Chapter 3

6K 783 121
                                    

.


Tubuh yang tengah terbaring itu tiba-tiba saja terbangun ketika sakit kepala mengganggu tidur siangnya. Jantungnya seakan berdetak lebih cepat ketika Jimin merasakan suatu keanehan terjadi. Dengan sebelah tangan yang masih menahan kepalanya yang sakit, ia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur—panik karena tidak tau apa yang terjadi. Kepalanya memang berdenyut nyeri, tetapi tidak cukup untuk mengalihkan segala atensi akan kepanikannya.

Langkahnya terseok seakan kehilangan arah, padahal dirinya tengah berada di kamarnya sendiri. Entahlah, tiba-tiba saja ruangan yang sudah ia tempati sejak kecil itu terasa asing baginya.

"Bu ..." lirihnya panik.

Kedua tangannya itu ia gunakan untuk menggapai sesuatu yang bisa membantunya bertumpu.

'Brakk'


Sial, tangannya menjatuhkan suatu barang yang tidak ia terlalu pedulikan. Kepanikan semakin merasuki tubuhnya kala tangannya bergetar hebat dan kakinya tak sanggup lagi menumpu beban tubuh.

"Bu ... Ibu!!" teriaknya, berusaha sekencang mungkin.

Nyatanya Jimin masih berusaha untuk merangkak ke tempat yang dirasanya aman setelah memanggil sang ibu. Tetapi kemudian kembali menyerah ketika ia sadar bahwa dirinya tak tau arah.

"Ibu!!" teriaknya lagi—kini dengan keputusasaan.

"Iya nak, ibu di sini. Ya Tuhan Jimin, ada apa nak?" kedua tangan itu menariknya lembut ke dalam dekapannya yang hangat.

"Bu," hanya itu yang bisa ia ucapkan dari kedua bibirnya yang bergetar.

"Iya sayang, ibu ada di sini. Tenanglah, dan katakan di mana yang sakit."

Hening menyapa selama beberapa saat, sampai akhirnya suara lirih itu kembali menyapa.

"Kenapa aku tidak bisa melihat apapun, bu?"

.
.
.

"Hal yang tidak kita harapkan ternyata terjadi. Rusaknya system syaraf pada penderita XP adalah prognosis yang paling ditakuti. Kini, kerusakan system syaraf pada otak Jimin sedikit demi sedikit mulai menyebar, membunuh kemampuan sang syaraf pusat di otaknya. Bukan tidak mungkin jika Jimin akan lumpuh pada akhirnya," sang dokter menjelaskan dengan penuh penyesalan di setiap penggal kalimatnya.

Nyonya Park yang terlalu terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya, menggelengkan kepala tidak percaya.

"Tapi Jimin tidak pernah terpapar sinar matahari. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Bukankah selama ini kita selalu mencegahnya?" tanyanya dengan lirih.

"Maaf Nyonya, tidak terpapar sinar matahari bukan berarti akan membunuh sel-sel penyakit di tubuh pasien. Seperti yang sudah saya katakan, penyakit ini berkembang di otak sehingga membunuh kemampuan syaraf pusat. Juga sel-sel kanker lainnya yang bisa saja menyerang pasien. Selain itu, apa anda yakin jika Jimin tidak membiarkan dirinya dengan sengaja terpapar sinar matahari?"

Hening. Sang ibu terdiam dan berpikir mengenai kemungkinan hal itu mengingat ada beberapa ruam baru di tangan sang anak.

"Tenanglah, Nyonya. Kami akan berusaha semampu kami, selebihnya mari berdoa kepada Tuhan. Juga, tolong jangan bebankan pikiran yang berat pada Jimin. Depresi adalah hal yang paling menakutkan, dan saya yakin anda tidak ingin itu terjadi pada Jimin. Kita tidak akan tau kapan limit seseorang sehingga ia berbuat suatu hal yang tidak diinginkan."

The Moon and The Sun - VMIN BROTHERSHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang