Gail menatap putranya dengan sorot mata terpukul, sementara Revan tampak termangu di kursinya. Theo berdiri di hadapan mereka dengan tangan kecil yang terkepal, dinodai darah di buku jemarinya. Dengan tegas dan keras Gail melarang saat Grace meminta untuk mengobati luka adiknya itu. Dia malah menyuruh gadis remaja cantik itu untuk masuk ke kamarnya, sementara Gail dan Revan mendisiplinkan Theo. Grace menurut sambil terisak karena tidak tega.
"Kenapa Theo memukul Denny?" tanya Gail dengan suara bergetar. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya, ada gemuruh ketakutan seorang ibu yang muncul saat menyadari putranya tidak mau mengaku salah setelah melakukan tindakan yang mengerikan; memukul temannya sampai pingsan.
Theo hanya diam dan menatap ujung kakinya. Tangan mungilnya yang berdarah membuka dan mengepal beberapa kali, jelas kesakitan. Gail mengetahui apa yang dirasakan putranya itu, tapi dia bertahan belum mau mengobatinya. Dia ingin Theo bisa memiliki empati. Jika dia yang memukul saja bisa merasakan sakit, bagaimana dengan yang dipukul? Meski begitu, hatinya sebagai seorang ibu terasa sangat pedih. Bukan hal mudah baginya untuk mencegah air matanya menetes.
"Theo! Apa Bunda dan Daddy pernah mengajarkan Theo untuk menyelesaikan masalah dengan memukul orang? Ayo, jawab Bunda, kenapa Theo memukul Denny? Theo tidak kasihan melihat Denny luka-luka begitu?" Gail kembali mencoba mengorek jawaban bocah dua belas tahun itu.
Theo masih menekuri ujung kakinya. Sudah hampir lima belas menit Gail mencoba mendapatkan penjelasan, tapi anak pendiam itu tidak juga bicara. Didorong oleh kesedihannya, Gail pun bangkit, meraih lengan Theo dan sedikit mendorongnya ke arah dinding.
"Berdiri menghadap dinding. Jangan bergerak sampai Bunda mendapatkan penjelasan yang benar dari mulut kamu itu, alasan kamu memukul teman kamu. Mengerti?" Gail memerintah tegas meski dengan nada getir.
Revan tersentak di kursinya. "Gail ..., haruskah?" bisiknya cemas.
Gail merapatkan rahangnya, tak menjawab. Revan terduduk lemas di kursinya. Jika Gail sudah menghukum putranya seperti ini, Revan tidak akan bisa menghalangi. Namun, yang menjadi kecemasan Revan adalah Theo. Dia itu bocah yang sangat keras kepala. Jika dia sudah memutuskan untuk menutup mulut, maka dia akan menutup mulut selamanya. Lalu, apakah Gail akan mampu membuatnya menurut?
Alangkah terkejutnya Revan saat ternyata Gail ikut berdiri di samping Theo. Menghadap dinding dengan tubuh tegak.
"Kita tidak akan duduk sampai Theo mengatakan pada Bunda, apa alasan Theo memukul Denny sampai berdarah, dan mengakui kalau itu salah," kata Gail tegas.
Theo menoleh kepada ibunya, sebelum kembali melihat ke dinding. Sekilas kegembiraan sempat tebersit dalam ekspresinya, kegembiraan yang sungguh aneh, membuat hati Revan berdesir. Kenapa bocah itu terlihat ... senang?
***
Kucing Kecil sudah datang!
Theo langsung menghardik pikirannya sendiri. Bukan Kucing Kecil, tapi gadis mungil itu sudah datang. Dia selalu datang lebih pagi daripada karyawan lain. Gadis yang membuat Theo jadi suka datang lebih pagi juga. Dengan hati gembira, Theo mendekat.
"Pagi, Kai," sapanya.
Kania mengangkat kepalanya. Matanya yang bulat membuka lebar melihat Theo.
"Uhm ... pagi, Pak Theo." Dia balas menyapa. Wajahnya yang pucat bersemu merah, dan dia menggigit bibirnya karena salah tingkah.
Theo mengangkat sudut bibirnya sedikit. Meski tatapannya tidak jatuh pada wajah Kania, ekor matanya masih bisa melihat bibir yang digigit itu. Dia merasa ada sesuatu yang aneh timbul dalam dirinya. Sebuah dorongan untuk menyentuh, mengusap, dan merasakan. Entah apa alasannya sampai dia punya perasaan aneh itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Darkest Side
Roman d'amourMenjadi mantan wanita malam membuat Kania merasa tak pantas jatuh cinta pada Theo, si pria istimewa pengidap sindrom asperger. Namun, ketika Theo membuka pintu hati sepenuhnya, bolehkah Kania singgah sebentar untuk mencicipi hangatnya cinta sejati? ...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir