Delapan

419 24 0
                                    

Najwa duduk bersimpuh di seperempat malam yang sunyi. Di balik mukena putih itu ia duduk tertunduk dengan hati yang sayu. Tangannya tak sanggup lagi untuk meminta pada yang Maha Kuasa. Mulutnya tak lagi sanggup bergerak untuk mengutarakan isi hatinya. Air mata terus mengalir di pipi yang semakin hari semakin tirus nan pucat itu. Kini, hanya hatinya yang sanggup mengadu. Hanya hatinya yang sanggup bergemuruh.

Sudah empat hari Najwa di kediaman Firman. Ia terus berbohong terhadap orang tuanya. Dengan alasan Farhan sibuk dan lupa menitipkan Najwa langsung ke mertuanya. Tapi, Firman dan Tiana tidak bisa percaya begitu saja. Mereka tahu ada hal yang besar menghantam hubungan anaknya dan menantunya. Tapi ia percaya, hal yang baik akan hadir. Ini hanya kesalahpahaman yang dipungut oleh anaknya. Jelas Farhan tidak akan ke rumah itu apa lagi bertanya berulang kali. Karena Najwa langsung memohon pada Tiana untuk tidak mengatakan di mana keberadaannya pada sang suami.

Ya Allah ... apa kabar dengan suamiku? Apakah dia baik-baik saja? Atau dia sangat baik saat aku kita ada di sisinya? Apakah wanita itu membahagiakannya?

Suara hati Najwa mulai bertanya-tanya. Ia tak lagi mengeluarkan suara saat ini. Tidak ada lagi curhatan yang ia keluarkan dalam doanya. Tidak ada lagi curhatan yang mulutnya keluarkan pada Diandra maupun Tiana. Kini, hanya hatinya yang curhat. Mulutnya terkunci rapat. Untuk bercanda gurau seperti biasanya saja ia tak pernah lagi. Najwa menutup diri serapat-rapatnya.

Apakah ini jawaban atas doa-doaku, ya Allah? Haruskah hamba mundur? Sudah haruskah hamba ikhlas? Apakah suamiku rela menduakanku?

Banyak pertanyaan dan tangis keluar di malam itu. Sampai ia terlelap dalam sajadah yang terbentang di lantai rumah. Ia terlelap setelah lelah menangis dan meraung dalam hati. Tanpa disadari, darah mengalir di hidungnya. Ia tidur lelap bermimpi panjang di malam itu. Sampai subuh pun tak ia kunjungi.

Najwa terbangun begitu matahari masuk dari sela-sela tirai yang terbuka. Begitu ia menegakkan tubuhnya, rasanya kepala itu ingin meledak. Ia memegang kepalanya berusaha untuk bangkit. "Ya Allah. Sakitnya!" Rintihan demi rintihan keluar sampai Najwa berhasil berdiri tegak.

Tubuhnya semakin melemah. Tubuhnya semakin pucat. Hidupnya semakin berat. Nafsu makannya menurun drastis. Suhu tubuhnya meningkat. Ia tak sengaja menatap diri di cermin yang ada di meja rias. Ia tak terkejut atas penampakan pada tubuh dan wajahnya. Memang sudah berapa hari ini semenjak masalah antara dirinya dan Farhan muncul, mimisan itu sering mampir. Ia tahu apa yang menyebabkan itu mampir, tapi ia menghiraukannya.

"Miris sekali hidupmu, Na! Setelah manis, sampah dibuang. Bodohnya kamu sudah jatuh cinta dengan pria yang sempurna dan termakan rayuannya!"

Senyuman miris tergaris di bibir tipisnya. Ia meremehkan dan mengejek nasib yang ia terima. Ia berpikir, seharusnya ia tak terbuai dengan kata manis Farhan dulu. Apa lagi dengan kata-kata menerimanya apa adanya. Berjanji tidak akan mendua. Jelas ia sangat sakit hati begitu teringat kejadian hari itu. Kejadian orang lain memanggil Farhan dengan panggilan 'sayang'.

Najwa hendak merapikan mukenanya. Tapi gejolak yang ada di perutnya minta keluar. Ia langsung ke kamar mandi dan memuntahkan segala yang ada di perutnya. Hanya air berwarna putih kekeruhan yang keluar. Tubuhnya semakin panas. Dan mulailah timbul bintik-bintik merah yang mulai bertebaran. Tak ingin memikirkan kesehatannya yang memang dirinya sudah pasrah jika dijemput, ia langsung berbaring tidur setelah mengucapkan kalimat syahadat.

Najwa tidur terlelap sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Farhan terjaga begitu mendengar adzan subuh berkumandang. Ia meraba kasur di sisi kirinya yang ternyata kosong. Ia langsung membuka matanya lebar-lebar dan langsung terduduk bersila. Ia melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari sesuatu. Sampai ia menyadari suatu hal ...

Aku Bisa Bahagia (Series Bisakah Aku Bahagia?) #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang