Line 1 | A Prima Vista

12.5K 586 16
                                    

Line 1 A Prima Vista

.
.
.

Apa kau merasa senang saat orang-orang di sekitarmu menerimamu? Lalu, apa tidak tersemat dalam pikiranmu jika nyatanya kamu adalah orang yang mengakibatkan semua orang di sekitarmu binasa?

Suara lolongan serigala yang melengking di tengah heningnya malam terdengar sangat mendengkam. Gadis berambut cokelat bergelombang itu terbangun dengan napas terengah-engah. Ia menyingkap selimut, bangkit dari kasur jerami, dan berlari membuka pintu rumah dengan cepat, meski sedikit terhuyung karena pusing di kepala. Namun ia tak peduli, pemandangan di depan mata kehijauannya lebih mengerikan daripada pening di kepala.

Desa yang baru ia tempati tak lebih dari satu bulan itu tampak kacau balau. Semua warga sibuk melarikan diri dari para monster yang menyerang mereka. Suara tangis anak-anak yang bercampur dengan lolongan serigala memecahkan pendengaran. Bunyi letupan dan kobaran api yang menyala di tengah malam membuat tubuh gadis itu bergetar ketakutan.

Gadis bernama Sophia Rosewood itu segera kembali masuk ke dalam rumah. Ia meraih apa pun yang mungkin akan berguna nantinya. Tangannya mengambil sebuah pisau dapur, lentera, dan beberapa roti yang ia masak tengah hari tadi. Ia memakai jubah usang yang digunakan untuk menutupi badan. Setelah itu, Sophia berlari menuju pintu belakang rumah.

Seorang wanita paruh baya berlari dengan susah payah mendekatinya. Sophia segera menangkap tubuh wanita itu sebelum jatuh ke atas tanah. “Nak, cepatlah lari! Mereka mengincar gadis sepertimu!”

Sophia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kedua tangannya yang menggenggam erat bahu kecil itu. “Ke mana perginya Elise? Kenapa dia tak bersamamu?”

Wanita itu tersenyum pahit dan menyentuh pipi putih Sophia. “Mereka me—“

Mata Sophia membesar. Badannya gemetar saat melihat cairan kental berwarna merah tiba-tiba saja menjalar ke baju dan tangannya. Ia mendongak perlahan dan mendapati sepasang mata serigala menatapnya lapar. Di tangan pria itu, terdapat sebuah pedang yang menancap di tubuh wanita renta yang ada di dekatnya.

“Uhuk! Cepat... lah... pergi....” Dengan susah payah, wanita itu memperingatkan Sophia yang masih memegangnya. Gadis itu tersadar dan berlari meninggalkan manusia serigala dan wanita paruh baya yang sudah tak bernyawa itu.

Sophia menoleh ke belakang sesekali sembari terus berlari. Ia terus berusaha mempercepat langkah kaki saat menyadari seekor serigala berbulu abu-abu yang mulai mengejarnya. Matanya membelalak saat menyadari serigala lain muncul dalam kegelapan malam dan ikut berlari ke arahnya.

Sophia berhenti dengan napas memburu di salah satu jalan desa. Ia tak tahu harus lari ke mana lagi, seluruh desa telah bermandikan darah, jeritan wanita dan anak-anak merajalela, belum lagi panasnya api yang berasal dari rumah-rumah kayu yang terbakar membuat jantung Sophia berdetak tak keruan seperti napasnya yang terburu-buru. Sementara itu, Sophia juga tidak punya waktu untuk menenangkan diri.

Gadis itu menoleh cepat saat mendengar bunyi derap langkah yang sedari tadi mengikutinya. Keringat sebesar biji jagung membasahi badannya. Manusia serigala itu ada di sana, menatap Sophia dengan tatapan ingin melahapnya menggunakan mulutnya yang bau dan taringnya yang tajam.

“Tch!” Sophia mendecih kesal dan mengambil tujuan langkah kakinya tanpa pikir panjang. Ia berlari memasuki hutan dengan mencengkeram erat kain jubah dan tali tasnya, salah satu tangannya memegang erat lentera yang ia terus bawa. Sophia menoleh dan mendapati dua serigala keras kepala itu masih mengejarnya.

Gadis itu segera berpikir keras tentang bagaimana cara melepaskan diri dari kejaran mereka. Tatapannya tertuju pada lentera berbahan dasar minyak yang dibawanya. Tangan Sophia membuka penutup lenteranya dengan susah payah. Rahangnya mengeras dan matanya tertutup rapat saat ia mencoba membukanya dengan susah payah. Ia sudah tidak memedulikan jari jemarinya yang kepanasan karena besi yang terkena panas api.

Cairan dengan bau menyengat mengalir dari dalam sana. gadis itu dengan cepat membasahi rumput liar yang ada di bawahnya. Sophia berhenti sejenak setelah semua cairan sudah habis tak bersisa. Ia mulai membalikkan badan dan menunggu dengan mantap serigala yang mengejarnya. Makhluk itu mendekat dan Sophia sudah siap dengan semua kemungkinan terburuk. Ia menghitung jarak dirinya dengan serigala-serigala itu.

5 meter... 3 meter... Sekarang!

Dengan aba-aba yang ia hitung dalam hatinya sendiri, ia melempar lentera yang ada di tangannya. Api dengan cepat menyebar di atas rumput kering berminyak itu. Dua serigala itu berhenti mengejarnya. Sophia kini punya kesempatan yang bagus untuk segera lari dari kejaran mereka.

Sophia berbalik dan kembali melanjutkan larinya, tetapi langkah itu terhenti saat ia menemukan seekor serigala lain yang berdiri di hadapannya. Ia mendongak dengan mata hijau yang bergetar ketakutan, mencoba menatap balik sepasang mata kuning yang menatapnya tajam.

Tanpa sadar Sophia tak lagi dapat merasakan lututnya. Kedua kakinya tertarik oleh gravitasi bumi dengan cepat. Badannya bergetar ketakutan karena aura serigala hitam yang puluhan kali lebih menyeramkan dari kedua manusia serigala yang mengejarnya tadi.

Manusia serigala dengan aura menakutkan itu berjalan perlahan mendekatinya. Sophia mengeluarkan pisau takut-takut dengan tangan yang bergetar. Napas itu berderu kasar dan pupil matanya mengecil. Keringat dingin membasahi dahi dan punggungnya. Ia memejamkan mata rapat-rapat dan bersiap menerima serangan dari makhluk di hadapannya. Gadis itu yakin jika pisau yang ia acungkan itu pasti tidak akan berfungsi sesuai harapan.

Sophia mengerutkan alis saat ia tidak merasakan rasa sakit di badannya, hanya angin dingin yang membelai lembut pipinya. Ia membuka mata, tetapi makhluk di depannya sudah menghilang.

Gadis itu menoleh mencari keberadaan serigala itu dan menemukan sosoknya yang berjalan di belakang punggung Sophia, melangkah melewati api yang membara tanpa perasaan takut terbakar. Kedua serigala yang tadi mengejarnya menunduk rendah dengan bergetar ketakutan, lalu berlari sebelum serigala berbulu hitam seperti malam tanpa bintang itu mendekati mereka.

Sophia tak peduli, baginya ini adalah kesempatan yang baik untuk menyelamatkan diri. Ia segera berdiri dan kembali berlari. Nyawanya saat ini lebih berharga dari apa pun. Tanpa ia sadari, serigala itu berbalik dan menatap kepergiannya dengan satu pertanyaan yang terlintas di benaknya.

—Bau lezat apa ini?

0o0

Sophia berjalan tertatih-tatih. Kaki itu sudah tak kuat lagi untuk digerakkan, tulang-tulangnya terasa remuk, mungkin karena sudah berkali-kali terjatuh saat ia berlari. Ia memegang perut, roti yang ia bawa hari itu sudah habis dua hari yang lalu. Tak ada makanan yang tersisa untuk ia makan saat ini.

Napas Sophia semakin melemah di tengah derasnya hujan yang mengguyur hutan. Tenaga yang sudah habis tak membiarkan Sophia mencari gua untuk berteduh. Bernaung di bawah pohon pun tidak berguna untuk menghalangi air hujan yang membasahi tubuhnya, tetapi setidaknya ia bisa mengistirahatkan kakinya.

Mata beriris kehijauan milik gadis itu sudah berada di ambang batas kesadaran. Sophia hanya berharap tak ada hewan buas yang akan mendekat, setidaknya sampai ia bangun nanti. Ia tak mau mati begitu saja sekalipun dunia ini tak menginginkannya untuk tetap hidup. Seperti pesan bibinya, ia harus tetap hidup, setidaknya sampai namanya dikenal banyak orang.

—Tapi, 'banyak orang' itu seberapa banyak?, racau Sophia dalam hatinya.

Hanya bercanda memang. Namun Sophia tahu, ada banyak makna di balik kata-kata itu. Terlintas di benaknya senyuman bibi yang selalu merawatnya sedari kecil. Sophia ingin tersenyum, tetapi ia terlalu lemah untuk menarik otot-otot bibirnya.

Dalam remang-remang penglihatannya, gadis itu melihat sosok misterius yang berjalan mendekat. Saat ia samar-samar mendapati tangan yang bergerak ke arahnya, Sophia menutup mata. Ia sudah lelah dengan semua yang telah terjadi padanya.

.
.
.

To be continue

.
.
.

Revisi 26/01/2021

Roses | Book 1 of 2 (Sudah Terbit!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang