Bau tanah yang dibasahi embun pagi masih memenuhi indra penciumanku. Pemandangan langit biru dengan matahari yang melewati sela-sela pohon. Teras yang luas dari rumah panggung kayu, yang pastinya tidak akan aku dapatkan saat di kota.
"Masih pagi udah ngelamun aja kamu Rum," celetuk Tian.
"Justru karna masih pagi makanya dinikmatin, awan putih yang bergerak perlahan, memutari bumi sampai dia berubah jadi hujan di suatu tempat, pasti perjalanannya menyenangkan," jawabku sambil menarik sarung tangan kain yang berada tak jauh dari tempatku duduk.
"Tapi dia bergerak mengikuti angin, gak punya tujuan sendiri, kalau ada manusia yang kayak gitu, bergerak cuman sesuai perintah, susah lah..," Tian duduk diseblahku sambal menenteng pantofel hitamnya yang sudah bersih mengkilap.
"Walau dia dibawah perintah, tapi dia bisa keliling dunia? Kamu aja belum pernah kan? Malah terdampar di hutan kayak gini," Kataku menggoda Tian.
"Ini namanya pengabdian! Kalau mau jadi dokter di kota harus ke pedalaman dulu, intinya tetap kembali ke kota," Tian memelototiku, mengarahkan pantofelnya hampir ke wajahku.
"Iya tau yang anak kota, aku sih sampai mati juga bakal cuman di desa terpencil gini,".
"Gak maksud nyinggung kamu loh Rum, becanda aja ini, buktinya aku nemenin kamu nih di hutan," Tian melempar senyuman sambil mengedipkan seblah matanya, mencoba menyemangatiku.
"Jangan sok setia kawan kamu," Jawabku ketus dan diikuti tawaku sendiri.
"Oiii ka Arum, kau mau tanam bunga mawar kah di jalan setapak itu?" Suara melengking ini, sudah pasti kepemilikannya, bocah kelas 4 SD yang selalu masuk ke kebunku setiap hari.
"Iya Bim, mau aku tanam mawar berduri, biar kau tak masuk lagi ke kebunku, paham kau!" Teriakku.
"Jahatnya, jalan setapak milik ka Arum ni, jalan pintasku ke sekolah, malasnya aku mutar ke depan sana," Jawab Bima sambil berjalan mendekati teras rumahku.
"Jalan depan kan bagus Bim, dari pada kamu masuk hutan, kalau kau hilang, itu bahaya," Tian juga ikut menimpali.
"Tak bisakah kalian sisakan jalan segini ja? Sebadanku?" Bima mengangkat kedua tangannya, memberikan ukuran jalan setapak yang harus disisakan untuk dia.
"Iya kusisakan segitu, tapi duri mawarku sebesar kelingking? Gimana?" Bima yang sudah berdiri di hadapan kami, tiba-tiba mundur seperti merasa sangat kaget.
"Benar-benar, tega sekali kau kak denganku," Bima menjawab denga gaya bicara orang dewasa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Takut sekali kamu Bim, aku gak akan tutup jalan setapak itu, orang desa juga sering lewat sini, itu batang bunga mawar mau aku kirim ke pasar," jawabku sambil diiringi tawa.
"Eh, bajumu mana? Mau sekolah kok gak pake seragam?" Tian menimpali.
"Emang gak liat aku pake seragam? Ini celana merah," Tunjuk Bima ke celana merah ketat yang sepertinya dari kelas 1 selalu dia pakai.
"Seragam lengkap Bim, Putih Merah, kayaknya kemarin kamu pakai lengkap sampai dasi dan topi lewat sini sambil lari-lari," Tian menunjuk seragamnya sendiri, seolah dia menggunakan seragam sekolah lengkap.
"Kemarin kan senin, upacara di sekolah, harus lengkap, kalau hari lain pakai baju bebas," Jawab Bima dengan nada percaya diri dan membuatku tertawa terbahak-bahak.
"Udah ah, kamu kayak gak tau sekolah di desa aja sih Tian. Sana berangkat!" Kataku mengusir Bima.
"Dokter Tian, bisa periksa gigiku sebentar? Semalam aku rasa goyang gigi taringku, apa aku boleh cabut hari ini?" Rupanya Bima juga mau konsultasi gigi susunya, gak akan selesai pengusiran hama yang satu ini.
YOU ARE READING
Sebelum Cahaya
Teen FictionSemua orang di dunia ini hidup dengan kecanggihan teknologi yang setiap harinya semakin berkembang. Tapi apakah pernah kalian sadari? Diluar sana ada orang yang tidak pernah bisa menerima kecanggihan teknologi ini. Bukan karena mereka primitif. Tapi...