.
.
.Ini awal musim panas dan Taehyung terpaksa memakai jaketnya karena seharian kemarin ia demam. Jika saja hari ini tidak ada tes, mana mau Taehyung masuk sekolah dengan tampang frustasinya itu.
Ia menunggu sang ayah yang kini tengah mengeluarkan mobilnya dari garasi. Sang ayah juga tak biasanya memaksa dirinya untuk pergi bersama—mungkin karena masih khawatir Taehyung akan melakukan suatu hal yang bodoh.
Bosan melirik ujung sepatunya, kini Taehyung mendongakan kepalanya ke lantai dua rumahnya—tepatnya mengarah pada kamar Jimin. Dahinya tiba-tiba saja mengerut heran melihat pintu di sana terbuka lebar. Bukankah seharusnya Jimin sudah menutup pintu dan tertidur saat ini?
Kecurigaannya semakin beralasan ketika samar-samar ia melihat Jimin berada di ujung pintu—di tempat yang masih terlindung bayangan.
"Ayah!" panggilnya lantang pada sang ayah yang kini sudah keluar dari mobil.
Jantungnya berdetak cepat ketika ia melihat Jimin dengan sengaja melangkah maju menuju cahaya.
"Ayah! Jimin— argh ... sialan!" Taehyung dengan tergesa melepas beban berat di punggungnya dan segera kembali masuk ke dalam rumah.
Sang ayah sendiri ikut terkejut dengan apa yang Taehyung maksud untuk kemudian mengikuti anaknya berlari masuk—menuju kamar Jimin. Menghiraukan pertanyaan sang istri yang terlihat terkejut dengan aksi keduanya.
Taehyung tiba-tiba saja merasakan jarak dari pintu utama ke kamar saudaranya seakan jauh sekali ketika ia berlari masuk. Jantungnya berdetak cepat, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang tanpa sadar membuat air matanya jatuh.
Saat akhirnya pintu di hadapannya ia buka paksa, sosok kembarannya yang kini sudah berada di bawah sinar matahari terlihat di pandangannya—membuat langkahnya semakin lebar. Saat tubuh itu limbung, saat itu juga Taehyung menariknya untuk kembali berlindung di bawah bayangan. Kemudian ia memeluk tubuh itu erat sambil menangis kencang.
"Kau bodoh, Jim! Bodoh!".
.
.
Ini kedua kalinya dalam tahun ini Jimin terbaring di rumah sakit setelah bertahun-tahun sebelumnya tidak pernah menyinggahi tempat itu. Mata anak itu terpejam rapat, seakan melindunginya dari kenyataan berat miliknya.
Kim Seokjin—dokter pribadinya—menghela napas berat di samping pasiennya itu. Jimin memang bukan satu-satunya pasien yang ia miliki, tetapi Jimin adalah salah satu pasien kesayangannya—walaupun anak itu tidak pernah bersikap manis. Oleh karena itu, hatinya ikut merasakan sakit ketika pasien favorite-nya kini terbaring tidak sadarkan diri.
Mungkin ini batas Jimin.
"Sudah saya katakan, depresi itu sangat berbahaya. Dengan keadaan Jimin seperti sekarang, depresi akan sangat mudah menyerang dirinya," Seokjin berusaha menjelaskan setenang mungkin di hadapan keluarga pasiennya itu.
Hati ketiga orang di depannya kembali retak, menyadari bahwa merekalah salah satu penyebabnya.
"Aku menyesal mengatakan hal ini, tetapi keadaan Jimin semakin parah. Kerusakan system syaraf di otaknya pun bukanlah satu-satunya. Kini, symptom kanker kulit juga mulai terlihat."
Seokjin menunjuk beberapa ruam merah di tangan dan bahkan sebagian wajah Jimin yang kini menghiasi kulit pemuda pucat itu.
"Jimin adalah salah satu pasienku yang terkuat. Ia bertahan bertahun-tahun melawan sakitnya. Aku bersumpah tidak ingin mengatakan hal ini, dan aku sangat meminta maaf untuk mengatakannya."
Seokjin menarik napas dalam sebelum melanjutkan perkataannya—beban yang harus ia tanggung sebagai seorang dokter.
"Kami tidak bisa berbuat banyak lagi untuk kesembuhan Jimin. Membantunya bertahan bisa kami lakukan tentu saja dengan keinginan pasien sendiri. Tetapi seperti yang kita tau, belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit XP sampai sekarang, yang bisa kita lakukan adalah tetap membuat Jimin bahagia."
"Tidak!" raungan Taehyung kembali bergema di ruangan itu—mengalihkan atensi ketiga orang di hadapannya. "Bagaimana bisa kau membiarkan Jimin menyerah begitu saja?! Pasti ada acara lain kan, Dok?"
Taehyung kembali hancur. Bagaimana bisa ia mengatakan untuk membuat Jimin bahagia padahal di balik kata kebahagiaan itu, terselip sebuah kata yang berarti kehancuran dunia Taehyung.
Mati.
Sang ayah mendekat pada anak keduanya untuk kemudian mendekapnya erat.
"Tenanglah, Tae! Kau tidak bisa seperti ini, Jimin akan sedih," ujarnya sedikit bergetar karena menahan tangis.
"Semua ini karena ayah! Jimin bersedih dan ketakutan karena ayah!"
Taehyung pada akhirnya meluruh di atas lantai diikuti sang ayah yang masih saja mendekapnya. Pemuda itu menangis tersedu-sedu mengetahui hal yang menyakitkan itu. Tidak, ia tidak bisa kehilangan Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon and The Sun - VMIN BROTHERSHIP
FanfictionTHANK YOU FOR AN AMAZING COVER @ChoonHee13 💜💜💜 "Aku iri padamu, Tae. Kau bisa bersinar layaknya matahari, dan aku hanya bisa memantulkan cahayamu." - Jimin "Kau adalah bulanku, Jim. Aku akan melakukan apapun, asal kau tetap bersinar." - Taehyung