Untuk janji yang tak ditepati, aku bahkan rela mengkhianati rasa. Logika dan hatiku terus bergelut, berusaha untuk percaya bahwa pilihanku sudah tepat. Tetapi, sayangku, hati selalu punya jawaban lain yang lebih jujur.
***
DARI sederetan hal yang tidak Gandis sukai, bisa jadi ini yang paling ia benci.
Ingar-bingar musik bertempo cepat yang mengiringi orang-orang menari. Suara percakapan yang terdengar tumpang tindih di sekitar. Orang-orang asing yang bertingkah sok akrab hanya demi punya momen terbaik di awal tahun; bertemu dengan cowok-cowok yang berlagak paling keren dari sekolah lain; mengambil beberapa foto yang bisa dipamerkan kepada orang-orang di media sosial; kemudian keseruan akan berlanjut di dunia nyata setelah semester kedua dimulai, seakan-akan semua orang perlu mengetahui kabar tersebut.
Banyak hal yang menurut remaja lain kedengaran lumrah, tapi kenyataannya nggak ada satu bagian pun yang menurutnya menarik. Bahkan, setelah cukup lama berada di apartemen orangtua sahabatnya yang disulap dengan pernak-pernik terompet beserta confetti dalam wadah yang nyaris mengisi setiap sudut ruangan ini, ia hanya bergeming di dekat jendela. Tangannnya sejak tadi hanya menggenggam gelas berisi sari buah yang menyisakan setengahnya, sementara tatapan kosongnya tertuju pada pemandangan kota dari lantai sebelas.
Mungkin hanya itu satu-satunya bagian yang menurutnya sedikit lebih menarik. Mengasingkan diri dari keramaian, memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk merenung. Membiarkan memorinya memutar kembali hal-hal terbaik selama dua belas bulan yang sudah dilewatinya. Ia mulai mengingat-ingat kalimat yang sering papanya bilang ketika ia sedang bersedih.
Mengenang hal-hal terbaik di masa lalu akan membawa kita pada hal-hal terbaik di waktu yang akan datang....
Tetapi rupanya nggak cukup berhasil.
Ia seperti Alice di wonderland.
Bahkan, ia rela menjadi sosok Alice yang terjebak di dunia antah-berantah yang penuh keriuhan tersebut hanya untuk menghindari seseorang. Ia masih menikmati keadaannya sampai terdengar teriakan orang-orang yang mulai menghitung waktu mundur.
Lima ... empat ... tiga ... dua ... sa ... tu....
Terompet mulai digaungkan. Langit malam ditaburi rupa warna kembang api yang meriah. Semua orang berteriak. Semua orang bersuka cita. Kecuali dirinya. Barangkali, hanya ia yang merasa sepi di tengah-tengah keramaian tersebut.
"Gue seneng akhirnya lo dateng juga, Dis," celetuk Tiana yang muncul bersama seorang cowok bertubuh tinggi yang terlihat asing. "Biasanya lo kan milih ngendon di kamar pas malem pergantian tahun. Mendadak jadi teman paling nggak asyik sedunia."
"Dan sekarang teman paling nggak asyik itu berdiri di hadapan gue, menggandeng seorang cowok baru yang nggak dia sadari belum dikenalin ke temannya yang nyempetin dateng." Gandis pura-pura merajuk di depan sahabatnya yang setiap malam pergantian tahun mengadakan pesta untuk dua alasan—merayakan tahun baru, sekaligus hari lahirnya yang kebetulan dirayakan nyaris seluruh umat manusia di dunia. "Udah bela-belain dateng juga gue, masih tetep aja dikata-katain, ya."
"Sori deh, sori. Ini gue saking excited-nya karena dari sekian undangan yang gue kasih beberapa tahun terakhir, ini kali pertama lo dateng kembali sebagai Gandis-sahabat-gue." Ekspresi Tiana yang ekspresif menggambarkan sekali kata-katanya. "Kado dari lo emang nggak pernah absen sih emang, tapi biasanya kan elo—"
—biasanya, ia punya acara sendiri untuk menghabiskan malam pergantian tahun.
Ia memilih melewatkannya sendirian di kamar tanpa melakukan apa pun. Hanya tiduran di kasur sambil mendekap selembar foto usang dalam bingkai kayu. Setelah samar-samar mendengar suara letusan kembang api dan menangkap berbagai kilatan warna-warni di tengah-tengah langit melalui jendela, ia mulai beranjak seakan saat itulah harinya dimulai. Ia membawa langkahnya ke luar, kemudian memutar kenop pintu di sebelah, kamar kakaknya, tetapi tidak pernah benar-benar dibukanya. Bibirnya yang bergetar menggumamkan, "Selamat Tahun Baru, Kha" nyaris tanpa suara. Setelah itu ia akan menuruni anak tangga, mendapati Mama yang sudah terlelap di sofa dengan televisi yang masih menyala, kemudian mengecup pipi perempuan itu setelah menyelimutinya.
"—astaga, hampir aja gue lupa ngenalin kalian!" pekik sahabatnya itu. "Ini Drake, kapten basket SMU 1. Drake, ini Gandis, sahabat gue." Tiana mengenalkan cowok di sampingnya, kemudian Gandis dengan cowok itu bersalaman singkat. "Lo datengnya nggak barengan si—" Kalimat Tiana lagi-lagi tidak selesai. Mereka mendapati seseorang yang hampir Tiana sebut namanya muncul di antara kerumunan orang-orang yang sedang menari.
Penampilan cowok itu tidak seperti seseorang yang akan menghadiri pesta. Kaus abu dibungkus kemeja planel hitam kusut yang tidak dikancingkan. Celana jins biru dan converse yang seperti sudah berminggu-minggu tidak menyentuh air. Rambutnya yang menumpuk di bagian tengah acak-acakan, membuatnya terlihat seperti baru sadar setelah ketiduran di rumah salah satu temannya, lalu teringat dia harus mendatangi tempat ini tanpa mengetahui bahwa orang-orang berpakaian lebih "niat" dari yang dikenakannya.
Pada hari-hari sebelum Gandis merasa sangat dikecewakan oleh cowok itu, helai-helai ikal yang kusut dan menumpuk di bagian tengah tersebut selalu membuat tangannya terangkat, merapikannya dengan jemari sambil berkata, "Besok-besok rambut lo ini harus mulai dipaksa temenan sama sisir deh, Yan." Yang akan ditanggapi cowok itu dengan cuek, "Meskipun tahu kalau itu satu-satunya hal paling nggak berguna di dunia ini, tapi besok-besok bakal gue coba, Dis."
Tapi malam ini, ia lebih memilih meremas gelas di tangannya erat-erat, kemudian mengalihkan kembali pandangan pada arus lalu-lintas yang padat melalui jendela seakan-akan ini bagian paling menarik dari pesta ini.
"Lo juga ngundang dia, Na?" desisnya.
Tiana mengangguk. "Di Instagram gue nulis undangan buat orang yang gue kenal dan mengenal gue." Kedua matanya kemudian menyipit, seperti berusaha menganalisis pertanyaan Gandis lewat gesturnya yang terlihat tak nyaman mendapati kehadiran Diyan.
"Pilihan gue dateng kayaknya nggak tepat, deh." Ia mendatangi acara yang tidak pernah disukainya selama beberapa tahun ini untuk satu alasan. Mendapati kemunculan Diyan malam ini membuatnya kehilangan satu-satunya alasan berada di tempat mengerikan ini lebih lama lagi.
"Gue nggak tahu kalau kalian—"
Bertengkar. Bermusuhan. Membenci. Atau istilah apa pun yang bisa menggambarkan perasaannya kepada cowok itu sekarang.
"Akhirnya ... gue nemuin lo ... di sini..., Dis," suara Diyan terputus-putus.
"Thanks ya, Dis, kadonya. Gue masih ada urusan lain nih, have fun, ya, kalian berdua." Tiana memilih melarikan diri bersama cowok barunya, membiarkan Gandis berdua bersama seseorang yang sama sekali tak ia harapkan kemunculannya.
"Gue tahu kalau lo masih marah sama gue, Dis. Tapi kasih gue kesempatan buat jelasin semuanya."
Seandainya permintaan maaf bersama sederet penyesalan itu Diyan layangkan tidak lama setelah dia melakukan kesalahan yang cukup sulit untuk dilupakan, mungkin saja Gandis masih punya kesempatan untuk memaafkannya, mengembalikan keadaan mereka seperti sedia kala. Tetapi Diyan tidak mengambil kesempatan tersebut.
"Mau sampai kapan ngediemin gue terus kayak gini, Dis?" Cowok itu bertanya dengan frustrasi.
Gandis tidak berminat menanggapi pertanyaannya meskipun ia sudah memiliki jawaban untuk dirinya sendiri. Sampai ia sudah benar-benar bisa menerima semuanya. Sampai menyadari bahwa ia masih punya ruang di hatinya untuk memaafkan seseorang yang sudah membohonginya. Sampai ia bisa menerima bahwa sebenarnya ia masih punya separuh ruang lain di hatinya untuk bisa menerima kembali seseorang yang telah mengingkari janjinya.
Tetapi dua hal itu sudah cukup menggoreskan luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan permintaan maaf serta sederet penyesalan lainnya. Bahkan lebih dari sekadar cukup untuk ia mengayunkan langkah meninggalkan tempat ini tanpa berkata sepatah kata pun. []

YOU ARE READING
Tentang Kamu yang tak Tahu Arti Menunggu
Teen FictionGandis tahu mereka sudah berjanji. Namun Diyan mengingkari. Gandis percaya bahwa berharap lebih artinya siap dikecewakan, hanya saja ia lupa bahwa orang terdekatlah yang justru punya kesempatan melukai lebih besar. Lalu Diwang muncul, menawarkan har...