01

2.1K 267 28
                                    

ini mengandung unsur sensitif.
dibawa santai saja ya :'))
terimakasih

🔼🔽🔼🔽

Lee Jeno muntah lagi, padahal belum ada tiga puluh detik sejak nasi dikunyah lamat-lamat sampai rasanya manis, berniat menelannya sebelum kerongkongan Jeno menolak apapun yang mengetuk masuk.

Dia buru-buru ke kamar mandi, memuntahkan nasi yang kini bercampur dengan air liur. Tak banyak karena Jeno belum makan apapun dari kemarin.

"Keluarkan semuanya, Jeno." yang bisa dilakukan Jinhyuk hanya memijat tengkuk adiknya, dengan sabar menunggu sampai Jeno menyelesaikan urusannya dengan wastafel, "Indigestion? Gastritis? Kemarin kamu ti----"

"Please stop." Jeno memotong sebelum kakaknya mulai mengomel tentang kebutuhan makanan bagi manusia, apalagi lelaki yang lebih muda ini mulai kemarin tidak makan. Dia mengangkat satu tangan, gestur agar kakaknya tidak berbicara lagi. Ia kembali muntah, tetapi tidak ada yang keluar.

Namun, mungkin sekarang bukan hari keberuntungannya. Kekasih kakaknya, Wooseok, datang terburu karena mendengar suara ribut di dapur. Dia berteriak, bertanya kenapa dengan aksen Inggrisnya yang kacau sebelum berdeham dan memutuskan memakai bahasa Korea saja. Kemudian, panik sendiri mencari aroma terapi dan balsem untuk penghangat tubuh.

"Lagi?" tanyanya setelah Jeno didudukkan di salah satu kursi ruang makan. "Kau yakin tidak mau ke dokter? Sudah berapa lama sejak kau lebih suka minum air putih untuk memenuhi nutrisi? Lihat, wajahmu pucat sekali." Dia memberi aroma terapi pada Jinhyuk untuk didekatkan pada hidung Jeno. Wooseok sendiri mengoleskan balsem pada tengkuk dan perut adik kekasihnya itu.

"Aku baik-baik saja," ucap Jeno sembari memijat kepalanya sendiri, "Apa tidak ada kue? Aku lapar."

Jinhyuk menghela napas, adiknya ini keras kepala sekali. "Kapan terakhir kali kau makan nasi? Aku sudah lelah membujukmu, Tuan manja Lee."

"Kau lihat sendiri, Kak!" seru Jeno kesal, menunjuk nasi di depannya penuh dendam. Jika makanan itu buatan Wooseok atau Jinhyuk, Jeno tidak akan berani menunjuk makanan dengan jari telunjuknya; pasti dia akan mendapat tamparan. Namun, lain lagi jika delivery. "Aku tidak bisa menelannya! Rasanya memuakkan, hanya dengan melihat sudah membuatku mual. Lihat? Semua makanakan berat langsung kumuntahkan! Jangan memaksaku, Kak!"

Jinhyuk menghela napas lagi, kali ini untuk wajah pias adiknya yang menunduk sedih. Juga untuk punggung bergetar tampak rapuh di depannya ini. "Sebenarnya kau kenapa, Lee Jeno?"

▶◀▶◀▶◀

Jeno tersenyum tipis saat mendengar bunyi gemerincing bel ketika tangannya mendorong pintu masuk. Sangat tipis sampai tidak bisa dilihat oleh orang yang kebetulan juga ingin keluar dari tempat itu.

Aroma tempat ini olahan tepung yang menggungah selera, berpadu dengan harum kopi dan semburan lembut wangi vanilla. Sejujurnya, membuat perut Jeno sedikit bergejolak. Langkahnya kecil, menuju counter dengan tangan yang dimasukkan ke saku. Melambai singkat dari kejauhan ketika sang kasir tersenyum lebar padanya.

"Kedinginan, tuan Lee?"

Jeno mengangkat bahu, benar-benar tak tahu. Musim gugur hampir tiba, membuat suhu kian dingin karena angin lembab yang terus berhembus ke segala tempat. Mungkin beberapa hari lagi salju pertama di tahun ini akan turun.

Namun, sebenarnya alasan memakai jaket bukan karena kedinginan. Itu paksaan Wooseok setelah Jeno bersitegang dengan Jinhyuk; sang kakak bersikeras agar Jeno tidak kemana-mana sebelum menghabiskan nasinya, sementara Jeno kukuh membalas jika dia muak dengan makanan berat. Jinhyuk tahu sendiri jika sang adik entah sejak kapan selalu memuntahkan makanan yang masuk ke kerongkongannya. Mungkin karena terlalu banyak memakan camilan sehingga yang dapat dimakan hanya makanan ringan saja atau hal lain. Tidak ada yang tahu karena Jeno selalu diam.

Stitches +NoMinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang