“Well, you spoke like a hero.”
“Shut up.” ucapku tanpa menolehkan kepala. Kutegakkan daguku dan berjalan dengan cepat ke arah pagar sekolah. Dari picingan indera pendengaranku, ia mengejar beberapa langkah yang tertinggal dariku. Setelah sampai di tempat, kuedarkan pandangan untuk berjaga-jaga.
“What exactly are you doing, idiot?”
Aku tetap mengacuhkannya dengan berkutat pada pikiranku. Tidak terlihat satupun petugas yang sedang berjaga di area ini. Aku mencoba menarik gerbang ke samping, namun pagar yang cukup tinggi itu tidak bergerak sama sekali. Barulah aku sadar sesuatu.
“It’s locked, silly.”
Aku menoleh ke sumber suara dan ia tengah berdiri sekitar sepuluh meter dariku sambil menunjuk ke arah rantai gerbang. Pandanganku mengikuti arah tunjuknya. Sial, aku malu. Ya, mana kutahu. Aku tidak pernah terlambat dan kabur di jam pelajaran. Aku meresponnya dengan hembusan napas pendek dan mengalihkan pandangan. Setelah jeda beberapa detik, ia menghampiriku dengan wajah menyebalkan khasnya itu.
“Oh, I see,” ucapnya dengan nada menggoda. Aku menoleh sekilas ke arahnya sambil menaikkan satu alis. “come on.” ia mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Aku masih diam di tempat, menyimpan kedua tanganku di dalam saku hoodie. Ia maju dan mendekati pagar tersebut, lalu mulai memanjatnya. Aku terdongak melihatnya.
“No. I’m not gonna climb it.” aku mengendikkan kedua bahu sambil mendengus malas.
“Go ahead if you want to get caught.” dari atas ia melemparkan pandangan pada seseorang yang ada di ujung sana. Aku mengikuti arah kodenya dan yang kudapati adalah Mr. Russett yang sedang berbicara lewat telepon genggamnya. Sial, si kepala sekolah.
“Hello, Russhitt! Look who I found!”
“Can you shut your fucking m—”
“What the hell are you doing?! GO BACK TO CLASS! And who the hell are you, kid?!” seru Mr. Russett dari kejauhan. Matilah aku. Aku tidak akan menolehkan kepala ke belakang. Kini otakku kalang kabut bak kebakaran.
“HEY!” serunya dengan lantang.
“Fuck you, K!” umpatku mendongak kepada gadis pirang itu. Kakiku mulai bergerak memanjat, tapi dengan ragu.
“You know you can’t fuck me. You’re not my type, jackass. Now, come on, pretty asshole.” ia menggerakkan kepalanya mengisyaratkanku untuk cepat bergegas mengikutinya. Dengan ragu aku menoleh ke belakang untuk mengecek keadaan Mr. Russett.
Oh, sial. Ia melihatku.
“What the hell?! Xander?! Hey!” ia berlari ke arahku sambil menopang tubuh gemuknya.
“Chris! Chris! Hold them to not escape the gate!”
“Son of bitch.” Mau tidak mau aku ikut memanjat pagar itu dengan buru-buru. Kiernan pun melanjutkan aktivitasnya disertai senyum miring yang tertuju padaku. Walau aku mengalami sedikit kesulitan, tapi aku dapat menyeimbangkannya dengan Kiernan.
“Bring the key!” teriak Mr. Russett saat kami sudah berada di puncak pagar dengan deru napas yang tidak beraturan. Aku dapat melihat atap gedung berlantai dua, pepohonan, bahkan sarang burung yang kalau di lihat dari bawah sangat jauh. Wow, berada di atas membuatku merasakan hal yang berbeda. Tanpa sadar aku mengembangkan senyum dan menoleh pada seseorang yang ada di sebelahku.
“I fucking know that face!” gelaknya merespon reaksiku. Aku tetap menahan senyumku sambil merebut oksigen dan mengatur napasku.
“And now, let’s get down.”
Aku menjatuhkan pandangan pada Kiernan yang bersiap turun ke bawah. Kulihat tanah di bawah cukup jauh dengan ketinggianku. Sial, tiba-tiba memori masa lalu terlintas di kepalaku. Momen dimana aku melihat jasad Ayahku tergeletak di tanah dari atas balkon yang berada di lantai 11. Saat itu umurku baru 8. Begitulah kematian tragisnya yang membuatku trauma dengan ketinggian.
“N-no, I can’t.” ujarku pelan padanya. Kini dapat kurasakan ngilu yang menjalar di sekujur tubuhku. Aku berusaha menutup kedua mataku untuk menyingkirkan pikiran itu, tapi memori itu semakin menyeruak di kepalaku.
“Coward! You better take a look out there!” ia menunjuk sesuatu yang ada di pekarangan sekolah itu. Sial, Mr. Russett berlari ke arahku.
“Right now, dumbass!” teriaknya dari bawah sambil menggoyangkan pagar ini. Aku terkejut dan mengencangkan pegangan tangan pada besi pagar agar tidak terjatuh. Perasaanku sangat tidak karuan. Dengan sekuat tenaga aku berusaha tenang dan berbalik badan. Aku menundukkan kepala untuk memastikan ketinggiannya.
Oh, come on, Xander. It’s not that high.
Aku mengambil napas panjang dan berhati-hati menjangkau pijakan untuk turun secara estafet dengan kakiku tanpa melihat ke bawah. Kepalaku fokus mendongak ke atas. Pijakan demi pijakan telah ku injak secara meraba-raba.
“He got the key!” teriak Kiernan membuyarkan konsentrasiku.
Buru-buru aku meraba pijakan dengan perasaan panik. Sial, tanganku berkeringat sehingga membuatku terlepas dari genggaman, dan kakiku tidak menemukan sebuah pijakan. Alhasil dengan lutut yang lemas aku melompat ke bawah.
BEG!
Rasanya tulang keringku mengalami tumpuan beban.
“Run, stupid!”
Aku tersentak saat sebuah tangan mencengkram pergelangan tanganku dan menarikku agar ikut berlari dengannya. Aku tidak menolaknya. Kubiarkan kakiku mengikuti langkah Kiernan tanpa tahu arah tujuan kemana. Adegan ini terasa seperti slow motion dimana aku dapat mencium aroma rambut pirangnya yang tersibak dengan cantik. Aku menjatuhkan pandangan pada pergelanganku dan tangannya yang menyatu dengan erat. Oh, aku menikmati tiap detik bersamanya.
Apa aku jatuh cinta lagi kepadanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
perks of being bi
Fiksi RemajaKiernan Biershka, gadis sosiopat berusia 18 yang merupakan biseksual dan menganggap tidak ada satupun lelaki yang pantas untuknya. Sebuah masalah menjeratnya mengenai pengakuan itu dan menyeret Xander yang menjadi suspek utama permasalahan gadis itu...