Prolog

46 8 8
                                    

Awanya satu, kemudian separuh terkoyak habis lalu kau tinggalkan, coba mencari, aku dapati yang lebih, kemudian separuh dari tersisa hilang bersama kabut. Sekarang tegak dengan sisa dari sisa, kejam!

Kumandang dari surau menandakan, bahwa kita memanglah payah!

Kita kalah.
Kita cemburu pada semesta.
Hilang biarlah hilang, hancur biarlah hancur.
Karena yang pasti, pasti akan kembali lagi.
Kau tahu kan, semua sudah di atur!

Aku dan kamu tak akan menjadi kita.
Karena aku dan kamu tertakdir tak bersama.
Meski kita tahu takdir bisa saja mendesak.
Tapi keyakinan ternyata sanggup memisahkan.
Bila harus memilih, siapa yang kupilih?

Kataku atau kata-kata rumput yang bergoyang?
Tidak, ini bahasa hati yang hanya bisa diterjemahkan oleh rasa, bukan sekadar bahasa kata-kata.

Dalam rangkai kata penuh sajak saling melengkapi, bait syair penyejuk hati, bagi pujangga diakhir malam kala kantuk merajai nafsu, kau lagi-lagi tak paham!

Kembali kubaca kata demi kata dalam lembar diary yang telah usang, 5 tahun telah berlalu. Aku baru saja kembali ke kota ini setelah menyelesaikan kuliahku di negeri seberang. Tak ada yang berubah mulai dari cat kamar, susunan buku,  sampai bau pengharum kamarku masih sama.

"Mutiara, ayo kesini" terdengar suara Tanteku memanggil dari ruang tamu.

"Tunggu sebentar," jawabku setengah berteriak.

Rasanya baru kemarin aku melihat sosok Galang pergi meninggalkan rumah ini bersama sepotong luka.
Dimanakah dia sekarang? Sejak dia pergi aku tak lagi pernah mendengar namanya di telingaku.

"Mutiara ... Ayo cepat sini," suaranya kembali terdengar, lamunanku melayang sesaat.

Seperih inikah luka itu? Luka yang membatin, aku rindu akan kamu, tapi sekejap ingatanku kembali bahwa aku sedang membenci kamu dan berusaha untuk berdamai dengannya.

"Aku ini Perempuan, masih sakit luka itu, masih membekas" bisik hatinya mengenang masa lalu begitu pedih.

Ketika dunia meracuni otak dan hatimu... Ketika uang bisa membeli auratmu... Dan pujian itu bisa menanggalkan hijabmu....

TIDAK..... Kau salah saudariku
Kau orang yg rugi..
Kau kalah dgn nafsumu...
Kau memilih pujian dunia belaka
Kau memilih mendengarkan bisikan syetan...
Bukankah sangat jelas hadist itu bahwa Rasulullah SAW menangis melihat gambaran isi neraka yg kebanyakan adalah perempuan?

Ada apa dengan perempuan?

Dia mengetahui senyum pahitku dengan air yg mengalir dari tulang air mata, menggambarkan sekeras apapun, aku hanyalah wanita biasa, tak jauh berbeda dengan yang lain, punya senyum juga redup, punya tawa juga hilang, jangan salahkan aku, salahkan dia yang merubah cinta menjadi benci.

"Iya Tante,aku datang!" Sedikit tergesa-gesa aku mendatanginya..

Aku sadar, aku hanyalah seorang manusia yang penuh dengan kekurangan.
Teruntuk hati ini, tak payah engkau tergesa. Biarlah waktu yang menjawab, entah mendatangkan gejolak misteri atau mungkin bisa hilang ditelan oleh waktu.

"Kamu sedang apa? Kamu dicari sama teman kamu."
"Siapa Tan?"
"Liat aja sendiri. Dia pasti keturunan Arab." Jawab Tanteku dengan malu seraya pergi. Heran dan penasaran, aku berjalan ke ruang tamu.

Perlahan aku mendekati ruang tamu. Kulihat bayangan punggung orang itu. Benar tampak akrab seperti yang Tante bilang.
"Aku seperti mengenal punggung ini, tapi siapa ya? Dimana ya?" Bisik hatinya seolah Mutiara sangat kenal orang ini tapi sedikit hilang ingatan akan lelaki yang satu ini.
Aku adalah mahluk tanya. Sejuta tanya menghiasai akal sehatku. "Siapa" "siapa" dan terus "siapa" sampai terlihat lelaki diruang tamu barulah hilang tanya itu.

"Hai. Mutiara." Sapanya meragu. Setengah tak percaya ku tatap lagi sosok yang ada didepanku ini.

"Fadlan?". Sembari ku coba untuk tersenyum kepadanya.

Fadlan adik sepupu Galang. Ada apa dia datang menghampirku disaat seperti ini?

"Apa kabar?". Tanyaku sambil duduk di samping Fadlan. Namun dia tidak menjawab pertanyaan ku.

Hening, yang terdengar hanya gemerincing sendok beradu dengan gelas yang berasal dari dapur
Fadlan tergagap melihat sosok Mutiara, kini Mutiara tak secantik dulu, badannya terlihat kurus, mukanya tirus. Tak ada lagi sosok wanita cantik putih bagai pualam, rambut sepinggul coklat menggerai indah. matanya yang coklat.
Fadlan tertunduk, seperih itukah cinta hingga bisa merubah Galang dan Mutiara seperti layaknya mayat hidup?.
Fadlan menggeleng, air matanya mengalir, terbayang Galang yang sedang merintih menahan sakit di sebuah rumah sakit jiwa di kota.
---------+++++----------
*5 tahun silam*

"Kenapa harus pergi? Tidak bisakah sekolah di tanah lapuk mu ini? Buat tanah ini mendeta kuasa diatas jajahan mereka, berminggu lagi kita akan menikah, menetaplah, aku rapuh tanpa cinta itu, setelah kehilangan orang tua ku, aku tak sanggup untuk kehilangan orang yang kucinta untuk yang kedua, akan hilang pikiran ku jika kau benar terbang menjauh" berucap dengan tangis, separuh akal Galang telah hilang, memohon dengan sangat.

"Tapi maaf Galang ini adalah keharusan, jangan khawatir, cinta itu akan tetap aku pegang teguh, tak akan hilang sedetik pun dari hatiku" dia terpaksa mengatakan, hatinya penuh luka saat meninggalkan dan menuju kamarnya dilantai atas.

++++++------++++++

"Untuk apa kamu ke sini?". Tanya mutiara mencairkan keheningan.
"Saya datang untuk melihat mu tiara", jawab Fadlan.

Emosi tiba-tiba memenuhi hati Mutiara, dia sama sekali tidak menduga kalau orang yang paling pertama dia temui adalah Fadlan sejak kedatangannya sebulan lalu. Dia sudah tidak mau berurusan lagi dengan Fadlan dan Galang.
"Untuk apa kamu ingin melihat ku",tanya mutiara lebih ketus lagi.
"Tidak perlu seketus itu padaku,Tiara. Harusnya aku yang marah padamu Semuanya hanya manis belaka. Kau tata kebohongan diatas kebohongan dengan indah. Kemudian semuanya terungkap dengan jelas. Kau tikam aku bukan dari depan atau belakang tapi dengan sepatah kata. "Aku mencintainya"", seru Fadhlan.
"Sudah, aku ikhlas dengan itu, dengan semua yang kau lakukan, insyaallah. Jangan kabarkan aku bagaimana keadaanmu. Bersikaplah biasa seolah kita teman jauh" Lanjut Fadlan.
Setelah menyelesaikan kata-katanya Fadlan berdiri dan melangkah pergi meninggalkan rumah mutiara tanpa berpamitan pada mutiara yang masih terpaku mendengar kata-kata Fadlan.

______+++++++_______

Kebohonganku ada alasan, bukan untuk keburukanmu. Tapi justru karena aku mencintaimu, aku berbohong.
Biarlah rasa yang ku pendam ini menyiksa batinku, karena aku ingin melihatmu bahagia.
Namun yang pasti, namamu akan terucap disetiap doaku. Karena aku terlampau mencintaimu.
Karena cinta dan sayang tak harus selalu memiliki.

Teruntuk mutiaraku selalu ada dipalung hatiku.

Surat dari Fadlan menemani malam sunyi Mutiara yang masih saja hanyut dalam fikirannya seandainya saja Fadlan tau bahwa alasan Mutiara meninggalkan negeri ini karena Mutiara mencintai Fadlan namun terpaku oleh hubungannya dengan Galang sembari menambah ilmu mungkin tidak akan berbuat seperti tadi siang kepada Mutiara.

Angin malam membawa lamunan Mutiara ke waktu pertemuan Fadlan dan Mutiara.
Perlahan Fadlan mengangkat kepalanya, bernafas panjang, menata wajah kearah Mutiara.
"Tinggalkan abangku, tinggalkan kak Galang, sudah cukup penderitaan, biarkan dia hidup layak manusia sehat. Tinggalkan!" Suaranya terdengar jelas, perlahan kemudian mengeras, sambil berdiri dia pergi meninggalkan Mutiara.
"Kenapaaaaa" teriak Mutiara, memecah keheningan rumah. Tapi Fadlan, pergi tak memperdulikan walau sebenarnya dia sakit melihatnya.
"Kenapa, kenapa, kenapa" terus mengalir pada bibir keringnya. Pandangannya masih tertuju padanya mengikuti Fadlan yang keluar rumah.

"Maafkan aku, maafkan, aku terpaksa, aku mencintaimu" kepergian Fadlan diiringi gemutan kata sepanjang jalan.

______$$$$$$_______

To be continue....

Prahara MutiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang