Prolog

93 4 0
                                    

Jalanan hari ini agak becek. Hujan deras baru saja mengguyur kota Tokyo siang tadi. Walaupun jalan becek dan sepatu kotor terkena tanah merah, tak mematahkan semangat tiga anak laki-laki bersurai warna-warni yang kini sedang mendaki bukit. Dari pakaian yang mereka kenakan, tampaknya mereka adalah bocah-bocah SD yang baru pulang sekolah.

"Chihiro, Seijuurou, kalian berdua lama sekali jalannya!" Anak laki-laki bersurai hitam yang berjalan di depan dua anak lainnya mendecak sebal. Wajahnya tertekuk cemberut, berkacak pinggang sambil memandang dua temannya yang lain yang berada agak jauh darinya.

"Sabarlah, Shuuzou. Sepertinya Sei kelelahan," ujar anak laki-laki bersurai abu. Anak bersurai merah—yang paling mungil dan paling muda diantara ketiganya—yang berjalan disampingnya tiba-tiba saja berhenti lalu berjongkok. Si abu menatap si merah khawatir.

"Sei, daijoubu?" tanya si abu cemas. Si merah mengangkat kepala—mencoba menatap si abu yang setengah berdiri—dengan sebelah mata tertutup seperti sedang menahan sakit.

"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing," jawab si merah lemah. Si abu makin cemas. Ia lalu menatap si hitam yang kini tengah menatap mereka kebingungan.

"Shuuzou, sepertinya kegiatan melihat pelangi hari ini ditunda dulu," ujar si abu datar, seperti biasa.

Si hitam mendesah kecewa. "Yah, kenapa ditunda? Padahal pelanginya pasti indah sekali. Apalagi habis hujan begini."

"Aku tau. Tapi, kita tidak bisa memaksakan Sei. Sepertinya dia sakit. Wajahnya pucat sekali. Kalau kita lanjutkan, aku takut terjadi apa-apa padanya." Walau si abu berujar dengan nada yang sangat datar, si hitam dapat menangkap raut kekhawatiran dari wajahnya yang selalu minim emosi.

Mendengar penuturan dari si abu, si hitam langsung melangkah menghampiri si merah. Ia ikut berjongkok sambil memperhatikan wajah manis si surai merah.

"Benar, Sei. Kau sakit. Kita pulang saja ya. Kalau besok kau sudah baikan, kita kesini lagi," ujar si hitam sambil tersenyum.

Si merah menatap si hitam sambil menggeleng. Ada sirat bersalah dari tatapan kedua matanya.

"Tidak apa. Aku baik-baik saja. Aku masih kuat jalan kok. Lagipula, kita kan sebentar lagi sampai. Sayang sekali kalau harus berhenti di tengah jalan hanya karena aku." Si merah memaksakan dirinya untuk berdiri. Si hitam dan si abu was-was, takut tubuh kecil itu tiba-tiba limbung dan jatuh mencium tanah.

"Jangan memaksakan diri, Sei. Kalau kau pingsan nanti gimana? Kan aku dan Chihiro juga yang repot," ujar si hitam.

"Aku tidak akan pingsan, kok. Sei kan kuat," ujar si merah sambil tersenyum sok kuat. Si hitam dan si abu hanya bisa menghela napas pasrah. Si merah ini keras kepala sekali. Kalau dia sudah berkata seperti itu, susah sekali untuk membantahnya.

"Hah~ Baiklah, kita lanjutkan. Tapi, untuk berjaga-jaga, sebaiknya kau aku gendong. Aku tak mau terjadi apa-apa padamu yang akan membuatku repot nanti." Si abu menawarkan diri. Si merah dan si hitam terkejut. Jarang sekali si abu mau repot-repot menawarkan bantuan seperti ini. Sepertinya kepalanya baru saja terbentur.

Si hitam protes tidak terima. Bibirnya yang memang sudah maju dimajukan lagi olehnya sehingga bertambah maju. "Alah~ Bilang saja kau mau modus kan, Chihiro," cibirnya.

Si abu berkedut kesal. Ia menatap si hitam sinis. "Apa maksudmu?"

"Kau cuma mau modus sama Sei kan? Kau curang. Aku kan mau gendong Sei juga," keluh si hitam.

"Tidak boleh. Shuuzou kan ceroboh. Bisa bahaya kalau Sei kau yang gendong."

"Apa katamu?!"

Sementara kedua anak bersurai kontras itu adu mulut, si merah yang menjadi bahan perebutan hanya tertawa. Membuat wajahnya yang sudah manis menjadi semakin manis. Kedua anak di depannya berhenti bertengkar. Mereka terdiam memandang wajah bak malaikat kecil yang sedang tertawa itu.

"Kalian berdua akrab sekali ya. Aku selalu merasa senang saat bersama kalian," ujar si merah. Si hitam dan si abu membuang muka, menyembunyikan rona merah yang timbul di pipi masing-masing.

Si merah kembali terkekeh. "Begini saja. Biar adil, sekarang Chihiro nii-san yang menggendongku. Pulang nanti, giliran Shuuzo nii-san. Bagaimana? Kalian setuju?"

Si merah mengusulkan. Awalnya, si hitam ingin protes, walau pada akhirnya mengalah dan menyerahkan giliran pertama kepada si abu.

"Ok, aku setuju. Chihiro, gendong Sei baik-baik. Kalau sampai jatuh, ku bunuh kau," ancam si hitam.

Si abu menyeringai jahil. "Kau tidak boleh bersikap seperti itu padaku yang lebih tua darimu, Shuuzou."

"Hanya beda setahun," sahut si hitam.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit belakang sekolah mereka. Si hitam memimpin di depan sedangkan si abu mengikuti di belakang dengan si merah digendong di punggungnya. Tak butuh waktu lama. Lima menit kemudian, mereka telah sampai di puncak bukit.

"Mana pelangi yang ingin kau tunjukkan pada kami?" Si abu menuntut tak sabaran.

"Sebentar lagi pasti muncul."

Benar saja seperti yang dikatakan si hitam. Beberapa saat kemudian, pelangi tujuh warna muncul bersamaan dengan matahari senja yang menguning, membuat langit oranye sore itu menjadi lebih indah. Ketiga anak itu menatap kagum fenomena alam ciptaan Tuhan yang jarang-jarang dapat mereka saksikan.

"Benarkan apa kataku? Pelangi adalah hal terindah di dunia," ujar si hitam yang sangat membanggakan pelangi seperti nama keluarganya.

"Eng... Bukan terindah di dunia juga sih. Tapi ku akui pelangi itu memang indah," timpal si abu.

"Heh! Kau hanya terlalu tsundere untuk mengakui bahwa kau setuju denganku."

Dan kedua anak kontras warna rambut itu kembali bertengkar. Sementara si merah yang masih berada di punggung si abu masih diam sambil memandang indahnya pelangi. Dalam hati ia bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Tuhan dan masih dapat melihat indahnya pemandangan sore ini bersama ketiga sahabat yang paling disayanginya.

"Shuuzou-nii, Chihiro-nii..." panggilan lirih si merah berhasil menarik atensi kedua pemuda di hadapannya. Keduanya kembali terdiam saat melihat si merah kembali mengulas senyum yang sangat tulus.

"Semoga kita selalu bersama seperti ini ya."

Si hitam dan si abu ikut tersenyum sambil mengangguk. Hari itu mereka berjanji untuk selalu bersama. Walau mereka tidak pernah tau apa janji itu akan teringkari suatu saat nanti.

Kita memang telah berjanji untuk selalu bersama sejak saat itu. Tapi, kenyataannya janji itu tak bisa ditepati. Karena pada akhirnya, kalian malah meninggalkanku. Sendirian. Dalam semua kehampaan ini.

.

.

.

Time Machine—Prolog

Based on Japan Movie : Enoshima Prism

Time MachineWhere stories live. Discover now