Rabbi, mengapa sesakit ini?
Rencanamu memang tidak pernah ada yang tahu. Tapi, kenapa harus Kau hadirkan dia dalam pernikahan ini,
Jika memang hanya untuk menghancurkan hatiku? Kenapa baru saja aku mencicipi kebahagiaan, namun kini Kau memberiku seteguk rasa sakit?
Rabbi, kuatkan aku.____________
Saya mencintai perempuan lain.
Ucapan itu bagai pedang yang menghunus hati Aisyah. Menyakiti hingga membuatnya enggan sadar akan kenyataan yang ada.
Pengakuan Azmi terus berputar di kepala, bagai suara yang terus terngiang di telinga. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Ibaratnya, hati adalah sebuah rumah. Baru saja Aisyah ingin menyusunnya sebagai tempat singgah, tapi seseorang sudah memporak-poranda hingga hancur tak tersisa.
Hanya ada keheningan menemani mereka usai pengakuannya tadi. Azmi memilih membersihkan diri. Dia bahkan tidak tidur satu ranjang dengan Aisyah. Dia memilih tertidur di sofa panjang yang tadi ia duduki.
Ya Allah, mengapa sesakit ini?
Pernikahan seperti ini, bukan pernikahan impian yang Aisyah inginkan. Kenyataan terpahit dalam hidupnya yang harus ia telan di awal pernikahan. Menghancurkan harapannya untuk bisa membangun biduk rumah tangga yang bahagia. Setelah ini, apa yang mesti ia harapkan dari Azmi? Sedangkan cinta laki-laki itu sudah terpaut pada perempuan lain.
Aisyah terbangun sekitar pukul empat pagi. Tubuhnya seolah terset untuk bangun lebih pagi sebelum hampir subuh.
Dia bangun, meraba matanya yang terasa berat, dan kepalanya sedikit pening. Aisyah mencoba mengingat apa yang terjadi. Gadis itu tertegun kala mengingat semuanya, semalam diam-diam ia menangis karena tidak bisa menahan perih di hatinya. Ia terlelap karena terlalu lelah menangis dan tidur memunggungi Azmi yang berbaring di sofa panjang.
Entahlah, mungkin Aisyah rasa Azmi pasti tahu ia menangis karena punggungnya bergetar tapi tak coba untuk menenangkan.
Kini pandangannya teralih pada sosok yang tidur meringkuk di kursi panjang. Wajahnya lelah. Seharusnya Aisyah sadar bahwa bukan hanya hatinya yang sakit, tapi juga Azmi.
Laki-laki itu menuruti keinginan orang tuanya, mengesampingkan kebahagiaannya sendiri. Astagfirullah, harusnya Aisyah sadar. Keduanya tertekan dalam himpitan keinginan orang tua. Lalu, kegoisannya karena tidak menerima pernyataan Azmi membuatnya bahkan lupa untuk peduli pada suaminya sendiri.
Lihat, bahkan Aisyah membiarkan Azmi tidur tanpa selimut di sana.
Aisyah beranjak dari ranjang, berjalan pelan mendekat ke arah Azmi yang terlelap. Pikirannya bingung saat menatap Azmi yang lelah, membangunkanya untuk salat malam bersama atau Aisyah membiarkannya terlelap saja?
Gadis itu terhenyak seketika saat menatap wajah Azmi. Hatinya berdesir kala mengingat pandangan Azmi yang memupuk kesedihan. Akhirnya, Aisyah tahu jawaban dari rasa penasarannya itu.
Allah, sekarang ia harus bagaimana? Tetap menjalani peran sebagai istri Azmi dengan berpura-pura bahagia ataukah ia harus mundur perlahan?
Bergelut dengan pemikirannya, membuat Aisyah tak sadar bahwa ia sudah berada lama di posisi memandang Azmi. Dia memilih membangunkan Azmi pelan, menyentuh lengannya yang terjulur ke bawah sofa agar Azmi bangun.
"Kak." Pelan Aisyah membangunkan. Dia sendiri bingung harus memanggil Azmi dengan sebutan apa. Panggilan Kakak, Aisyah pilih sebab umur Azmi memang lebih dewasa darinya.
Tak ada tanda-tanda Azmi bangun, dia masih bergeming.
Kali ini Aisyah memberanikan diri menggoyangkan bahu suaminya itu perlahan.
"Kak Azmi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Kasih Aisyah [Terbit]
Espiritual⚠️Telah Terbit - Sebagian Part Dihapus⚠️ Tersedia di toko online : shoppe://Divtia (Spiritual - Romance) Gadis itu percaya bahwa skenario-Nya adalah yang terbaik. Tak pernah ia berburuk sangka pada garis takdir Tuhan untuknya. Termasuk saat ia har...