun.

Dewa Pencipta mulai merasa cemas. Tanpa mereka dataran yang luas ini terasa sangat sepi.

"Tefnut! Shu!" teriak Atum sambil melangkah dan menggunakan kedua tangan sebagai corong mulutnya.

Suara-suara asing dari makhluk-makhluk malam semakin keras terdengar. Jantung Atum terasa perih seakan diremas oleh sebuah tangan yang kuat.

"Tefnut! Shu!" Dewa Pencipta kembali berseru. Pria itu berjalan semakin jauh dari pinggir sungai dan menuju bagian dataran lain yang masih asing baginya.

Mata Atum berkaca-kaca. Dia tidak ingin kehilangan sepasang anaknya yang telah membuat dirinya bahagia dan tersenyum bangga.

Waktu berlalu sangat lambat. Dalam kerisauan Dewa Pencipta Atum jatuh terduduk.

Tenggorokan pria itu terasa perih. Dia telah berteriak berulang kali memanggil nama kedua anaknya. Namun, tidak ada jawaban. Shu dan Tefnut seakan lenyap begitu saja.

Atum bernapas tersengal-sengal dan mulai terisak. Dia tidak mau sendirian. Pria itu merindukan anak-anaknya yang ceria. Butiran air mata mengalir turun dan jatuh membasahi tanah merah yang berada di bawahnya.

Keajaiban terjadi seketika. Setiap tetes air yang tumpah dari mata Dewa Pencipta berubah menjadi wujud makhluk hidup berukuran kecil yang memiliki wujud mirip dengan pria itu.

"Manusia," bisik Atum mengerjapkan mata dan menamai sosok-sosok mini yang mulai bergerak melihat sekeliling dengan ekspresi penuh ingin tahu. Laki-laki itu terperangah melihat kehebatan dari mata miliknya.

Seandainya. Seandainya mata miliknya sangat luar biasa, tentu anggota tubuhnya itu dapat dia lepaskan untuk terbang ke langit sehingga lebih mudah menemukan anak-anaknya.

Atum menegakkan tubuh. Perlahan dia menyentuh dan mengorek mata kanannya dengan kedua jari miliknya sambil menjerit kesakitan. Darah merah mengalir turun dari mata dan menyebabkan pada manusia laki-laki menjerit ketakutan.

Mereka mendongak memberikan tatapan ngeri kepada sang pencipta dan bersujud ketakutan dengan tubuh gemetar.

Namun, Dewa Pencipta mengabaikan para manusia. Dia memiliki masalahnya sendiri. Atum berteriak kesakitan saat dirinya akhirnya berhasil mengeluarkan salah satu mata dari rongganya.

Atum bernapas tersengal-sengal dan mengepalkan tangan kiri untuk menahan sakit. Darah merah terus mengalir turun membasahi sebagian wajah. Pria itu memegang bola matanya yang bergerak dengan telapak tangan kanan lalu berkata, "Bastet … Tefnut, Shu … bawa pulang mereka untukku."

Dewa-Dewi Mesir [ Buku 1 The Egypt Mythology Series ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang