Menurut dia (Perempuan)

24 2 2
                                    

“Wan, nonton Black Panther yuk?”
“Skip. Gue mau ke sekret.” Jawabnya seadanya
“Sekret mulu, cewe lo tuh urusin.” Tanpa memikirkan pertanyaan temannya tersebut, cowok ini melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.

Abimanyu Dewanto. Iya, dialah orang baru saja dipanggil dengan sebutan “Wan” yang merupakan kependekan dari kata “Wawan”. Tidak banyak yang memanggilnya Wawan, yang notabene diambil dari kata Dewanto. Hanya orang-orang terdekatnya saja yang berani memanggilnya begitu. Kebanyakan orang lebih memilih memanggilnya Dewa, ya karena begitulah dia memperkenalkan dirinya. Dulu aku sering sekali memanggilnya Wawan, namun kini memanggilnya dengan nama Dewa pun terasa asing bagiku.

Lelaki dengan tinggi badan 175 cm itu memang terkenal aktivis di fakultas kami. Bahkan tak sedikit orang yang menggadang-gadangnya sebagai penerus Presiden BEM disini. Kegiatan sehari-harinya tidak akan jauh-jauh dari sekret BEM. Dan bahkan bisa dikatakan karena hal itulah yang menyebabkan kita menjadi seperti ini. Tidak, aku tidak pernah cemburu dengan segala aktivitasnya yang segudang itu. Hanya saja, aku rasa hubungan kita yang dulu tidak bisa dikatakan sebagai berpacaran. Hanya berkirim pesan setiap malam, bertemu ketika di kantin fakultas, jika sempat, bahkan tidak ada kata rindu ketika sudah tidak bertemu seminggu. Aku rasa hubungan kita yang dulu memang lebih tepat dikatakan sebagai pertemanan biasa. Tidak ada label khusus. Bahkan setelah melepaskan label khusus itu, yang sempat kita sandang selama satu setengah tahun,  kita berdua masih bisa melakukan aktivitas kita seperti sedia kala tanpa hambatan.

“Nin, kenapa sih nggak jujur aja sama Dewa kalo lo masih sayang sama dia ?” Tanya Juni Meilinda. Juni merupakan orang pertama yang tahu bahwa aku dan Dewa sudah tidak menyandang label khusus itu. Bisa disebut juga Juni merupakan tempat aku bercerita, bahkan aku terlewat nyaman dengan dia. Aku bisa dengan mudah menebak mood Juni, aku juga bisa menebak kapan dia akan datang bulan. Mungkin begitu pula dengan Juni. Juni akan sangat mudah menebak bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Seperti saat ini.

“Emangnya kalo gue jujur, apa yang bakal berubah sih, Jun ?” jawabku sambil tersenyum simpul. Memangnya jika bersikap jujur akan mengubah segalanya ? kurasa enggak.

“Ya siapa tau Dewa bakal tobat, terus ninggalin sekret demi lo kan siapa tau sih,”
“Gue nggak mau jadi penghalang dia kali, Jun. Udahlah udah sebulan juga, nggak usah dibahas lagi,”
“Tapi gue gasuka lihat lo kayak gini,”
“Kayak gini gimana ? i am fine. I really am,” jawabku sambil menunjukkan senyuman termanisku.
“Lo bisa bohong ke semua orang, tapi inget. Lo nggak bisa bohong ke gue, Nin.”.

Aku tau Juni khawatir. Sangat khawatir. Aku nggak mau mengakui bahwa aku sedang tidak baik-baik saja setiap hari. Aku harus bisa menyelesaikan konflik batin ini. Percuma juga kan kalau hanya aku yang mengalami konflik batin padahal Dewa baik-baik saja. I Just have to get over this feeling as soon as possible.

PLUVIOPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang