Setelah kejadian tadi pagi, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, aku tidak bisa menuntut atau menuduh kalau Siena yang merapikan atau membuka pintu lemariku. Aku juga tidak bisa menuduh siapa pun yang datang kekamarku kemarin malam. Aku sama sekali tidak tahu siapa yang datang. Aku pulang jam sembilan malam dan mendapati Siena sudah terbangun karena kebisinganku—yang aku fikir itu tidak bising sama sekali. Aku ingin menanyakan kepada Siena, namun, sulit. Pasti dia akan marah karena aku menuduhnya macam-macam.
Aku berniat untuk melihat dari CCTV. Kamarku ada 3 buah CCTV, satu di kamar tempat tidur, satu di ruang lemariku, dan satu lagi di ruang lemari Siena.
Kalian pasti mengira mengapa aku bahkan sangat repot untuk mengetahui siapa yang membereskan ruangan bajuku? Ya itulah sifatku, penasaran, aku selalu penasaran akan sesuatu, dan apapun yang aku ingin tahu, harus aku ketahui. Yah, bisa dibilang sikap buruk juga, sih.
Aku sudah menyelesaikan pelajaranku. Aku berjalan santai menuju ruangan Mr. Rossi, guru yang bertanggung jawab akan kamera-kamera yang terpasang. Aku belum pernah sama sekali masuk ke ruang CCTV, karena menurutku tidak penting, dan aku menyangkalnya untuk saat ini.
"Permisi." Aku mengetuk pintu dan melangkah masuk ketika melihat Mr. Rossi menganggukkan kepalanya, "maaf, Sir, saya ganggu. Saya hanya ingin mengecek CCTV dalam kamar saya, lebih tepatnya, kamar pakaian."
"Kamar nomor?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan komputer dihadapannya.
Aku baru sadar, mungkin juga karena aku pertama kali ke ruangan ini, komputer-komputer berderet, seperti manusia yang berbaris untuk mendapati sembako. Setiap komputer menayangkan CCTV. Mulai dari warna hitam-putih dan berwarna.
Di salah satu komputer, aku melihat ada segerombolan murid perempuan yang berisi 5 orang merendahkan murid perempuan yang lain. Suaranya terdengar jelas, walaupun suara dari komputer yang lain juga tak kalah keras.
"Ma-maafkan aku, Kak. Aku tidak berniat untuk begitu," ujar perempuan yang sedang dipojokkan ke dinding kokoh belakangnya. Wajahnya memerah akibat terlalu banyak menangis.
"Gak usah minta maaf! Bersihkan dulu ingusmu! Jangan semena-mena terhadapku! Kalau berbicara dengan orang yang lebih tua itu menunduk! Jangan menatap lurus! Kau tak pernah belajar tata kesopanan, kah?" Gadis yang berada di paling depan, dengan rambut yang digerai panjang dan diwarnai warna-warni menatap kesal perempuan yang sedang asik membersihkan ingusnya ke belakang baju.
"Maaf sebelumnya, Kak. Tapi bukankah harusnya Kakak yang bersikap ramah denganku? Secara Kakak lebih tua dariku, harusnya memberi contoh sikap yang baik, memang ada untungnya untuk membully murid pindahan sepertiku? Padahal aku hanya vampire campuran, bukan murni. Lagipula sikap Kakak tidak bisa dikatakan lebih sopan dariku." Perempuan itu mendongak, matanya menatap lurus gadis yang sedang membulatkan matanya.
Ekspresiku tak kalah jauh dengan gadis itu, kaget, benar-benar kaget, ia berani sekali! Ya... Ya... Aku tahu, kita tidak boleh takut dengan apa pun terkecuali orang-orang tertentu. Semua manusia dihadapan Tuhan sama, mau darimana kau berasal, semuanya serupa dimata Tuhan.
Namun...
Ini yang berbeda.
"Halo? Nona? Apakah kau masih mendengarkanku?" Tanya Mr. Rossi.
Aku langsung kaget, mengangguk, "maaf, apa katamu tadi?"
"Ternyata kau tidak mendengarkanku, baiklah." Ia menghela nafas. Aku menoleh ke-arahnya dengan takut-takut, pasalnya, aku belum pernah bicara atau bertemu Mr. Rossi sebelumnya, ini pertemuan pertamaku, dan aku takut aku sudah membuatnya muak dengan sikapku.
"Maaf, Sir. Aku benar-benar tidak mendengarkan, aku fokus pada murid-murid yang sedang membully. Maafkan aku, Sir. Maaf jika membuatmu muak dengan sikapku."
KAMU SEDANG MEMBACA
War
FantasySetiap tahun peperangan selalu terjadi, peraturannya simpel, namun hasilnya mengenaskan, hanya butuh mengirim dua orang dari daerah yang berbeda untuk berperang, orang yang sangat kuat dan sangat gagah walaupun itu perempuan sedikitpun. Tahun ini, E...