06

898 130 28
                                    

Jaemin menggeram rendah. Handphone di tangannya, yang retak di beberapa sisi sampai menu home tidak bisa ditekan lagi dan tidak berniat menggantinya dalam waktu dekat dengan alasan malas memindahkan file, menyala. Menampilkan isi pesannya dengan Jeno yang tidak dibalas.

"Katakan saja, aku tidak akan menjudgemu, tetapi kamu tidak membalasku," ulangnya separuh kesal. Menggigit bibir bawahnya penuh gemas, "C'mon. Don't beat about the bush, Jeno." Jaemin menaikkan lengannya, membiarkan menutupi penglihatan untuk sejenak. Menghalau lampu menyilaukan ruang istirahat yang berada di dalam cafenya, sengaja dibangun untuk pergantian shift atau ketika pegawai cafe tidak punya tempat lain untuk beristirahat dengan tenang -----dalam konteks ini, Jaemin juga.

"Tidak. Kamu, Jaemin. Kamu, Na Jaemin. Tentang kamu," rapalnya berkali-kali, "You are fucking shit such a dimmo," ejeknya pada diri sendiri. Apron kelabu dengan garis putih di pinggirnya masih melekat memeluk tubuhnya yang kurus. Jaemin baru saja menepuk salah satu pelayan cafenya yang baru datang, mengucapkan kalimat-kalimat penyemangat setelah terkekeh bahwa dia akan bersantai di ruang istirahat sampai pukul tujuh malam dan kembali lagi untuk membantu nanti.

"Jangan terus bekerja, bos. Jika kau terus saja membantu, nanti gajiku berkurang!" kekeh sang pelayan ramah.

Jaemin baru saja mendudukkan dirinya, berniat untuk menelepon beberapa teman sekolahnya untuk bertanya tentang ada tidaknya tugas esok hari. Sebelum satu notifikasi pesan menarik seluruh atensinya, dari Lee Jeno.

Wajah Jeno mampir di benaknya, terpampang jelas. Bagaimana rambut Jeno yang mengingatkan Jaemin akan kunyahan oreo manis yang melebur dalam mulutnya, memberi sisa-sisa rasa asik dan terus ingin mengunyahnya sampai habis; dipotong rapi membalut wajah si pangeran tampan yang selalu saja bersinar. Mata dengan manik sepekat obsidian yang kadang membuat Jaemin tersenyum akan hitamnya angkasa dengan beberapa butir bintang berpendar indah. Hidung lancip dengan garis-garis tegas membentuk kesempurnaan, membuat Jaemin bernostalgia ingin menyusuri lekuk hidung itu, yang terlampau runcing dan tinggi. Bibir merah mudanya yang tipis, berkooperatif luar biasa baik membentuk lengkungan bulan sabit ketika bibir itu menyunggingkan senyum lucu.

Mata Jaemin memanas, ketika desiran lembut dirasakan arterinya, "Don't do that," bisiknya pada diri sendiri, "You can't love him, you can't love Lee Jeno. Please." Dia menarik napas, menarik helai rambutnya sendiri, memaksa untuk sadar sepenuhnya walau tidak mengerti akan kerja berlebihan jantungnya saat dihadapkan dengan aroma Jeno yang berada di sekelilingnya, merengut napas Jaemin dalam satu tarikan, memenuhi ruang itu sampai rasanya akan meledak. Dan Jaemin harus mati-matian memasang wajah normalnya di tengah rasa merusak dada.

Jaemin menggeram lagi, dengan mata tertutup mengutuk hatinya yang bodoh. Jeno itu suci; dia terlahir dalam naungan Tuhan, percaya pada Tuhan, menyembahnya seolah hanya Dia yang satu-satunya yang pantas disembah. Benar, Tuhan memang seperti itu. Mendapat seluruh berkah Tuhan dalam balutan hidup nyaman tak bernoda. Kedua orang tua yang juga luar biasa suci menjadi sosok pendukung orang lain untuk mencapai kemurnian juga. Dalam agamanya itu, menurut Jaemin, Jeno seratus persen masuk surga. Tunggu, memang siapa Na Jaemin hingga dapat memutuskan seperti itu? Dia hanya seorang remaja kotor dengan kehidupan penuh dosa. Setidaknya itu yang Jaemin pikirkan tentang dirinya.

Jaemin pernah dengar, dulu sekali. Terukir di salah satu bagian otaknya. Ingat dengan benar saat itu musim panas, matahari terik sekali membakar ubun-ubun setiap orang, katanya orang yang tidak memiliki agama tidak akan masuk surga atau neraka. Keberadaan mereka akan mengambang di atas batas itu, yang gelap, menyakitkan, hampa, butuh pertolongan, kemudian hilang seolah tidak pernah ada keberadaannya di dunia.

Jaemin mendengarnya saat berteduh, tersenyum menatap hamparan ladang hijau dan dimanjakan suara gemericik air sungai yang mengalir. Beberapa anak desa keluar untuk bermain, hanya memakai kaus seadanya dan celana pendek begitu kotor membawa ember-ember lumpur dan tertawa riang gembira, seperti peduli setan dengan mentari yang menginginkan seluruh penduduk bumi meleleh. Jaemin setelah mendengar itu berdecih, mengetatkan dagunya dengan arogan, lalu berdesis, "Urus saja urusanmu sendiri, dasar makhluk suci."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stitches +NoMinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang