Dan Dia Kembali

12 1 2
                                    

“Nin, gue barusan di telfon sama kak Jo. Proposal lo udah selesai ditandatanganin sama dia jadi lo disuruh ke sekret deh,” Amin membuyarkanku dari lamunan kenangan tentang hujan itu

“Oke, gue ke sana deh. By the Way, Dewa tadi ke sekret nggak?”

“Gue kurang tau sih, tapi kayaknya dia tadi kayaknya langsung pulang deh. Kenapa ? grogi yaa”

“Apaan sih, Min berisik aja. Gue gaplok baru tau rasa lo. Kalo gitu gue ke sekret dulu deh,”

“Gue sama Amin nunggu disini ya. Santai aja nggak usah buru-buru, kita berdua masih nunggu makanan kita dateng kok,”

“Siap,”

Aku sedikit berlari kecil menghindari rintikan hujan menuju ke sekret. Satu doaku, semoga Dewa beneran udah pulang. Bukan aku tidak mau ketemu dia, hanya saja mentalku belum terlalu kuat untuk bertemu dengannya. Sesampainya di sana aku melihat kak Joshua di dalam sekret sendirian. Aku menghembuskan nafas lega.

“Permisi, Kak Jo. Katanya proposal aku udah selesai kakak tanda tanganin, ya?”

“Ah proposal pendelegasian itu ya ? iya udah kok. Bentar Nin, kayaknya di rak luar. Gue ambil dulu ya,”

“Oke kak, aku tunggu di dalem gapapa nih ?”

“Iya gapapa kok, Lo kan udah jadi anggota BEM bayangan hehe.

“Mana adaa, udah ah cepetan Kak jo aku udah ditungguin Amin sama Juni,"

“Iya iya, gue ambil di rak dulu ya,”

Aku menggangguk tanda setuju. Sudah lama aku nggak sekret. Meskipun bukan bagian dari pengurus BEM, aku cukup sering berkunjung kesini. Sekedar mengambil proposal atau meminta stempel. Tidak jarang juga aku kesini bersama Dewa, Juni, dan Amin. Tidak banyak yang kami lakukan kala itu, hanya bermain UNO sambil mengumpulkan niat untuk pulang. 
Terdengar pintu di buka. Aku segera menoleh untuk melihat siapa yang datang. Dan aku cukup terkejut untuk melihat siapa yang datang. Bukan Kak Joshua, bukan Amin, bukan juga anggota BEM lainnya. Dia Dewa. Ekspresi Dewa sama terkejutnya denganku. Kami saling menatap mata satu sama lain tanpa menyapa satu sama lain. Dewa melakukan pergerakan terlebih dahulu menuju ke meja terdekat untuk mengambil sesuatu.

“Loh Wan, Gue kira lo udah balik,” terdengar suara kak Joshua masuk ke sekret sambil membawa proposal pendelegasianku

“Charger gue ketinggalan makanya balik lagi, kak Jo. Lagian diluar juga masih gerimis dan gue lagi nggak bawa jas hujan,”

“Oh, apa karena lo tau kalo Ninda disini makanya lo balik ke sekret ?” Aku tidak terkejut mendengar pertanyaan kak Jo karena memang orang-orang masih belum tau bahwa aku dan Dewa sudah tidak berpacaran lagi.

“Apaan sih kak Jo,” jawabaku seadanya

“Lo juga, Nin. Udah tau Wawan pelupa nggak dingetin bawa jas hujan,”

“Ya, kan Dewa juga udah gede. Nggak perlu aku ingetin juga, kak Jo,” Jawabku setenang mungkin.

“Iya ya. Oiya, ini proposal lo. Udah gue tanda tanganin, tinggal diarsip,”
“Siap, makasih banyak kak Jo. Aku balik dulu, ya. Udah ditungguin Amin sama Juni hehe,”

“Oke, sama-sama. By the way, lo nggak dianterin Wawan ?” Tanya kak Joshua melirik ke arah Dewa. Dewa melihat ke arahku sebentar.

“Oh, iya kak. Gue anterin dia dulu deh,”

Aku sedikit terkejut mendengar penyataannya. Dewa terlihat mengambil helm dan memakai jaket bomber kesukaannya. Dewa berjalan beberapa langkah lebih depan dariku dan tidak ada inisiatif darinya untuk menoleh ke belakang. Namun, kurasa itu lebih baik daripada dia harus melihat wajah merahku. Entah apa yang aku rasakan saat ini, namun satu yang kutau. Aku rindu. Rindu akan sikap cuek Dewa, seperti saat ini. Begitu banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan saat ini, tapi aku tidak bisa merangkai kata-kata itu menjadi sebuah kalimat yang indah.

“Dewa, lo balik aja deh ke sekret,” Terdengar aneh ketika aku harus mengubah kata ‘kamu’ menjadi ‘lo’.

“Kan kata kak Jo tadi aku harus nganterin kamu,” dan terdengar aneh ketika Dewa masih memanggilku dengan sebutan ‘kamu’.

“Nggak usah dipikirin omongannya kak Jo. Lagian ngapain harus nganterin gue pulang sih, kan kita udah nggak pacaran lagi,”

“Emangnya kalo mau nganterin kamu harus pacaran dulu ?” 

“Ya.... enggak sih, tapi gue udah bareng Juni,”

“Kalo aku maunya yang barengin kamu pulang, gimana ?” Otakku langsung tidak dapat berfungsi dengan baik. Bukan karena aku senang Dewa akan mengantarkanku pulang, tapi karena segala ketidakmungkinan ini bisa terjadi di saat-saat ini. Dengan segala keberanianku, aku menjawab, “Makasih atas tawarannya Dew, tapi gue tetep mau pulang sama Juni aja. Nggak enak sama Juni sama Amin yang udah nungguin gue di kantin,”

“Oh. Bentar, kayaknya aku salah pertanyaan, deh, Nin,”

“Hah maksudnya, Dew ?”

“Tapi kamu jangan kaget ya. Ini random parah, sih Hehe. Nin, kalau aku maunya kamu, gimana ?”
Lagi-lagi otakku tidak bisa berfungsi dengan baik. Aku hanya bisa terdiam dan menatapnya dengan pandangan kosong. Alisku bertautan menjadi satu menandakan bahwa aku sedang tidak bisa mecerna perkataan Dewa barusan.

“Kamu pasti bingung ya, Nin. Sama aku juga kok. Tapi, sekarang aku lagi jujur. Kamu harusnya jujur juga dong ke aku,” dan aku masih terdiam mencerna pernyataan Dewa.

“Jujur apaan sih Dew ? aku nggak ngerti,”

“Aku tau kok selama ini aku sibuknya kebangetan, cueknya kebangetan, yes i am an asshole indeed. Tapi gimana ya, Nin. Selama ini aku kira kamu kuat bisa ngertiin kesibukanku, tapi bodohnya aku sendiri yang nggak bisa ngertiin kamu. Dan kuharap kamu juga jujur kalo kamu sebenernya enggak sekuat itu,” benang-benang kusut di otakku kini mulai melepaskan jeratannya satu sama lain, dan kini aku sudah bisa merangkai beberapa kata.

“Nggak seburuk itu kok, Dew. Aku juga nggak sepengertian dan sekuat yang kamu pikir. Nih, aku udah jujur kan?”

“Harusnya aku dulu nggak ngeiyain buat putus, ya Nin,”

“Dew, kita bukan putus. Tapi balik jadi temen lagi karena kita awalnya juga dari temenan, kan ?”

Kini giliran Dewa yang menatapku dan terlihat menautkan alisnya menjadi satu. Tidak ada jawaban dari Dewa. Dia hanya terdiam sambil menatapku dengan pandangan kosong. Ntah apakah Dewa juga memiliki perasaan yang sama sepertiku saat ini, tapi aku senang bisa berbicara langsung dengannya seperti ini. Sudah sebulan ini kami tidak pernah berbicara, bahkan bertegur sapa pun tidak pernah. Setelah berbicara dengan Dewa, perasaan yang telah aku kubur selama sebulanan ini kembali muncul ke permukaan. Senang, rindu, sayang, semuanya kembali jadi satu.

“Nin, aku ganti lagi deh pertanyaannya,”

“Dew, udah ah. Gue harus balik ntar ditungguin Juni sama Amin gimana ?”

“Tunggu bentar, pertanyaanku jawabannya singkat aja kok,”

“Yaudah, apa ?”

“Nin, kamu mau aku nggak?” aku sedikit terkekeh mendengar pertanyaan Dewa. Jika ia bertanya seperti itu, bagaimana aku harus menjawabnya karena jawaban itu sudah pasti Dewa tau, bahkan semesta pun tau. Perlahan-lahan atmosfer di sekitar kita pun berubah menjadi hangat.

“kalo gue jawab mau, lo gimana ?” jawabku sambil tersenyum jahil.

“ya aku seneng. Karena aku juga mau kamu hehe,” aku semakin tertawa.

“Tau nggak sih Dew ? lo bilang gini bikin gue keinget waktu lo nembak gue dulu. Kata-katanya persis banget. Nggak kata-katanya aja sih, atmosfernya juga. Bahkan perasaan gue persis kayak waktu lo dulu nembak gue,”

“Jadi jawabannya ?”

“Coba kamu tebak sendiri. Katanya kamu pengen jadi pengertian kan ?” Jawabku tersenyum jail dan meninggalkan Dewa yang terlihat berfikir keras.

“kamu udah nggak pake ‘lo’ lagi,”

“Jadi ?” masih dengan senyum jailku.

“kamu mau aku, nggak?” Tidak berniat untuk menjawabnya, aku berjalan melewati Dewa dengan senyuman jahilku yang masih terpasang di wajahku. Dewa terlihat membuntutiku dari belakang.
“Jadi, kamu mau aku kan, Nin ?”
Aku sedikit menganggukkan kepala dan itulah jawabanku. Kini bisa kurasakan Dewa mulai menyejajarkan langkah kakiku dan terlihat senyuman lebar terpasang di wajahnya.

PLUVIOPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang