Prolog

2.4K 98 7
                                    

Bangunan yang aslinya sudah berdinding tua, tetapi tertipu oleh pengecatan ulang tanpa renovasi, malam ini kedatangan tamu agung. Seorang perempuan belia melangkahkan kakinya menaiki tangga masjid. Didekapnya begitu erat sebuah Alquran usang tanpa sampul. Matanya melirik-lirik kanan kiri, sesekali ia menengok ke belakang, was-was.

Sepi, sunyi, tak tampak satu pun manusia. Lampu utama dengan berat 15 kg masih menyala indah di tengah ruang. Mengganti warna dinding hijau menjadi terlihat seperti oranye. Empat kipas angin pun masih menebarkan angin yang membuat masjid menjadi lebih dingin. Marbot masjid sengaja membiarkannya sebab ia tahu setelah salat isya akan ada halaqah tahfidz.

Tepat pukul 20.00 WIB aktivitas salat isya di masjid ini sudah selesai. Menjelang malam sesudah lenyapnya sinar merah di ufuk barat, perempuan itu harus hadir karena memiliki jadwal rutin setoran hafalan Quran dengan ustad Faiq, ustad paling muda di komplek madrasah ini.

Sebenarnya ia tidak sendiri sebagai murid tahfidz, ada 4 teman perempuannya yang berhalangan untuk datang. Awalnya ia ragu dan ingin izin juga. Sebab ia belum pernah berangkat sendiri, pun baru tiga minggu jadwal tahfidz diadakan. Belum akrab pula dengan ustad muda baru itu, pasti akan terjadi kecanggungan. Namun dari menjelang subuh hingga seharian ia telah bersusah payah menghafal. Tak mungkin ia tidak menghargai dirinya sendiri dengan membolos setoran.

Sayup-sayup suara ustad Faiq yang membaca surah An-Naba mulai memecah keheningan. Perempuan itu mempercepat langkahnya menuju serambi bagian kiri. Ia takut ustad Faiq sudah menunggunya terlalu lama. Karena bukan inilah sikap seorang santri. Santri sudah harus siap di tempat dan menunggu pengajar. Bukan malah pengajar yang menunggu santri.

Dijumpainya seorang ustad muda melantunkan ayat-ayat Quran tanpa melihat mushaf. Ustad yang memiliki hafalan Quran 30 juz itu agak kaget dengan kemunculan satu muridnya. Perempuan itu merasa tak enak hati melihat wajah ustad yang lesu dan matanya yang lelah.

"Yang lain ke mana? Belum datang?" tanya ustad Faiq mengakhiri bacaannya.

Perempuan itu mendekat tepat di hadapan ustad Faiq. Berjarak satu meter dan dibatasi oleh dua meja. Ia pun duduk bertimpuh menghadap kiblat dan meletakkan Alqurannya di atas meja.

"Hilwa dan hilya sedang ke luar kota, Naila berhalangan, dan Asma besok ada ujian, Ustad," jelasnya.

Ustad Faiq mengangguk memaklumi. "Mau seperti biasa, memperlancar tajwid dulu, atau mau langsung sekarang setoran?"

Perempuan itu tampak bingung. Ia belum sepenuhnya hafal dan ada beberapa bacaan yang harus diperkuat kembali. Namun hari sudah malam, pun di masjid ini hanya ada dirinya dan ustad Faiq.

"Saya mau hafalin sebentar, Ustad boleh pulang dulu," pintanya.

Rumah ustad Faiq memanglah sangat dekat, hanya lima langkah saja dari tempat wudhu pria. Namun, ustad muda itu tidak akan tega meninggalkan murid perempuannya sendirian di dalam masjid. Padahal perempuan itu lebih senang bila ustad Faiq pulang dulu. Ia yakin ustad Faiq dari salat magrib sampai sekarang belum pulang ke rumah.

"Baik, silakan menghafal. Lima belas menit lagi saya ke sini." Ustad Faiq beranjak pergi dari meja khusus pengajar. Sementara perempuan itu hanya mengangguk dan menunduk menatap mushaf Alquran.

Dibukanya surah Al-Baqarah. Tanpa mengeluarkan suara, ia dengan tenang mengingat ayat demi ayat yang sudah ia pelajari hari ini.

Tiba-tiba, suara pintu masjid yang terbuat dari besi bak pagar rumah melengking. Disusul suara seorang laki-laki yang terdengar sedang batuk kecil. Perempuan yang tadinya tenang menghafal, kini hatinya sangat terganggu. Ia sangat takut bila ada sesosok hantu. Sudah banyak cerita dari teman-temannya jika masjid ini banyak penunggunya. Asal muasal suara itu juga persis dengan cerita, ya! jin besar penunggu pintu masjid.

Namun ini di dalam masjid, perempuan itu yakin penunggu masjid adalah jin muslim yang baik hati. Mungkin jin itu hanya berniat menemani kesendiriannya. Tetapi perempuan itu tak butuh ditemani. Ia malah takut dan semakin merinding. Alih-alih konsen menghafal, ia malah mempertajam pendengarannya.

Suara batuk itu semakin kencang, ia berdiri dengan cepat dan berlari kencang keluar.

"Masyaallah, ustad Faiq ...," ucap perempuan lirih. Sontak ia mengerem kakinya untuk lari. Sumber suara laki-laki yang sedang batuk tadi adalah ustad Faiq. Ia duduk di tangga, jalan masuk dan keluar bangunan tua ini. Ternyata ia tidak pulang, malah menunggu perempuan itu di luar. Bergelut dengan dinginnya angin malam dan kegelapan dunia.

Mengetahui ustadnya sedang menungguinya, perempuan itu mengendap-endap kembali ke tempat hafalannya sambil membawa napas terengah-engah. Sesekali muncul senyum senang dalam bibirnya.

"Ya Allah, ternyata ustad Faiq masih di sini. Nungguin aku?" batinnya mulai gelisah.

Bagaimana dirinya tak gelisah, ustad muda itu sudah ia kagumi sejak pertama kali berjumpa. Bukan karena wajahnya yang sangat tampan, namun karena senyumnya yang ditebar pada semua kalangan. Ustad muda yang sangat baik hati dan dermawan. Ia selalu terbayang-bayang dengan statusnya sendiri, seorang pelajar sekaligus muridnya yang belum memiliki banyak ilmu. Bolehkah si wajah belia ini menyukai ustadnya sendiri? Pantaskah perempuan seperti ini bersanding dengan ustad?

Tidak! Perasaan itu hanyalah bagian kecil dari hidupnya di madrasah. Perempuan itu ialah seorang remaja yang semangat menimba ilmu. Mampu bersosialisasi dengan batita sampai orang tua. Kebahagiaan dan warna-warni dalam hidupnya, semua karena madrasah ini. 

Happy reading!

Tiga Puluh Juz UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang