TWELVE - tinta mawar

931 127 14
                                    

Dempulan bubuk floo disekitar perpustakaan Cair Paravel terus membuat hidung Edmund gatal, bahkan dirinya sendiri tidak mengerti apa yang sedang diracik oleh gadis tak punya manner tersebut. Walau matanya tak henti-henti mencuri pandang ke wajah Hermione.

"Ayolah, kita sudah kehabisan banyak waktu Mione. Apalagi yang kau tambahkan di surat itu? Lagipula apa sulitnya mengirim pesan ke camp half-blood?" Decak Edmund kesal.

Hermione mendelikkan mata kearah Raja muda itu, "Imagine that, camp-halfblood itu perkemahan untuk para demi-god. Diantara mereka semua adalah keturunan langsung Dewa-Dewi. Penjagaan camp mereka sangat ketat. Dan kita hanya perlu menambahkan sedikit tinta merah larutan mawar lagi untuk bukti kerajaan, mana tintanya?"

Bibir Edmund terkatup, "Kau hanya bilang tentang tinta hitam. Aku tak tahu menahu apa-apa soal tinta merah larutan mawar."

"Oh, did I? Namun sekarang kita butuh tinta merah larutan mawar atau surat ini tidak akan pernah bisa terkirim ke camp half-blood!" Hermione menyentakkan lembaran kertas perkamen kemudian menatap Edmund tajam, "Beri tahu aku dimana kita bisa menemukannya."

Edmund terlihat berpikir, "Aku tahu, tapi sepertinya itu termasuk tempat yang amat sangat privasi." Ujarnya tersenyum kecut.

***

"Disini? Kau gila, ya? Ini adalah ruang pribadi King Peter. Bisa mati kutu kalau kita ketahuan menyelinap kedalam ruangannya." Bisik Hermione dengan nada meninggi.

Sekarang keduanya telah berdiri di depan sebuah ruangan berpintu lapis emas yang megah dan kokoh. Tempat dan ruang kerja High King Peter, atau Raja Agung Narnia. Hermione juga tidak tahu mengapa urusan tinta merah cukup sulit di Narnia.

Edmund menyentuh bahu Hermione pelan, "Kita bisa, aku percaya pada kita. Lagipula ini untuk keberlangsungan hidup bersama kan?" Balas Edmund getir, lembaran telapak tangan mengusap puncak kepala Hermione.

Ia tahu, ketika the legacy of white witch berhasil dimusnahkan seluruhnya. Gadis itu dan teman-temannya akan kembali ke dunia sihir dan Hogwarts. Sehingga dia tidak akan bisa bertemu lagi dengan Hermione, bahkan untuk selama-lamanya. Terlepas dari itu ia juga tahu bahwa dirinya telah jatuh ke penempa besi, hatinya mencair dan terpahat nama gadis yang selalu disebut dalam keping doa tiap malam—Edmund menyayanginya.

Gadis itu hanya terdiam, larut dalam usapan tangan Edmund diatas helaian rambutnya. "Aku—baiklah, namun jika ada sesuatu hal buruk terjadi pada kita. Aku tak akan mau membantumu lagi. Selamanya." Gugupnya.

"Come on," Ujar Edmund seraya membuka pintu megah tersebut, hingga menimbulkan sedikit decitan pintu membuat Hermione menggigit bibirnya gelisah. "Tenang saja, aku sudah memastikan bahwa Peter sedang tidur nyenyak di kamar setelah kuberikan sedikit ramuan, mungkin."

Hermione mengernyitkan dahinya, "Kau benar-benar mempraktikannya? Kerja bagus. Sungguh, demi Merlin aku tidak bisa percaya bahwa seorang Edmund merupakan ahli ramuan dari Narnia. Kemampuanmu bisa ditingkatkan lagi dan tentu saja akan sangat membantu peperangan ini."

"Bisa tidak kau diam sebentar? Kita ini sedang berada di ujung misi rahasia yang amat sangat penting, dan apabila misi kali ini gagal, sudah pasti Narnia tidak bisa kita selamatkan." Bentak Edmund cukup keras, yang mampu membuat Hermione tersentak, "Dan aku tidak akan bisa pulang kembali ke Hogwarts and Wizarding World."

Setelah beradu mulut cukup panjang dan sekiranya tidak akan pernah selesai, keduanya segera memasuki ruangan Peter dan berusaha menemukan tinta merah di sekujur ruangan tersebut. Hermione tetap saja berkutat di daerah rak buku, walaupun seharusnya dia tahu bahwa kemungkinan seseorang menaruh tinta di rak buku sangat kecil namun dia tetap gentar mencarinya.

Acquiescent LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang