Kaki itu berjalan mendekatiku. Aku memang tersenyum senang, tapi berbeda dari apa yang sebenarnya ku rasakan saat ini. Perasaan sedih itu kembali muncul, yang berakhir membuatku mempunyai rasa bersalah yang amat dalam pada dirinya.
Pelukannya membuatku nyaman, namun dilain sisi aku merasakan raut gelisahnya. Matanya nampak terlihat seperti bulan sabit. Tersenyum lebar dengan tangan yang mengusap pipiku penuh lembut.
"Eomma".
Dia yang ku maksud adalah Ibuku. Semenjak kepulangannya dari rumah sakit—kemarin. Dia nampak berbeda, sikapnya semakin overprotective terhadapku. Atu tidak tahu alasan pastinya, tapi setiap aku bertanya dia selalu menjawabnya dengan senyuman tipis.
"Eomma.. Berhenti terlihat bahagia. Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan," tanganku menggenggam erat tangannya, menghembuskan nafas pelan sebelum akhirnya melanjutkan kalimatku. "Tidak apa. Katakan saja padaku, kau membuatku khawatir Eomma".
Lagi. Dapat kulihat dia menyunggingkan senyumannya, menggeleng kecil sambil mengelus punggung tanganku. "Tidak ada yang Eomma sembunyikan darimu Chagi," jemarinya beralih mengusap rambutku, menyematkan anak rambutku pada daun telingaku. "Kau tidak perlu khawatirkan Eomma".
Aku diam. Menolak untuk membuka suara, karena bagaimanapun usahaku untuk membujuknya. Dia pasti akan menutupinya. Yang kubisa lakukan hanyalah tersenyum—tersenyum dalam artian sendu.
"Aku akan keluar sebentar. Eomma istirahat ya, jangan bergerak terlalu lama. Jahitan diperutmu belum kering sepenuhnya".
"Hati-hati.."
...
"Kau tidak ingin minum?"
Aku menggeleng, menolak ajakannya yang sudah menuangkan segelas wine dihadapanku. "Aku masih ada urusan. Mian".
"Kau tidak asik sekali.. Ayolah ini malam valentine Airin-ah. Bersenang-senanglah bersama kami disini".
Aku hanya memutar bola mataku malas. Menyangga kepalaku dengan tanganku sambil melirik suasana club malam ini. Aku akhir-akhir ini jadi malas pulang, bukan karena tidak ingin bertemu Ibu. Hanya saja aku tidak mau Ibu berpura-pura baik-baik saja didepanku, aku benci melihatnya yang selalu tersenyum diatas penderitaannya. Aku tidak suka itu.
"Kau tidak ingin pulang? Bukankah kau memiliki janji?".
Aku mengangguk perlahan menatap Park Chanyeol—barista di bar tersebut, dimana pria itu adalah teman satu angkatan denganku semasa kuliah dulu. "Aku baru saja akan pulang," kataku yang lalu bangkit. "Aku duluan, bye!!".
KAMU SEDANG MEMBACA
TROUBLE (Baekhyun Fanfiction)
Fanfic(Hiatus) Hemophobia... Ketakutannya akan darah berhasil membuatnya takut untuk kehilangan sosok pria Byun itu. Byun Baekhyun yang notabennya adalah obat baginya.