Mentari sudah kembali bersinar seperti biasanya. Panas seakan menyengat luar biasa. Rupanya sang surya tengah angkuh pada bumi. Ia membagikan sinarnya di setiap sudut-sudut bumi. Rasanya panas. Menyeruak. Menghantam ubun-ubun. Mematikan saraf pada kulit-kulit. Seorang pria berdiri dengan gagah di depan sebuah masjid.
Sebuah masjid yang sama. Sebuah masjid yang memintanya tinggal di kota gudeg. Sebuah masjid yang menuntunnya pada gadis pendongeng. Suasananya begitu sepi. Aakif mulai masuk ke dalam. Tak ada siapapun di dalam. Waktu itu, tepat jam inilah masjid ini menghantarkannya pada seseorang yang terus ia ingat. Yang terus memintanya untuk menemuinya lagi.
Ia mulai memeriksa bilik demi bilik. Tak ada orang disini. Ia akan pergi. Namun kali ini Dhuhur lah yang memaksanya tinggal. Sepuluh menit lagi adzan dhuhur akan berkumandang. Aakif bergegas menuju tempat wudhu. Ia mulai membasuh wajahnya. Kemudian mencuci kedua tangannya, membasahi sebagian kepalanya, membasuh kedua telinganya. Hingga akhirnya mencuci kedua kakinya. Keran air itu ia matikan. Ia mulai membacakan doa sehabis wudhu.
"Asyhadu Allaa Ilaaha Illalloohu Wahdahuu Laa Syariika Lahu Wa Asyhadu Anna Muhammadan 'Abduhuwa Rosuuluhuu, Alloohummaj'alnii Minat Tawwaabiina Waj'alnii Minal Mutathohhiriina"
Di langkahkannya kedua kakinya yang basah. Menginjak keramik putih itu. Ia berjalan dengan langkah panjang. Sepertinya muadzin telah mengumandangkan adzan. Suara remaja yang sama saat ia melangkahkan kaki ke masjid ini. Suara merdu nan nyaring. Dan benar, seorang bocah berusia kurang lebih lima belas tahun ada disana. Menyerukan panggilan untuk menghadap Allah. Setelah selesai bocah itu meletakan mik yang di gunakan kembali ke tempatnya. Ia tersenyum menatap pria yang tak lain adalah Aakif.
"Mas datang lagi toh"
Kata bocah itu pada Aakif. Aakif hanya tersenyum kikuk. Rasanya memang ia pernah melihat bocah itu. Tapi sudah lama. Akankah bocah itu masih ingat pada dirinya.
"Sudah tidak ada dongeng lagi dik?"
Akhirnya Aakif angkat bicara. Ia mulai penasaran dengan gadis pendongeng yang pernah di jumpainya. Seandainya Tuhan mengijinkan ia bertemu lagi dengan gadis itu, ia ingin tahu siapa namanya. Dari mana asalnya. Siapa orang tuanya. Segalanya tentang dia agar secepatnya ia dapat beribadah untuk menikahinya atas jalan Allah. Ah, pikiran itu muncul lagi dalam benak Aakif. Aakif tersenyum simpul kemudian membuang jauh-jauh pikirannya.
"Masih mas, itu disana"
Bocah itu menunjuk sebuah kanopi di dekat masjid. Disana tetlihat seorang gadis yang mengatur anak-anak untuk berjalan menuju masjid. Gadis yang sama dengan kala itu. Allah mengabulkan hajat dan doanya. Gadis bak permata murni yang tengah berjalan mendekatinya. Seolah Allah telah menurunkan salah satu bidadari ciptaan-Nya.
Mata Aakif tak dapat berkedip. Hingga gadis itu tepat berada di depannya. Gadis itu tampak kikuk. Ada sesuatu yang berdesir saat melihat Aakif.
"Sa..sa..saya mau jadi imam"
"Hah? Cepat sekali mas?"
"Imam solat"
"Astagfirullah. Iya mas, iya. Saya dan anak-anak ambil wudhu dulu"
Aakif mengangguk. Ia mulai berjalan menuju shaft paling depan. Sayang sekali masjid yang besar tak ada penghuninya sedangkan tempat maksiat nan sesak banyak sekali yang berminat.
"Subhanallah..."
Kata Aakif setelah melihat gadis pendongeng itu mengenakan sebuah mukena putih. Wajahnya seakan bersinar. Ayu sekali parasnya. Dengan balutan mukena putih, senyuman itu semakin indah di lihat. Senyum ketulusan saat membantu anak-anak didik itu menggunakan mukena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentara I'm In Love
RomanceSquel dari cerita my love pak doreng Apa jadinya Maira, gadis 16 tahun yang selalu di kejar-kejar oleh seorang tentara, ajudan dari ayahnya. Atau kakaknya Aakif yang cintanya selalu bertepuk sebelah tangan pada anak komandan polisi yang ternyata sah...