Dua jam menuju jam sembilan malam. Adam terus melihat jam di tangannya, sekarang adalah tanggal 28 Februari. Ia ingin bergegas pulang karena Sinta, pacarnya, sudah menunggu di rumah. Mereka berencana untuk pergi menonton film di bioskop dan setelahnya merayakan ulang tahun Adam yang hanya empat tahun sekali bisa dirayakan.
Bukan hanya itu, hari ini, setelah selesai bekerja ia akan menerima gaji yang didapat hasil bekerja satu bulan. Adam bekerja di supermarket ini sudah menginjak tahun ketiga. Dan, di tahun ke duanya ia berhasil mendapatkan tambatan hati, seorang gadis bermata teduh, dengan rambut hitam sepunggung. Gadis bernama Sinta yang ia sukai adalah janda, Adam tidak pernah mempermasalahkan status pasangannya, baginya, walaupun Sinta adalah janda, asalkan dia mencintai Adam dengan sepenuh hati, ia pasti akan menerimanya.
Sinta sendiri adalah janda beranak satu. Namun sayang, anaknya meninggal ketika tak lama ia bercerai dengan suaminya. Sinta adalah gadis yang tertutup, ia tidak mudah dekat dan bergaul dengan orang lain. Sinta bekerja di sebuah warung nasi dekat dengan rumahnya. Awal pertemuan mereka tidak ada yang istimewa, Adam hanya pelanggan di warung nasi tempat Sinta bekerja dan terpikat oleh sosok Sinta yang berbeda dari wanita lainnya.
"Oi, Dam! Melamun saja kau," kata seorang pria berkulit gelap dan berjenggot tipis. "Kita, kan akan menerima gaji hari ini, seharusnya kamu senang, apa sih yang sedang kau pikirkan?" katanya lagi dengan logat batak.
Seketika Adam terhenti dari lamunan singkatnya. "Tidak apa-apa, bang Poltak, aku hanya sedikit lelah saja."
"Bah, kerja di sini itu, enak kali, Dam. Tidak terlalu berat, kita hanya mengurusi para pembeli dan menawari produk-produk ini saja. Kau ini jadi laki-laki lembek sekali, kayak aku lah, tak pernah sekalipun aku mengeluh bekerja di sini. Bagaimana bisa mengeluh? Di sini dingin, kerjanya ber-AC, sama saja seperti bekerja kantoran."
Adam hanya tersenyum melihat temannya yang satu ini.
"Nomong-ngomong, bagaimana kabarmu dengan si janda itu, masih kah?"
Adam mengangguk pelan. "Masih." Poltak adalah teman Adam yang paling dekat, hampir semua masalah ia ceritakan kepadanya. Walaupun kadang di setiap masalah yang diceritakan kepadanya tidak pernah menghasilkan solusi, tetapi dengan bicara kepada Poltak, ia rasa sudah cukup untuk menghilangkan sedikit masalahnya.
"Oi, Dam, kita ini sama-sama anak perantauan, jadi apapun masalah kau, certiakanlah padaku. Kau sudah aku anggap adikku sendiri."
"Tidak ada apa-apa, bang. Aku hanya lelah saja."
Poltak mengangguk. "Baiklah kalau begitu, ayo kita ambil gaji, aku ingin cepat-cepat membelikan boneka untuk anakku."
"Duluan saja, bang. Aku mau ke kamar mandi dulu."
Akhirnya Poltak meninggalkan Adam sendiri. Adam bergegas ke kamar mandi untuk membasuh mukanya dan ganti baju. Keadaan kamar mandi saat itu sangat sepi, lampunya sedikit remang. Ia masuk ke dalam dan membuka pakaiannya, kemudian membasuh muka. Satu kali, ia membasuh wajah kusut dan menatap cermin di hadapannya, dua kali, ia kembali membasuh wajah yang sudah akrab ia lihat dan terkadang merasa muak dengan wajahnya sendiri. Bukan. Bukan karena ia tak rupawan, hanya saja ia selalu mengeluhkan bila melihat wajah ini. Wajah yang tak pernah diinginkan siapapun. Ia terdiam sesaat.
Krek Krek Krek
Terdengar bunyi pintu terbuka. Ia melirik pintu yang berada di samping belakang.
"Siapa di sana?"
Tak ada suara lagi. Ia kembali membasuh mukanya untuk yang ketiga kali. Dan, ketika ia melihat cermin, seseorang dari belakang menutup wajahnya dengan kain, serta menyuntikan jarum ke tangan kanannya. Tanpa ada perlawanan Adam tumbang.
***
Adam terbangun di sebuah ruangan. Gelap, lembab, dan penat. Kemudian ia duduk di lantai yang dingin. Melihat keadaan sekitar dengan pandangan ala kadarnya. Gelapnya benar-benar pekat, ia tidak menemukan setitik cahayapun yang tembus ke ruangan itu.
Tak lama kemudian lampu menyala. Silau. Adam mencoba membuka matanya perlahan. Ternyata ia berada di sebuah ruangan kosong berbentuk kotak. Ia berdiri tepat menghadap pintu. Dinding di ruangan tersebut berwarna putih, sama seperti pintunya yang berwarna putih, di samping pintu ada beberapa tombol. Di setiap tombol ada tulisan. 'Open, Close, dan beberapa tombol lain yang tak ia pedulikan.' Di pintu tersebut ada kaca berbentuk persegi panjang yang berukuran kecil. Ia menatap keadaan luar. Gelap. Ia hanya melihat beberapa cahaya berbentuk persegi panjang, sama seperti ruangannya. Apakah ini penjara? Batinnya berucap.
Satu jam. Dua jam. Pintu masih belum juga terbuka, ia mondar-mandir di ruangan tersebut. Melihat celah-celah lain dari ruangan itu. Namun, tak ada satupun keanehan yang ia temukan dari ruangan tersebut. Ia duduk di pojok depan pintu, menyeret kedua kakinya hingga kedua pahanya bersentuhan dengan tubuhnya, kemudian merangkul kakinya dengan erat.
Adam kembali berdiri. Ia kesal sekaligus bingung. "Oi, buka pintunya!" teriaknya dengan sangat kencang. Ia menggedor-gedor pintu menggunakan tangan kirinya dengan kencang. "Buka!" teriaknya sekali lagi. Adam tak kehabisan akal, ia mencoba mendobrak pintu tersebut dengan tubuhnya. Tetapi nihil, yang ada lengannya sakit akibat dobrakan tersebut. Ia kembali duduk sambil memukul-mukul pintu.
"Buka, aku mohon buka!" Tak terasa ia menitikan air mata.
"Tempat apa ini? Aku di mana? Apa yang kalian inginkan?" katanya lagi dengan suara lirih.
Tiba-tiba ia merasa ingin muntah, ia berlari ke pojok kiri dan memuntahkan sesuatu.
"Uhuk, uhuk, oek," Adam memuntahkan cairan putih, ia merasa ada yang mengganjal di kerongkongannya. Ia mencoba untuk memuntahkan sesuatu yang mengganjal tersebut. "Oek oek," dan, ternyata ada sebuah kertas yang terbungkus plastik. Ia mengacuhkan kertas itu tanpa ia buka dan mundur, bersandar di dinding yang lain.
Kemudian terlihat semburat cahaya dari luar pintu. Ia menyapu bibirnya dengan tangan dan bangkit berdiri. Ia melangkah gontai, melihat keadaan sekitar. Ia melihat ada beberapa orang yang keluar dari pintu. Adam menggedor-gedor pintu tersebut untuk memberitahukan kalau ia ingin ke luar juga.
Seorang wanita berambut keriting mendekatinya dan menunjuk ke arah samping pintu sambil bergumam yang tak dapat Adam dengar. Ia melihat ke arah samping pintu. Ada tombol 'open' di sana. Adam menekan tombol tersebut dan terbukalah pintu.
YOU ARE READING
29F
Mystery / ThrillerAdam dan ke dua puluh sembilan orang lainnya tiba-tiba berada di sebuah ruangan besar. Ia tak mengerti mengapa ia bisa berada di sana. Lambat laun semuanya mulai mengetahui tempat apa sebenarnya. 29F. Sebuah simbol yang tak ia mengerti, tapi kini ia...