6. Hilang kendali

42 1 0
                                    

Malam yang sunyi, sedikit diiringi dengan beberapa suara serangga juga cahaya-cahaya kecil yang diciptakan oleh kunang-kunang.

Anna memandang lurus ke depan. Pandangannya seolah menelusuri seisi hutan yang kini berada beberapa meter di hadapannya. Hutan yang tampak menyeramkan jika ditatap sekilas justru membuat hati gadis itu sedikit menghangat.

Tinggal di sebuah rumah tepat di pinggiran hutan membuat Anna harus memaksakan diri terbiasa dengan keadaan sekitar. Terutama suara-suara serangga dan lolongan serigala.

Anna sedikit mengangkat pergelangan tangan kirinya. Melihat angka yang ditunjuk oleh jarum pendek di jam tangannya. Pukul 10 malam lewat beberapa menit, namun kantuk masih saja tidak menghampirinya.

Anna mendesah pelan. Sedikit mengingat-ingat kejadian tadi siang.

Menikah? Iya, Anna memang mencintai Dean sejak pertama kali ia melihat pria itu tengah digotong oleh ayahnya juga Jack. Hatinya menghangat, kepenatan yang bersarang di pikirannya seketika memudar saat matanya memandang langsung wajah pria itu. Anna masih ingat betul bagaimana sensasi pertama saat melihat Dean.

Tapi menikah? Itu terlalu cepat baginya. Bahkan umur Anna masih belum genap 20 tahun. Ditambah lagi Anna belum tahu benar bagaimana sifat dan tabiat buruk Dean. Bagaimana jika pria itu senang mempermainkan hati perempuan? Atau seorang pria yang gila seks dan mudah bosan? Dan lagi, apa yang terjadi tadi siang membuat spekulasi buruk tentang Dean semakin memenuhi otaknya. Anna menggeleng kencang. Mengenyahkan segala pikiran buruk tentang laki-laki itu. Bagaimanapun, Anna tidak boleh menilai orang lain jika ia sendiri tidak tahu betul tentang orang itu.

"Boleh aku duduk di sampingmu?"

Reflek Anna menoleh ke arah sumber suara tadi. Sedikit mendongak karena orang itu berdiri sedangkan dirinya tengah duduk bersila di teras rumah.

Dean di sana. Sedikit menunduk untuk balas menatap Anna seraya tersenyum lembut. Dan jangan lupakan bau memabukkan yang menguar dari tubuh Anna. Dean harus ekstra keras menahan gejolak gairah yang mendidih di dalam darahnya.

"I-iya, boleh." Anna gugup. Tidak menyangka sama sekali akan berduaan dengan laki-laki pujaan hatinya.

Dean mengambil posisi duduk di sebelah Anna. Memandang lurus ke arah hutan mengabaikan gadis di sebelahnya yang terus saja menatap dirinya.

"Berhenti menatapku! Ck, dia membuatku gugup. Sialan!" Dean mengumpat dalam hati.

Dean menoleh ke samping dengan cepat. Membalas tatapan gadis itu dengan lekat membuat Anna gelagapan seketika.

Anna menunduk. Rona merah menghiasi wajah cantiknya.

Dean terkekeh dalam hati. Gadis itu terlihat begitu menggemaskan. "Mengapa kau belum tidur?" tanya Dean.

"Aku belum mengantuk," jawabnya, masih setia menunduk dalam. Anna benar-benar gugup sekarang.

Dean terkekeh, membuat Anna reflek menoleh ke arah Dean.

"Ke–kenapa kau tertawa?"

"Ti–tidak ada."

Anna mengangguk pelan. Terjadi keheningan antara mereka selama beberapa menit. Anna sibuk dengan pikirannya. Berdebat antara hati dan pikirannya sendiri. Sedangkan Dean berusaha berpikir keras mencari topik pembicaraan yang dapat ia gunakan. Oh ayolah, Dean sengaja menahan kantuknya agar bisa berduaan dengan gadis di sebelahnya ini. Tidak mungkin Dean melepaskan begitu saja. Tidak akan pernah.

"Ja–jadi, benarkah kau mencintaiku?" Salah! Ini salah! Seharusnya Dean tidak bertanya itu! Lihat, Anna jadi shok seketika. "A–anna, kau baik-baik saja?"

Anna tersadar kembali. "Ah, y–ya, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"

Dean mengernyit. Bagaimana denganmu? Pertanyaan macam apa itu? Ini terdengar seperti saling menanyakan kabar setelah sekian tahun tidak berjumpa. Apa Dean harus memeluk Anna juga?

Anna mengumpat dalam hati. Bagaimana denganmu? Anna sama sekali tidak berniat menanyakan itu! Namun kegugupan menyerang seluruh tubuhnya membuat Anna tanpa sadar bertanya seperti itu. Ini memalukan.

"Tentu. Aku baik-baik saja," jawab Dean masih menatap Anna dengan lekat.

Anna bangkit dari posisi duduknya. "A–aku harus pergi. Sepertinya aku–"

"Temani aku di sini. Sebentar," potong Dean.

Anna kembali duduk di sebelah Dean. Ia menunduk menyembunyikan semburat merah di wajahnya.

"Apa wajahku tampak mengerikan? Kau terlihat enggan melihat wajahku barang satu detik pun."

Ucapan Dean yang terdengar lirih membuat Anna mematung seketika. Tidak, Anna tidak bermaksud seperti itu. Hanya saja perasaan gugup yang menyerang tiap rongga sendinya membuat ia tidak mampu menatap paras tampan milik pria yang kini tengah duduk bersila di sampingnya. Jika bisa, bukan hanya melihat wajah Dean, Anna bahkan sangat ingin memeluk tubuh kekar pria itu selama mungkin. Seandainya Anna tidak ingat dengan kebiasaan anehnya jika bersentuhan dengan laki-laki manapun selain ayahnya, mungkin ia telah melakukan semua yang ada dalam pikirannya bersama Dean.

"K–kau tidak menyeramkan," jawabnya, setelah cukup lama terdiam. "Kau justru sangat ...." Ucapan Anna menggantung. Astaga, ini sangat memalukan.

"Sangat?" Dean mengulang perkataan terakhir Anna.

"T–tampan," sambung gadis itu dengan suara yang sangat pelan. Berharap agar pria di sampingnya itu tidak mendengar suara cicitannya.

Dean menyeringai. Jangan lupakan bahwa Dean adalah manusia serigala. Suara sekecil itu yang Anna gumamkan masih mampu menggema di telinga Dean. "Siapa yang tampan?"

"K–kau."

"Aku?"

"Ya."

"Benarkah?" Dean mengulum senyumnya.

Anna mengangguk semangat. Membuat Dean terkekeh geli. Ini belum cukup. Dean masih ingin menggoda Anna.

"Setampan apa?" tanya Dean lagi.

"Setampan ayah, atau mungkin lebih." Anna sudah kehilangan kegugupannya. Ia sudah terhanyut dengan pembicaraan aneh ini hingga melupakan semuanya.

"Benarkah? Aku tidak percaya."

Anna mengangguk yakin. "Benar, kau adalah pria tertampan setelah ayah."

Dean terkekeh. "Jadi, kau mencintaiku karena aku tampan?" Anna menggeleng, membuat Dean mengernyit.

"Karena kau sangat tampan." Astaga. Gadis itu mampu membuat Dean merona. Gejolak gairah dalam darahnya semakin meronta-ronta. Apalagi bibir merah ranum milik gadis itu yang terus saja menggumamkan "kau sangat tampan", membuat Dean meneguk ludahnya dengan kasar.

"Kau sangat tampan," ulang Anna lagi.

"Be–berhenti mengatakan tampan." Wajah Dean merona merah, bahkan hingga menjalar ke daun telinganya.

Anna menggeleng. Gadis itu masih saja tidak sadar dengan situasi sekitarnya. "Kau memang tampan. Sangat tampan."

Ini sulit! Dean sudah tidak mampu lagi menahannya. Bola matanya menggelap seketika. Dengan cepat ia menarik tengkuk gadis di sebelahnya. Sedikit memutarnya agar wajah Anna berhadapan langsung dengan wajah Dean.

Tanpa aba-aba, pria itu langsung menyantap bibir ranum Anna. Menggerak-gerakkan bibir serta lidahnya seolah ia tengah kelaparan. Berniat menyurutkan gairahnya yang sialnya justru semakin menggebu-gebu.

"Belum cukup. Ini belum cukup! Aku ingin lebih!" Dean membatin.

Anna mengerjap. Kali ini ia benar-benar sadar sekarang. Hanya saja kesadarannya kembali mengikis, hilang. Anna terkulai tak sadarkan diri seketika.

Manusia Priyago {The Black Wolf}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang