"Kau tidak pernah memesan fry-up lagi?"
Jeno jelas meringis. Dia tidak menduga akan mendapat pertanyaan itu dari Jaemin. fry-up yang dimaksud adalah full english breakfast yang berupa hidangan utama bangers dan bacon, sesendok sayur penuh baked beans; kacang putih yang dipanggang dengan saus sebagai sumber serat, tomat goreng sebagai sumber vitamin, dua lembar roti yang dipanggang dengan mentega atau lemak daging, telur mata sapi yang berbau lada, pudding percampuran dari oatmeal dan bagian babi, jamur serta mashed potato disajikan dalam satu menu bersama coffee —untuk sekarang membayangkan saja sudah membuat Jeno ingin memuntahkan panna cotta-nya.
"Aku tidak di sini waktu sarapan. Lagipula, shiftmu siang."
"Uh, wow. Jadi kau kesini hanya untuk bertemu denganku?" tanya Jaemin sembari terkikik geli. Membuat Jeno menghela napas tanda tidak peduli. "Yeah, memang kenapa kalau memesannya sekarang? Dulu kau memakan fry-up pukul sebelas siang."
Jeno menaikkan cangkir coffee latte-nya, memberi gestur sopan menawarkan Jaemin juga, tetapi ditolak dengan balasan tidak terlalu suka kopi. "Sebelum aku tahu pukul sebelas siang adalah brunch time, that was very surprising!"
Jaemin mendengus. Menatap Jeno seolah lelaki itu adalah orang terkuno di dunia, "Make your own sandwich." Parahnya, lelaki Lee membalas, "Aku tidak memintamu untuk membuat sandwich untukku." Ah, parah. Berkutat pada agama sepertinya membuat Jeno tidak tahu kalimat slang.
Untuk beberapa saat, Jaemin sibuk menyapa teman-temannya yang datang bersama pacar masing-masing. Sempat melirik pada Jeno yang acuh menyantap makanannya yang hampir habis. Untuk ukuran porsi semini itu sebenarnya Jeno terlalu lama untuk menghabiskannya. Entah karena Jaemin terlalu cerewet atau Jeno yang menikmati suasana sejuk cafe ini.
Jeno mempersilakan lelaki Na untuk mengunjungi teman-temannya, membiarkan Jeno sendirian. Namun, Jaemin menggeleng, berkata jika dia tahu benar jika pesanan mereka dibungkus, kemudian dimakan di tempat lain. Jadi, tak perlu ada basa-basi. Cukup dengan highfive dan sapaan yang separuhnya adalah umpatan. Membuat si suci Jeno yang terlahir dari keluarga baik-baik mengernyit risih."Omong-omong, sebenarnya shiftmu belum selesai, kan?" Jeno sudah selesai dengan bruschetta dan panna cotta-nya. Dia menjauhkan piring dan mendekatkan coffee latte yang entah kenapa tidak habis-habis.
Jaemin mengacuhkan sebentar, dia kembali membalas pamitan sang teman yang beranjak pergi setelah satu kardus donat datang. "Hei, kau tidak usah ke sini hanya untuk membeli donat. Ada toko khusus itu, kasihan sepi," ujar Jaemin main-main sembari memukul pantat temannya—yang Jeno ketahui bernama Sunwoo. "C'mon dimmo, eat shit and die. No problem, nanti aku juga beli di sana."
"Yeah, guap are hella fuckhead—okay, see you soon, Sunwoo."
Jaemin tertawa saat Sunwoo mengacungkan jari tengahnya. Diam-diam Jeno menyayangkan Jaemin bergaul dengan teman-teman yang seperti itu. Maksudnya, jika kau berada di lingkungan barbar, tentu orang lain mengecapmu barbar juga, walaupun kau orang tersuci di dunia.
"Bisa ulang pertanyaanmu, Jeno?"
"Sebenarnya shiftmu belum selesai, kan?" Jeno menilik wajah di depannya. Jika dilihat sekilas tidak ada yang menyangka seberapa banyak umpatan yang keluar dari mulut manis itu. Jaemin tersenyum ramah, terlihat lebih bahagia setelah mengejek temannya yang katanya salah satu bentuk kasih sayang.
Tiba-tiba lelaki Na tertawa, sampai cangkir Jeno bergetar. "Aku bebas melakukan apapun di cafe ibuku. Lebih baik menghabiskan waktu di sini daripada—yeah, you know what i mean." Jaemin tersenyum separuh ketika Jeno berjengit kaget, "Tenang. Walaupun ibuku pemilik bar, cafe ini bersih untuk disinggahi orang sesuci dirimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stitches +NoMin
FanfictionYour words cut deeper than a knife. I'll be needing stitches. Jeno need someone to sew him. warn! au, ooc, BAHASA, yaoi, sensitive content, harsh-word, NoMin. || __STITCHES__ || NoMin's Story ||