"Raja memanggil anda, Tuan Aldo."
Deg.
Seratus persen pikiran Aldo tertuju pada kejadian kemarin. Saat Pak Zeroun memanggil namanya dengan lantang, tetapi balasan yang beliau dapat adalah tubuh Aldo terluka.
"Baik." Jawab Aldo.
Menyusuri lorong gelap yang dilengkapi dengan lampu bercahaya putih terang, dua pegawai itu mengikuti langkah Aldo. Saking sunyinya, langkah mereka bertiga terdengar begitu nyaring sampai bergema.
Salah satunya yang Aldo tidak sukai dari perubahan lingkungan sekolahnya adalah suasana canggung seperti ini. Sepi layaknya pemakaman. Antarteman juga ada beberapa yang canggung, kecuali Aldo dan kelima temannya. Beberapa guru juga mengeluarkan aura-aura menyeramkan menurut Aldo. Terutama wali kelasnya dulu, Bu Vaitalius.
Setelah sampai di depan ruang Pak Zeroun, kedua pengawal itu membukakan pintu bergagang emas itu untuk Aldo. Kemudian, mereka berdua membungkukkan badan sembilan puluh derajat dan pergi dari sana.
Hal pertama yang menyambut mata Aldo adalah dua patung putih yang tingginya tiga kali lipat dibanding Aldo. Dua patung itu saling bergeser dan membuka jalan masuk untuk Aldo. Tinggal beberapa langkah, Aldo sudah bisa melihat ruangan putih yang sangat terang walaupun tanpa pencahayaan apapun. Di sanalah tempat Pak Zeroun menunggunya.
"Duduklah, Aldo. Saya ingin membicarakan hal penting denganmu." ujar Pak Zeroun sambil turun dari kursi singgasana-nya.
Dengan sopan, Aldo berjalan menuju sofa krem yang terletak di ujung ruangan, lengkap beserta meja kecil di tengahnya. Sepertinya, ruangan paling ujung itu memang sengaja dirancang untuk tempat mengintimidasi seseorang. Tepatnya, meneror.
"Kau tau kenapa saya memanggilmu, Aldo?" ucapan basa-basi dari Pak Zeroun yang kadang semakin menambah rasa gugup Aldo.
Bisa dikatakan wajah Aldo saat ini tenang dan berwibawa, menyeimbangkan ekspresi Pak Zeroun yang lebih mematikan. Tetapi dalam hatinya, Aldo sangat gugup dan otaknya berusaha menerka-nerka apa yang akan dibahas Pak Zeroun kali ini. Cowok itu menebak kalau ini ada sangkutannya dengan masalah Aleah kemarin.
"Hm?" satu alis Pak Zeroun terangkat menatap Aldo sambil ia menyesap teh panas yang tersedia di mejanya.
Aldo menyerah bersikap sok berwibawa. "Tidak tahu."
Tampak kilatan putih dari mata Pak Zeroun sedikit cepat. Senyum miringnya juga tercetak jelas. Pak Zeroun melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Aldo dengan ganas.
"Aleah."
Ya, benar perkiraan Aldo. Kalau sudah begini, Aldo harus siap menerima makian atau bentakan dari Pak Zeroun. Pasti Pak Zeroun sangat kecewa dengan gaya bertarung Aldo kemarin. Tidak bisa disebut bertarung kalau seperti itu, lebih kepada meminta ampun dari pasangannya.
"Saya tebak, pasti kau sudah tahu kemana arah pembicaraan ini, Aldo." dugaan Pak Zeroun yang sangat tepat itu menyentil hati kecil Aldo.
Satu hal yang tidak disukai Aldo dari Pak Zeroun adalah cara bicaranya yang sangat to the point. Kadang, basa-basi yang keluar dari mulut dewa paling bersahaja di sini juga sangat tajam dan menyinggung perasaan orang yang dituju. Itulah yang membuat kesan Pak Zeroun sebagai dewa mematikan semakin menjadi-jadi.
"Maafkan saya soal kejadian kemarin, Pak. Tapi, saat itu saya benar-benar tidak bisa memercayai semua hal yang terjadi." Aldo sedikit menunduk dan tangannya sudah terkepal kuat, "Terutama apa yang terjadi kepada Aleah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Love
FantasyHitam dan Putih... Ekor dan Sayap... Tanduk dan Mutiara... Itulah yang membedakan kami. Lebih buruknya lagi, kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hubungan yang sudah kami bangun dengan susah payah. Sepertinya, takdir bermain-main dengan kami...