05

509 117 15
                                    

Na Jaemin


untuk beberapa waktu, aku tidak bisa bermain denganmu

yah, jangan terlalu sering bermain denganku. nanti bosan

lmao.jk

bukan itu maksudku

tapi, ya sudahlah
cukup tahu, kalau kamu orang yang termenyenangkan yang pernah kukenal

wait for a minute, brat

eh, maaf dengan kata brat-nya. itu ingin nulis bro, tapi tersenggol :'((

but, what a fudge? kau mau mati atau sejenisnya? terasa seperti perpisahan

yang pasti bukan seperti itu. ada sebuah alasan

alasan konyol?

katakan saja, aku tidak akan menjudgemu atau semacamnya
  
  

Jeno menjatuhkan handphonenya. Menunduk menatap nanar layar yang menampilkan chat-nya dengan teman terseru yang pernah ia kenal. "Bukan masalah menjudge...," bisiknya entah pada siapa, "tetapi aku takut kamu sakit hati."

Jeno meremas seprainya penuh emosi, seakan-akan menyeruak memenuhi dadanya dan dengan sial ingin dilepaskan lewat air mata atau teriakan. Namun, Jeno harus menahan diri. Dia mengatur napasnya, berusaha untuk meluruskan saraf-sarafnya yang kusut. Ayahnya tidak pernah mengajarkan untuk mengeluarkan amarah dengan cara yang kasar, lebih tepatnya tidak boleh. Dia dituntun untuk selalu tenang, dapat mengontrol diri dengan benar. Jeno juga tidak akan menangis untuk hal semacam ini. Namun, astaga tiba-tiba perutnya mual.

Tidak bertemu dengan Jaemin bukanlah akhir dunia, tetapi hanya Jaemin tempatnya bisa menertawakan berbagai macam hal dengan bebas. Tidak tertawa terpaksa seperti candaan teman-teman di Santa Maria yang kebanyakan adalah tentang agama. Berteman dengan orang seperti Jaemin, yang dengan lantang berbicara jika dia tidak punya agama, tidak percaya dengan Tuhan atau hal tentang itu, membuat Jeno merasakan banyak hal yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Keseruan dalam hidup, sudut pandang orang lain yang netral dan banyak hal lain.

Jeno terkekeh miris. Dia tidak pernah merasa menyesal terikat begini. Maksudnya, Ayahnya terlalu protektif. Membatasi lingkup pertemanannya, jika bukan dari jemaat yang sama sejak Jinhyyk ketahuan memiliki penyimpangan seksual. Ayahnya harus tahu siapa orang tua sang teman, bagaimana seluk beluk kehidupannya, kenakalan besar apa yang pernah dilakukan, apa yang dibicarakan setiap harinya. Tiba-tiba Jeno seperti anak anti sosial, hanya bermain dengan sepupu-sepupunya; yang juga anak Santa Maria, datang ke gereja yang sama setiap hari Minggu, yang saat liburan lebih memilih untuk menjadi biarawan-biarawati dadakan.

Namun, dia tidak bisa bilang kepada Jaemin bahwa Ayahnya tidak suka dengan pertemanan mereka. Karena Jaemin lagi-lagi akan membahas seberapa kotor dirinya yang makan dari uang minuman keras, sekolah dari uang menyediakan tempat untuk berbuat dosa, hidup enak dari uang bar yang jauh dari kata suci menurut orang-orang. Dan tentang dirinya yang tidak percaya Tuhan.

Astaga, Jeno bahkan tidak masalah akan hal itu.

Otak Jeno serasa diperas, kelimpungan atas permintaan sang Ayah. Dia tidak bisa begitu saja pergi dari sisi sang kakak setelah mengiris luka semakin tajam. Dia tahu Jinhyuk sudah terbiasa, karena dari awal kakaknya itu selalu bertanggung jawab. Namun, itu kakaknya, tempat yang lebih nyaman daripada orang tua sendiri. Jeno takut mengakuinya,tetapi memang begitu.

Stitches +NoMinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang