Sebuah Prolog : Perpisahan Kala Itu

463 50 18
                                    

"Tak apa, aku menggenggam tanganmu erat. Tenanglah," dengan nafas memburu, lelaki dengan rambut ikal itu mencoba untuk menenangkan gadis yang sedang tergeletak dihadapannya.

Bukannya tenang, gadis itu malah semakin menjadi-jadi dalam tangisnya. Rona wajahnya yang semakin lama semakin memucat dan jeritannya yang tertahan menandakan bahwa ia sedang dalam kondisi kesakitan.

"To-tolong tetap bersa-samaku," sepenggal kalimat itu berhasil diucapkannya walau tersendat. Perih yang dirasakannya membuatnya jatuh dalam jurang ketakutan. Inikah waktunya? Haruskah ia pergi sekarang juga?

"Ssstt, jangan khawatir, An. Aku pasti bisa menyelamatkanmu, tenanglah, dan tolong bertahanlah," air mata perlahan mulai membasahi pipi lelaki itu.

Tampaknya lelaki itu tidak berniat menggeser posisi tangannya. Yang kanan ia gunakan untuk menggenggam erat jemari-jemari mungil yang perlahan mendingin, dan yang satu lagi ia gunakan untuk menutupi luka sayatan yang ada di punggung yang sedang gemetar itu.

Hatinya tergores melihat gadis pujaannya dalam kondisi mengerikan seperti ini. Gaun putih yang membalut tubuh gadis itu kini berubah menjadi merah, diwarnai oleh darahnya yang sedari tadi tak berhenti mengalir keluar. Rambut hitam legamnya terserak ke segala arah, wajahnya yang kini penuh dengan goresan semakin memucat, matanya yang terpejam erat tak berhenti mengeluarkan air mata, dan seluruh tubuhnya terus saja mendingin.

"A-aku t-takut, Sa," suara Anna semakin mengecil, begitu pun isakannya.

Darsa yang tak henti memandangi Anna mulai memaki dalam hati. Ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika Anna harus berakhir disini, di dalam peluknya.

"Aku menggenggam tanganmu erat, Anna. Bukankah kamu selalu tenang jika aku menggenggam tanganmu? Tolong jangan takut," sebisa mungkin Darsa menahan isakannya agar Anna tidak menyadari bahwa lelakinya itu sedang menangis, bahwa lelaki itupun dirundung rasa takut yang sama.

Keduanya diselimuti senyap, ditemani isakan dan suara alam yang tengah bergulat.

Perlahan, jemari dingin yang berada dalam genggaman lelaki itu melemah, mulai terkulai lemas tanpa sedikit pun tenaga. Sepasang mata yang tadinya dipejamkan erat, kini menutup lembut. Dingin semakin menjalar menutupi tubuh itu.Tidak ada lagi deru nafas yang keluar dari hidungnya.

"Anna?" Darsa memanggil Anna lirih.

Nihil, tak ada jawaban dari gadis itu. Dadanya tak lagi naik turun tak beraturan, ia benar-benar terlihat sedang damai dalam pulasnya.

"Anna," Darsa memanggilnya sekali lagi.

"Anna, Anna," tubuh yang kaku itu diguncang perlahan.

Mata sayu Darsa menelisik wajah Anna secara mendetail. Ia menarik lengan yang tadinya ia gunakan untuk menggenggam jemari Anna, menuju wajah yang selalu dikaguminya itu.

Ibu jarinya mengusap pipi Anna yang dingin. Air matanya berlabuh pada wajah itu tanpa ia sadari. Tangis yang sedari tadi ia sembunyikan dalam keheningan, kini mulai tampak dengan isakan.

"Anna," sekali lagi, Darsa memanggil nama itu untuk mencari kepastian.

Tetap saja, sang pemilik nama tak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda untuk meresponnya. Wajahnya yang damai seakan memberi jawab bahwa ia ingin beristirahat.

Kedua lengan lelaki yang sedang tersedu itu kini mulai memeluk tubuh dingin Anna, memeluknya erat seakan tak ingin melepasnya. Sedu tangisnya kini berkuasa, otaknya kelu untuk percaya bahwa Anna-nya telah tiada.

Ternyata memang benar, perpisahan tak sebatas ilusi, dan sialnya itu terjadi saat keduanya masih dibalut satu emosi.

Masih memeluk tubuh Anna, Darsa mendekatkan bibirnya ke arah daun telinga gadis itu dan berkata,

"Aku mencintaimu, Anna. Selalu."

***

tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HEREAFTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang