“Wan, gue tanya deh. Lo udahan sama ya sama Ninda?” Tanya Amin.
“Kenapa emangnya ?”
“ya gimana ya. Jarang aja ngeliat lo berdua jalan bareng.”
“Biasanya juga jarang jalan bareng kan, Min,”
“Juni juga selalu sensi kalo lagi bahas lo. Jangan-jangan lo bikin Ninda yang kalem gitu ngamuk, ya ?”
“Enggak, pacar lo aja kali yang suka sensi sendiri,”
“Hm suka bener lo kalo ngomong, Wan. Gila lo tuh beruntung sih dapet Ninda. Dia jarang banget cerewet ga kayak si Juni. Gue izin ke sekret bentar aja dia dah ngamuk-ngamuk minta beliin martabak.”
“Gue bilang juga apa. Juni tuh napa dah suka sensi ke semua orang. Tapi, enak kayak gitu nggak sih, Min?”
“Enak gimana maksud lo ? yang ada tekor kali guenya,”
“Ya maksud gue tuh Juni bisa ngomong jujur ke lo kalo dia gasuka ditinggalin,”
“Emangnya Ninda nggak pernah jujur ke lo, Wan ? Halah, palingan lo-nya aja yang nggak pekaan,”
Disitulah berhenti percakapan kami. Aku lebih memilih diam karena aku rasa aku tidak berhak lagi untuk membahas apapun yang berkaitan dengan Ninda. Mungkin bisa dikatakan aku beruntung memilikinya, tapi apa aku berhak untuk memilikinya setelah semua yang aku lakukan ke dia ? i mean, she is strong enough to have this kind of boyfriend. No sweet talk, no sweet gesture, even no sweet smile. Dan semenjak sebulan yang lalu, aku tersadar kalau dia ternyata tidak sekuat itu. Kita akhirnya mengakhiri satu setengah tahun ini tanpa kata perpisahan, hanya tersisa berbagai pertanyaan. Tidak ada air mata yang jatuh dari mata bulatnya, bahkan dia masih sempat tersenyum dengan manisnya.
Ninda Lovitasari. Dia memang bukan perempuan yang suka berlalu lalang ke sekret demi urusan organisasi tapi dia juga bukan perempuan yang langsung pulang ketika jam kuliah telah berakhir. Dia juga bukan perempuan yang suka menghabiskan uangnya untuk nongkrong di kafe berjam-jam hanya untuk mengisi instastory. Dia hanya mahasiswi bermata bulat yang sedehana, tapi itulah yang membuatku tertarik padanya. Jika menceritakan pendekatanku dengan Ninda dulu, itu bukan perkara yang mudah karena aku harus berulang kali meyakinkan perasaanku sendiri kepada Ninda. Berbagai pertimbangan yang perlu aku lakukan. Apa benar aku tertarik padanya karena aku menyukainya atau aku tertarik padanya karena dia terlihat lugu atau aku tertarik padanya karena mata bulatnya. Namun, dulu satu yang pasti. Aku tertarik padanya entah apa itu alasannya.
Perlahan dengan pasti aku dan Ninda menjadi dekat. Meskipun tidak sering melakukan pembicaraan secara langsung, aku tahu bahwa dia juga mulai merasa nyaman dengan keberadaanku. Di suatu titik, kita berdua pun akhirnya menyandang label khusus itu. Seperti yang aku katakan dari awal, aku bukanlah cowok yang dengan mudahnya berkata manis sehingga pernyataan cintaku pun jauh dari kata manis. Tapi, Ninda menerima pernyataan cintaku dengan senyumnya yang manis.
Selama satu setengah tahun, bisa dihitung jari berapa kali kita bertengkar. Bukan karena kita selalu rukun layaknya pasangan domba, hanya saja aku terlalu sibuk untuk mempermasalahkan sesuatu dan Ninda terlalu mencoba memahami kesibukanku. Tapi, dengan sabarnya Ninda tetap bertahan denganku selama itu. Ninda memang terlihat kuat, tapi aku tau dia tidak sekuat itu. Dan kebodohaku adalah membiarkannya memperlihatkan sosok kuatnya itu. Tidak mudah bagiku untuk mendapatkan Ninda, banyak pertimbangan untuk mendekatinya, namun dengan mudahnya aku melepaskannya. Melepaskannya tepat di depan kedua mataku sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/146427890-288-k735275.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUVIOPHILE
Fanfiction"emangnya kalau nganterin kamu pulang harus pacaran dulu?" -Abimanyu Dewanto balikan nggak semudah membalikkan telapak tangan, tapi kalau masih sayang, kenapa enggak ?