03

891 146 22
                                    

Jeno menghela napas. Namun, tetap berjalan menuju ke tempat yang direkomendasikan Jinhyuk. Perutnya perih, baru terbangun pukul sepuluh dan harus mendapati meja makan kosong. Kata kakaknya, lupa menyiapkan makanan untuk tiga orang karena sudah terbiasa hanya berdua dengan kekasihnya. Ini baru hari kedua Jeno tinggal bersama kakaknya, entah bagaimana penderitaannya ke depan.

Parahnya Jinhyuk menahan Wooseok yang sudah bangkit karena tidak enak kepada Jeno dan seenak jidatnya memberitahu jika cafe di dekat perempatan pertama dari sini memiliki menu sarapan yang lezat. Memberikan beberapa lembar uang, kemudian menarik Wooseok untuk melanjutkan acara cuddling mereka. Benar-benar kakak yang baik, Jeno sampai terharu.

Suara gemerincing lonceng membuat Jeno segera mengatur raut wajahnya, dia tidak boleh menunjukkan raut masamnya kepada orang yang tidak bersangkutan.

"Selamat datang," sapa pelayan yang berada di balik counter dengan ramah, membuat Jeno tersenyum tipis. Sebenarnya karena bau roti yang membuat perutnya bergejolak dan membasahi bibir—gestur lapar maksudnya.

"Fry-up satu," pesan Jeno sebelum pelayan sempat menanyakan pesanannya.

"Maaf? Fry-up di jam sebelas siang?"

Jeno mengernyit penasaran kenapa orang di depannya ini yang terbalut apron bewarna sama dengan kotak-kotak lampu di atas kepala menatapnya seolah, 'Seriously?'. Memang aneh ketika ada pelanggan yang memesan fry-up? Itukan menu sarapan, lagipula jika aneh, kenapa makanan itu disediakan? Namun, dia pura-pura tidak peduli. "Bisa kuganti kopinya dengan segelas susu?"

Pelayan itu tampak gelapan setelah tidak bisa mengontrol raut herannya. Jeno masih tidak tahu kenapa saat sang pelayan bertanya, "Tentu. Susu sapi untuk menyempurnakan nutrisi?" Jeno mengangguk. Mengulangi ucapan tanpa nada tanya.

Untuk beberapa saat, si pelayan sibuk bergumam di salah satu corong yang diduga sebagai penghubung komunikasi antara ruang depan dan dapur. Mungkin, kerjanya sama dengan telepon kaleng. Cafe ini memang unik sesuai yang dikatakan Jinhyuk. Seratus untuk eksteriornya, seratus untuk interiornya, seratus untuk warna pastel yang berpancarona dengan hijaunya tanaman, seratus untuk aroma pastry berpadu dengan harum kopi, tetapi limapuluh untuk pelayanannya.

Berbicara tentang pelayan, Jeno teringat sesuatu, "Permisi, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Dia melirik ke arah pin nama yang menggantung di apron sang pelayan, 'Na Jaemin'. Pernah dengar di mana ya? Tetapi wajahnya seperti tidak asing.

"Oh, saya sering di sini. Mungkin Anda salah satu pelanggan dan pernah bertemu saya?" tanya Jaemin dengan senyum ramah yang sepertinya selalu tersungging di manapun, mungkin juga karena kode etik. Jeno menggeleng, menggumamkan nama orang di depannya yang dibalas dengan lirikan ke arah pin nama, seolah berkata, "Iya, saya Jaemin. Semua orang tahu itu jika melihat ini, di pin tertulis nama saya Na Jaemin."

Jeno diam sebentar, mengacuhkan tangan Jaemin yang menggantung di udara untuk mengembalikan uang berlebih yang dibayarkan si pelanggan. Jeno diam untuk menggali ingatannya. Ingatannya tidak buruk, tetapi jika tidak penting, sia-sia memasukkannya ke dalam memori. Namun, rasanya tidak asing. Seperti pertemuan singkat dan Jeno pernah berjanji untuk tidak lupa. Dia hati-hati mengambil kembaliannya, menilik sebentar wajah Jaemin lebih dekat; masih tersenyum ramah dengan sabar menunggunya untuk duduk di salah satu kursi.

Ah, benar. Senyuman. Bagaimana bisa dia lupa? "Di gereja," kata singkat Jeno membuat Na Jaemin berceletuk maaf, "laki-laki berseragam sekolah Gosei yang dikejar dan bersembunyi di gereja. Membuka pintu dengan kasar sampai menganggu waktu berdoa laki-laki lainnya. Mengenalkan diri sebagai Na Jaemin dan di akhir pertemuan berkata jika tidak percaya Tuhan." Dia memperhatikan lekat-lekat perubahan ekspresi orang di depannya, "Itu kau, kan?"

Stitches +NoMinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang