Jemarinya tergerak, menarik kain yang dengan setia melindungi tubuh dari dinginnya ruangan dimana kini ia tengah terlelap. Hanya kain tebal itulah yang kini menutupi setiap inci kulit mulus sang teruna ー tentu saja selain wajah dan rambutnya yang memiliki warna seindah bunga sakura.
Namun sayangnya, kedua mata teruna bertubuh mungil itu tak kuasa untuk tetap terkatup rapat karena dingin yang terus menusuk.
Tidak pernah sekalipun ia menyalakan pendingin ruangan dengan suhu yang membekukan seperti ini, tidak pernah.
Ia menggerutu, salah satu tangannya pun ia ulurkan dari bawah selimut. Dengan arah pandangnya yang belum terfokus, ia berusaha mencari remote pendingin ruangan yang biasa ia letakkan di atas meja kecil disamping ranjang.
Tetapi nihil. Yang ia temukan justru sebuah benda kotak dengan angka yang tertera dipermukaannya, sebuah jam? Mungkin.
Ia kembali menggerakkan jemarinya dan kembali menemukan sebuah benda persegi, kali ini tidak dengan angka, namun dengan sebuah foto.
Matanya mengedip beberapa kali, berusaha memfokuskan dwimanik pada benda yang kali ini ia rasa aneh.
Ia tidak pernah meletakkan sebuah bingkai foto pada meja di samping ranjang.
Kepalanya pun sedikit terangkat dan jemarinya menarik benda asing itu mendekat untuk memperjelas apa yang ia lihat.
"Huh. . . ?"
Dalam hitungan detik, keningnya terlihat mengerut. Tentu saja, karena kini ia melihat foto yang menampilkan seorang pemuda berambut gelap dengan mengenakan jas rapi. Duduk pada sebuah kursi dengan latar yang tak kalah gelap, seorang diri.
Siapa?
Kedua netranya segera menyapu sekitar dan mendapati keadaan yang tidak familiar. Bahkan selimut yang ia kenakan pun tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Sungguh, dimana ini?
Detik berikutnya, sebuah gerakan yang terasa tak jauh darinya seakan menjadi sebuah jawaban.
Ia menolehkan kepala dan netranya sontak membelalak kala mendapati seorang pria sedang duduk pada sebuah sofa panjang yang menghiasi sudut ruangan.
"Siapa. . .?" Suaranya setengah berbisik, tidak seperti yang ia harapkan.
Badannya pun ia gerakkan, namun sebuah rasa sakit seketika menghujam pinggang miliknya.
Sakit, sangat.
Ia merintih dengan salah satu tangannya mengusap area yang dirasa sakit. Perlahan ia kembali bergerak, berusaha memutar tubuhnya menghadap sosok yang masih tidak beranjak dari sofa.
"Cukup, hentikan."
Sosok asing itu berbicara, berhasil membuat sang teruna menghentikan kegiatannya beberapa saat. Tetapi netranya tentu berusaha menangkap paras sosok asing tersebut ditengah cahaya remang-remang.
"Istirahatlah" ujar sosok itu lagi.
Sayangnya, sang teruna memutuskan untuk tidak menanggapi perintah sosok asing tersebut. Ia kembali berusaha menghadapkan tubuhnya pada sang pemilik suara dengan konsekuensi rasa sakit yang terus menusuk bagian tubuhnya.
Kedua netranya kembali menyipit, dan kali ini berhasil menangkap warna rambut sosok asing tersebut.
Rambutnya berwarna gelap.
"Kau. . . ー"
"Ya, aku yang ada dalam foto itu."
Sang teruna terdiam dan netranya terkunci pada sang pria asing.
"Aku dimana?"
"Di apartmentku."
"Kenapa?"
Hening. Keheningan memenuhi ruangan untuk beberapa saat sebelum suara itu kembali terdengar.
"Istirahatlah, kau akan kembali ke rumah esok pagi."
"Tapiー a ah- kenapa? Setidaknya jelaskan mengapa kondisiku seperti ini?"
Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa sakit yang kembali datang. Namun hal yang sama terjadi kembali. Hening.
"Mmhー tolong jawab. ."
"Istirahatlah, Park Jimin."
Seakan menjadi kejutan untuk kesekian kalinya, ia kembali tersontak.
"Darimana kau tahuー?"
Kali ini bukan lagi sebuah suara yang ia dengar, namun sebuah langkah kaki dari sang pemilik suara.
Pria itu terlihat seakan meneguk sesuatu dari gelas kecil dihadapannya sebelum mengambil langkah mendekati sang teruna.
Tangannya pun terulur, menyentuh dagu milik sang teruna dan sedikit mengangkatnya, membiarkan keduanya bertemu pandang.
Jarak diantara keduanya semakin terkikis, wajah pria itu hanya menyisakan celah beberapa centi dari wajah dengan semburat merah sang teruna.
Ingin rasanya mendorong pria itu menjauh, tetapi pikiran dan tubuh sang teruna seakan tidak dapat bekerja sama untuk saat ini.
Hembusan napas sang pria pun kini mengusap lembut pipi sang teruna, semakin menandakan tipisnya jarak diantara kedua insan tersebut.
Perlahan, bibir milik sosok asing tersebut menyentuh milik sang teruna, lembut. Tangan pria itu pun tak tinggal diam, ia mengusap tengkuk sang teruna seakan memberikan rasa tenang.
Sang teruna tidak memberontak, justru menanggapi dengan kedua netranya yang tertutup dan pipinya yang semakin memerah.
Apa ini? Ada apa?!
Ia tahu bahwa apapun yang terjadi saat ini bukanlah hal yang wajar, namun ada sisi pada dirinya yang tidak ingin memberontak.
Sebuah kejutan kembali ia dapatkan. Bibir sang teruna kini mendapat lumatan, disusul dengan gigitan kecil bak meminta akses masuk.
Napas teruna bermarga Park ini pun terdengar kian memburu, tak kuasa menolak dengan kembali melumat bibir sang pria dan sedikit membuka bilah bibirnya.
Setelah dirasa mendapat apa yang ia inginkan, sebuah senyum tipis terpatri pada paras sang pria. Tubuhnya pun sedikit memberi dorongan hingga sang teruna kembali mengistirahatkan punggungnya di atas ranjang, kemudian memposisikan tubuhnya untuk mendominasi sang teruna.
Jemarinya tentu tak tinggal diam, perlahan ia mengusap lembut tengkuk sang teruna hingga turun secara perlahan menuju dada mulus yang tak tertutup kain sedikit pun.
"Mnー"
Sebuah lenguhan milik sang teruna terdengar, membuat sang pria menelasakkan lidah milikknya ke dalam rongga hangat sang teruna.
Ia mengadu lidah untuk beberapa saat, sebelum akhirnya memindahkan sesuatu dari miliknya ke dalam milik sang teruna.
"Mn. . nnー"
Masih dengan matanya yang terpejam, sang teruna merasakan benda asing yang ada disela lidah miliknya dengan milik sang teruna.
Sebuah pil.
Ia ingin menolak, namun gerak lidah sang pria berhasil menggiurkan dirinya hingga pil itu memasuki kerongkongannya.
Sang pria semakin memperdalam kegiatannya, lidahnya seakan melilit lidah malang sang teruna. Layaknya belum merasa puas, bibirnya kembali mengulum bibir lembut sang teruna hingga meninggalkan sedikit luka pada bibir bagian bawah.
Tangannya pun masih terus melakukan kerjanya, menggoda bagian dada sang teruna tanpa henti.
Perlahan, tak seperti sebelumnya, gerakan sang teruna mulai melemah. Tak lagi ia rasa adanya sebuah gairah dalam gerakan yang sang teruna.
Pria pemilik surai hitam ini pun perlahan menarik diri, meninggalkan bibir merah itu kembali ditemani oleh dinginnya ruangan.
"Selamat malam, Jimin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet tragedy
FanfictionBila cinta menjadi tuan, mengapa ego masih bertahta. Hati berbisik tetap bersama, logika meronta ingin berpisah saja. Apa yang terjadi jika seorang pekerja kantoran dihadapkan dengan masalah kehidupan yang rumit, ancaman-ancaman yang terus menghantu...