2. Langkah Awal

36 2 0
                                    

Percikan air  yang mengaliri sungai itu mampu menghantarkan seseorang yang ada di sana ke alam mimpinya.

Seorang pria bertubuh kekar itu tanpa sadar mulai memejamkan matanya. Berbaring di atas rumput di pinggir sungai dengan lengannya sebagai bantalannya.

Otaknya bekerja memikirkan sesuatu. Jika tidak salah, gerhana bulan biru akan terjadi beberapa bulan mendatang. Sedangkan mencari manusia priyago di antara luasnya dunia ini ibarat mencari jarum di antara tumpukan jerami. Akan memakan waktu yang cukup lama bahkan hingga bertahun-tahun. Ia mulai ragu sekarang.

Tapi jika hadiahnya harta, ia harus bisa menemukan manusia priyago itu. Walau harus nyawa sebagai taruhannya, setidaknya jika berhasil maka hidupnya akan jauh lebih baik. Termasuk obat untuk pamannya yang sudah membesarkannya.

Otaknya lelah.  Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai menghilang untuk tertidur lelap hingga sebuah tepukan keras menyentak kesadarannya untuk kembali.

Pria itu memandang tajam seseorang yang baru saja menepuk bahunya. Sedangkan orang yang dipandang tajam itu mulai duduk dengan tenang di sebelahnya lalu memandang lurus ke arah sungai.

Pria itu bangkit dari berbaringnya, berniat mengusir seseorang yang duduk di sampingnya hingga gerakannya harus terhenti saat orang itu bertanya, "Bolehkah aku ikut?"

Tentu pria itu paham maksud pertanyaan yang orang itu ajukan. Dengan tegas ia menjawab, "Tidak."

Seseorang itu menolehkan kepalanya, memandang pria yang ada di sebelahnya dengan wajah memelas. "Kumohon, Dean. Aku bosan di sini, bukankah akan sangat menyenangkan jika berpetualang ke luar sana? Menyusuri sungai, mendaki gunung hingga ke puncaknya, dan ... Oh astaga, aku sangat penasaran seperti apa rupa manusia itu." Orang itu berceloteh dengan binar di matanya.

Pria yang dipanggil Dean tadi hanya memutar bola matanya. "Tidak tetap tidak, Jack."

Jack memegang pergelangan tangan pria yang ada di hadapannya saat ini. Wajahnya ia tekuk, memberi kesan semakin memelas. "Ayolah, Dean. Kau tega meninggalkanku di sini sendirian? Jika kau pergi lalu bagaimana denganku? Kau lupa bahwa aku sebatang kara di sini?"

Benar, Dean melupakan satu fakta itu. Orang tua Jack sudah meninggal sejak Jack masih berumur 10 tahun. Selama 7 tahun ini Jack dibesarkan oleh pamannya Dean. Itu artinya jika Dean pergi maka Jack akan kesepian di sini. Ditambah lagi sifat Jack yang tidak mau berdekatan dengan siapapun kecuali Paman Ken dan dirinya. Anak itu benar-benar mulai ketergantungan dengan 2 orang itu.

"Dengar, Jack. Yang kau pikirkan itu hanya sesuatu yang menyenangkannya saja hingga melupakan bahaya di luar sana. Lagipula kau harus tetap di sini untuk menjaga Paman Ken selagi aku mencari manusia priyago itu." Dean memandang teduh ke arah Jack. Hidup bersama sejak 7 tahun yang lalu sudah mampu mengikat mereka antara hubungan kakak beradik.

Jack menggeleng. "Bahaya apa? Aku mampu menghadapinya."

Ini yang Dean tidak suka dari sifat Jack. Keras kepala dan senang membantah. "Tidak, Jack. Kau masih berumur 17 tahun. Masih ada 1 tahun lagi agar kau bisa merubah wujudmu menjadi bentuk serigalamu. Jadi selama itu, kau termasuk lemah." Diakhiri oleh kekehan, membuat Jack mengumpat kesal. Dean melanjutkan, "Dan lagi, memangnya kau tega meninggalkan Paman Ken yang tengah sakit?"

Jack menjawab dengan gelengan lalu tertunduk lesu. "Baiklah, aku akan tetap di sini. Tapi berjanjilah, kau akan cepat pulang."

Dean mengangguk disertai dengan senyuman hangatnya.

Jack menambahkan, "Kau benar. Masih banyak bahaya di luar sana yang belum kita ketahui, jadi kau harus berhati-hati."

Dean terkekeh lagi. "Umurku sudah menginjak 23 tahun saat ini. Walau aku tidak bisa merubah wujudku menjadi bentuk serigala, setidaknya pengalamanku dapat aku gunakan nanti."

Jack mengangguk paham. "Ya, kau sangat kuat hingga mampu membuat si kepala suku tua itu naik pitam karena ulahmu." Mereka tertawa bersama.

Begitu hangat. Suasana antara dua pemuda itu dapat membuat siapapun yang melihatnya tersenyum senang. Walau tidak ada ikatan darah, hubungan mereka berdua bahkan terlihat seperti kakak beradik yang sudah hidup bersama selama puluhan tahun.

•••

Dean terus menyusuri hutan. Tinggal sedikit lagi maka ia sudah keluar dari perbatasan wilayah sukunya. Namun ia terdiam. Sejak beberapa menit yang lalu, ia merasa diikuti. Dean tidak terlalu mengambil pusing. Ia mengabaikan si penguntit itu dan terus melanjutkan perjalanannya. Hingga sampai detik ini, si penguntit itu akhirnya menampakkan batang hidungnya. Terkekeh seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Hai, ehhehe," sapanya, diakhiri dengan kekehan untuk menyembunyikan gugupnya.

Dean bersidekap. Memandang orang itu dengan menuntut akan penjelasan.

"I-itu, kau tahu, ada ikatan tak kasat mata antara kita yang membuat aku ikut tertarik untuk mengikutimu." Penjelasan konyol, membuat Dean berdecak. Ia melanjutkan perjalanannya, mengabaikan orang itu yang sekarang mengekori di belakangnya.

Beberapa menit berlalu. Dean mulai geram sekarang. "Kau meninggalkan Paman Ken sendirian?" tanyanya tetap melangkah tanpa memandang orang yang ditanya.

"A-ah, tentu saja tidak. Ada Bibi El, tetangga kita yang akan menjaga Paman Ken," jawabnya.

Dean berhenti. Membalikkan tubuhnya dan memandang Jack dengan tajam. "Bukankah sudah aku suruh kau untuk menjaga Paman Ken?"

Baik, sepertinya Jack mulai ketakutan sekarang. "S-sudah! Tapi Paman Ken sendiri yang menyuruhku pergi bersamamu!" bantahnya lagi.

Dean memicingkan matanya. "Paman Ken yang menyuruhmu untuk menemaniku atau kau yang menyuruh Bibi El untuk menemani Paman Ken?"

Jleb!

Wajah Jack memucat seketika. "Ehhehe."

Dijawab dengan kekehan, sudah cukup menjawab pertanyaan Dean barusan. "Pulang, Jack." Dean berbalik lalu melangkah meninggalkan Jack.

Jack menyusul. Mengekori Dean dari belakang. "Tidak. Kita akan pergi bersama." Jack membantah kembali.

"Bukankah sudah kukatakan ini berbahaya untukmu?!" Dean berbalik. Wajahnya tepat berada di depan wajah Jack. Napasnya memburu, menandakan kesabarannya mulai terkikis habis.

Jack menggeleng. "Aku tahu kau akan melindungiku jika ada sesuatu nanti." Jawaban dengan sangat yakin.

Dean mulai kehabisan kata-kata untuk membalas argumen dari Jack. Remaja serigala itu sangat berbakat dalam adu mulut.

Dean menghela napas. "Baiklah. Tapi jangan membuat ulah."

Sontak Jack berjingkrak kegirangan. Melompat-lompat bak kancil yang baru diberi makan. "Ah, kau memang kakakku yang paling baik."

Jack mengusap-usapkan sisi wajahnya pada bahu Dean. Benar, Dean melupakan sisi lain yang Jack miliki selain gemar membantah dan keras kepala. Remaja itu kadang manja seperti seorang gadis. "Ugh, menjijikan. Menjauh dariku, bocah!"

Jack terkikik. "Tidak mau. Aku akan melakukan ini hingga aku puas."

"Dan kapan kau puas?"

"Tidak akan pernah." Diakhiri cengiran. Rasanya perut Dean seperti diaduk-aduk untuk mengeluarkan seluruh isinya. Ia benar-benar mual.

Kakinya melangkah. Meninggalkan Jack yang masih tertawa renyah karena berhasil menggoda Dean yang katanya pria dingin itu.

"Hey, tunggu aku!"

Manusia Priyago {The Black Wolf}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang