Chapter 3

2.5K 69 1
                                    

“Cepat selesaikan pekerjaanmu, lamban!” bentak seorang wanita paruh baya dengan dandanan dan pakaian yang sangat modis. Ia berkacak pinggang dan menatap geram pada gadis berusia 18 tahun di hadapannya. Gadis itu hanya menunduk, tak berani menatap bibinya dan terus mengepel lantai rumahnya yang sangat luas. Ya, rumah luas nan megah itu sebenarnya adalah rumahnya namun telah dikuasai oleh bibinya semenjak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil 12 tahun silam dan hak asuhnya jatuh padanya. Sejak saat itulah ia diperlakukan layaknya pembantu di rumahnya sendiri dan tak pernah lagi merasakan indahnya dunia luar karena bibinya melarangnya keras untuk keluar rumah. Pernah satu kali ia menyelinap keluar rumah namun entah bagaimana bibinya mengetahuinya lalu mencambuknya habis-habisan dan tidak memberinya makan selama dua hari.

“10 menit lagi kau harus sudah menyelesaikannya! Jika tidak, kau akan kukurung lagi di gudang. Mengerti?” bentaknya lagi. Gadis itu hanya mengangguk.

Josephine berlalu meninggalkan gadis itu dan masuk ke kamarnya. 10 menit kemudian dia kembali keluar. Gadis itu baru saja selesai mengepel lantai dan mengelap keringat di wajahnya saat bibinya kembali muncul di hadapannya dan melemparkan sebuah pakaian padanya. “Cepat mandi dan pakai pakaian itu! 5 menit!”

Josephine duduk di atas sofa berwarnaputih sembari menunggunya. Ia tersenyum karena gadis itu kini juga bisa memberinya uang. Ia telah cukup dewasa dan kecantikannya benar-benar sudah terlihat. Lelaki manapun pasti tak ada yang sanggup menolaknya, pikirnya. Ya, mulai malam itu ia memutuskan untuk menjadikan keponakan satu-satunyaitu menjadi salah satu wanita penghiburnya.

Eleanor tak tahu apa yang sebenarnya akan dilakukan bibinya padanya saat ia memberinya pakaian yang sangat bagus dan mengajaknya keluar rumah. Yang pasti, ia merasa sangat senang saat itu. Ia memandang takjub pemandangan kota di luar dengan lampu-lampu berwarna-warni yang menghiasi seluruh kota dari kaca jendela mobil sementara bibinya menyetir di sebelahnya.

Mobil itu berhenti saat mereka telah sampai di sebuah hotel berbintang. Josephine merangkul keponakannya dan tersenyum ramah pada semua orang saat mereka telah memasuki pintu lobi hotel. Sesaat gadis itu merasa heran dan aneh karena ia tak pernah melihat bibinya tersenyum ramah dan merangkulnya seperti itu. Namun perasaan itu segera tergantikan oleh perasaan takjub dan bahagia karena ia melihat begitu banyak orang disana. Ia merindukan keramaian dan berkumpul dengan banyak orang.

Eleanor tersenyum kepada semua orang yang dijumpainya dan mereka balas tersenyum dengan tatapan memuja? Entahlah, ia tak begitu yakin karena ia merasa tak ada yang bisa dikagumi dalam dirinya.

Mereka keluar dari dalam lift saat sampai di lantai 4 dan berhenti di depan sebuah pintu bernomor 417. “Aku sedang berbaik hati. Jadi aku mengajakmu keluar. Aku tahu kau pasti bosan setengah mati di dalam rumah, benarkan sayang?” Josephine berkata lembut dan mengelus pipi keponakannya. “Kau juga tak akan kesepian lagi karena aku akan memberimu seorang teman. Sekarang masuklah dan nikmati kamar mewah ini,” ia memberinya sebuah kunci lalu berbalik dan melangkah meninggalkan gadis yang tengah kebingungan itu sendiri. Namun baru beberapa langkah, ia kembali berbalik. “Temanmu akan datang setengah jam lagi. Namanya Justin Gilbert. Nikmati malammu sayang. Sampai jumpa.”

Kedua sudut bibir gadis itu terangkat membentuk sebuah senyuman saat wanita paruh baya itu telah pergi. Ia tak tahu itu pertanda baik atau buruk. Yang jelas ia merasa bahagia karena setidaknya untuk saat itu ia tak lagi dikekang di dalam rumah oleh bibinya.

Dengan perasaan senang, ia masuk ke dalam kamar tersebut. Kamar itu benar-benar indah dengan berbagai perabotan modern yang mewah, mengingatkannya pada kamarnya dahulu yang kini ditempati oleh bibinya. Selama 12 tahun ini ia tidur di kamar sempit nan pengap di ruang bawah tanah.

Eleanor menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan matanya, menghirup udara dalam-dalam, dan tersenyum. Ia kemudian bangkit dan menatap sekeliling ruangan. Matanya terpaku pada sebuah benda tipis berbentuk persegi panjang yang ada di seberang ruangan. Sudah sangat lama ia tidak menonton televisi. Tentu saja itu karena bibinya melarangnya. Jadi ia benar-benar tak tahu keadaan dunia luar. Ia juga dilarang menggunakan telepon rumah. Lagi pula jika tidak dilarang, ia juga tak tahu akan menelpon siapa. Kakek dan neneknya juga sudah tak ada, ia anak tunggal, ibunya juga anak tunggal, ayahnya hanya mempunyai seorang adik yaitu Josephine, dan Josephine sampai sekarang belum menikah. Jadi kesimpulannya, sekarang ia hanya mempunyai satu orang kerabat yaitu Josephine.

Gadis itu duduk santai di atas sofa lalu menyalakan televisi itu, menunggu seorang Justin Gilbert.

***                                                     

Eleanor selalu mengingat malam itu. Malam dimana ia bersama Justin Gilbert. Malam yang menurutnya sangat indah. Namun pagi harinya lelaki itu harus meninggalkannya. Lelaki itu telah berjanji akan menemuinya lagi namun sampai 13 hari ini ia tidak juga menemuinya.

Eleanor tengah duduk melamun di kursi dapur. Semua pekerjaannya hari ini telah ia selesaikan. Setiap hari ia selalu memikirkan Justin. Akankah ia akan bertemu dengan lelaki itu lagi? Bagaimana caranya? Setiap hari ia dikurung dalam rumah ini. Tapi bukankah lelaki itu telah berjanji akan menemuinya lagi? Eleanor percaya lelaki itu pasti akan menepati janjinya.

“Merindukan Justin Gilbert, eh?” Eleanor tersentak mendengar suara itu. “Jawab aku sayang,” Josephine mengangkat dagu keponakannya, menatap dalam-dalam bola mata abu-abu miliknya. “Ya aunt,” jawabnya lirih. Josephine tersenyum. “Kau akan segera bertemu dengannya.” Eleanor mengerjapkan matanya. “Benarkah bibi?” Josephine melepaskan dagunya, senyumnya seketika lenyap dan matanya menatapnya tajam. “Cepat mandi!” bentaknya.

***

“Aku membutuhkannya malam ini. Kau tidak pernah menggunakannya untuk lelaki lain kan?”

“Seperti yang anda inginkan Tuan, dia hanya milik anda.”

“Bagus. Antarkan dia sekarang. Aku sudah disana.”

***

Eleanor berdiri di samping bibinya yang sedang mengetuk sebuah pintu kamar hotel bernomor 9718. Mereka kembali ke hotel berbintang milik Justin Gilbert namun kali ini mereka ada di lantai 97. Jantung Eleanor berdegup kencang dan tak karuan. Ia sangat tidak sabar menunggu pintu itu terbuka. Ia sungguh sangat merindukan lelaki itu. Ia sangat ingin melihat lelaki itu, sekarang juga!

Pintu itu perlahan terbuka dan jantung Eleanor mendadak seperti jatuh dari tempatnya. Lelaki tampan dengan senyum malaikat itu kini berdiri di depannya.

“Wow,” Justin tersentak kaget dan sedikit terdorong ke belakang saat tiba-tiba gadis di depannya menubruknya dan memeluknya dengan sangat erat. Justin sedikit tertawa saat menyadari bahwa gadis ini sangat merindukannya. “Kau merindukanku ya?” bisiknya. Eleanor melepaskan pelukannya lalu mengangguk. “Mengapa lama sekali? Ini sudah 2 minggu.” “Selalu ingin tahu, eh?” Justin mengacak rambut gadis itu. “Justin!” gadis itu menjerit dan menahan tangannya. Justin tertawa kecil sementara gadis itu merapikan rambutnya.

Josephine tercengang melihat mereka. Mengapa mereka terlihat sangat akrab? Mengapa keponakannya memanggilnya Justin, bukan Tuan Gilbert? Dan mengapa Ia tidak marah dipanggil seperti itu? Mengapa seorang Justin Gilbert bisa tersenyum dan tertawa kepada seseorang? Biasanya dia sangat angkuh dan dingin kepada semua orang tapi dengan keponakannya, mengapa ia terlihat sangat hangat dan terbuka?

BABYDOLLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang