Chapter 6

1K 61 22
                                    

~Aku mengenalnya.
Namun, ia tak mengenalku~

Namanya Muhammad Andika Maheswara, warga asli kampung sini. Hanya beda gang dengan rumah Nadia. Itulah sebab mereka tak saling mengenal. Ia satu tahun lebih tua dibanding Nadia. Nadia hanya tahu wajah dan nama. Pertemuan kemarin itu sebuah kebetulan yang tak pernah diharapkan. Nyatanya, tanpa kita berharap, doi datang sendiri.

Melihat kitab Alquran yang tersimpan rapi di dalam lemari kaca, membuatnya iba dengan dirinya sendiri. Ia teringat kesepakatan dengan Andika kemarin. Dirinya pun mengambil Quran dan menyelesaikan 1 juz. Kini ia mencapai juz 3. Hela napas panjang olehnya.

Bagaimana kabar bacaan Quran doi ya?

Lantunan ayat demi ayat dibaca dengan semangat. Meski yang terbayang wajah Andika, namun tetap niat utamanya adalah meraih ridho Allah. Biasanya ia hanya menyelesaikan satu ruku' saja, namun begitu berhenti pada tanda ruku', ia merasa rindu membaca Quran lagi. Tak hanya satu dua ruku' namun banyak ruku' ia lewati. Alhasil satu juz ia selesaikan lagi dalam sekali duduk usai salat.

"Shodaqallahul 'adziim— Alhamdulillah baru kali ini aku sesemangat ini! Baru kali ini aku baca satu juz sekaligus! Kudu di catat di rekor muri nih," celetuknya sambil menaruh Quran di lemari belajar paling atas. Ia baru belajar ilmu menyimpan buku dari pengajian ustad Arfan. Alquran ditaruh di tempat paling atas. Kemudian buku-buku pelajaran disusun berdasarkan kelasnya, dari bawah ke atas.

Aku udah sampai juz empat, Andika udah sampai mana ya ngajinya?

Waktu asar adalah waktu yang pas untuk melamun. Tentu melamun memikirkan sesuatu yang berfaedah. Nadia bernostalgia tentang masa lalunya yang tidak dekat dengan Allah dan Alquran. Pantas saja hidupnya dulu sangat monoton dan tanpa arah. Ia tak habis pikir mengapa dulu ia sering meninggalkan salat. Bahkan berbohong bila dipaksa bunda atau amak.

Ia memerhatikan beberapa daun yang kuning mengering. Bila ia masih seperti dulu, mungkin akan seperti daun itu. Menua tanpa menikmati masa hijau yang penuh keberkahan.

Ya Allah, tuntun hamba untuk menjadi perempuan yang baik di mata-Mu.

Hilya dan Hilwa muncul dari balik pohon pinggir jalan. Jalan yang membentang tepat di depan rumah Nadia. Mereka tampak kaget mendapati Nadia ada di depannya.

"Hilya? Kamu udah sembuh?" sapa Nadia.

"Eh— Ngg— udah! Alhamdulillah."

"Alhamdulillah sih, tapi— yakin kamu?"

Raut wajah Hilya dan Hilwa semakin suram. Lengkung senyumnya ragu-ragu seperti terpaksa. Matanya melirik-lirik satu sama lain. Sebuah isyarat batin terlontar tanpa sepengetahuan Nadia. Ada yang disembunyikan.
Hilya bingung harus jujur ataukah menyimpan rapat apa yang ia ketahui dengan Nadia, sahabatnya.

"Hil, kok ngalamun?" lanjut Nadia, "Hilwa, kakakmu kenapa? Masih sakit?"

Hilwa membisiki telinga Hilya yang tertutup jilbab berbahan kaus, "Kasih tahu ajalah mbak!"

Terdengar samar-samar namun Nadia bisa menangkap kata demi katanya. "Kasih tahu apa? Hil! Ada apa sih?"

Hilwa menyenggol sikut Hilya dengan sikutnya. Nadia bukan anak psikolog tapi ia paham gerakan seperti itu adalah ciri-ciri orang yang menyimpan rahasia dan ragu akan mengungkapkan.

"Maaf, Nad— sebenernya aku gak sakit," jawab Hilya.

Ada apa dengan sahabatnya ini? Ia pura-pura sakit kemarin supaya Nadia kerja sendiri membersihkan masjid? Bila iya, tega nian Hilya ini.

"Aku disuruh sama kang Sidiq," jawab Hilya dengan mudah.

"Aku gak ngerti. Apa sedang ada permainan di belakangku?" tanya Nadia yang menyimpan setitik marah pada Hilya dan- kang Sidiq.

Hilya menjelaskan semuanya. Diawali dengan ia bersumpah tidak akan mengkhianati sahabatnya sendiri. Kemarin pagi kang Sidiq datang menemuinya. Hilya sama seperti remaja lain, begitu excited dengan kedatangan ketua tanpa undangan bahkan janjian.
Di gubugnya, Hilya dan kang Sidiq ngobrol tentang kegiatan remaja masjid. Tadinya kang Sidiq minta Hilya untuk jadi ketua putri menggantikan mbak Hanum. Namun dirinya menolak sebab tahun depan ia akan mendaftar di pondok pesantren di luar kota. Hilya menyarankan kalau Nadia lebih pantas jadi ketua.

"Maafin aku, Nad. Sebentar lagi kamu bakal jadi ketua putri," ungkap Hilya.

"Hah? Apa hubungannya sama kamu pura-pura sakit?"

Hilya kembali menceritakan semuanya tanpa ada yang disembunyikan. Kang Sidiq sudah mengincar siapa yang bakal jadi ketua putra. Laki-laki saleh yang tak pernah tertinggal salat jamaah di masjid. Memiliki banyak relasi dan mampu bergaul dengan anak-anak kecil. Akhlaknya sudah tertata rapi, terlihat saat ia berbicara dengan orang tua. Sopan dan santun. Ialah Muhammad Andika Maheswara.

Andika pasti mau menerima tawaran kang Sidiq karena ia sangat patuh pada atasan. Sementara Nadia masih susah dan ragu-ragu.

"Aku pengen Nadia dan Andika bisa akrab dulu biar mereka kompak. Gimana ya, Hil?" kata kang Sidiq kepada Hilya.

Hilya menceritakan kalau Nadia, Andika, dan dirinya dihukum pak kyai membersihkan masjid. Secercah ide jahil langsung ditemukan kang Sidiq. Ia menyuruh Hilya tidak berangkat dengan alasan apapun. Supaya Nadia dan Andika bisa ngobrol dan saling mengenal.

"Tapi kang, akan ada dua dosa. Pertama, aku bohong. Kedua, membiarkan Nadia dan Andika berduaan padahal bukan mahrom," keluh Hilya.

Kang Sidiq membenarkan kalimat Hilya. Lampu-lampu terang di sekitar kepalanya mendadak padam.

"Kalau terpaksa, gapapa kali ya?" ucap kang Sidiq nyengir.

"Aih! Kang Sidiq ini, kayak belum punya ilmu aja deh!" canda Hilya.

Misi mendekatkan Nadia dan Andika tetap dilakukan. Dengan segenap kenekatan kang Sidiq demi tercapainya persaudaraan yang erat.

"Gitu, Nad! Jangan benci aku ya, kang Sidiq aja. Dia otak dari semua ini," jelas Hilya.

"Hahahaha! Kayak penjahat aja deh kamu Hil! Tapi emang iya deng. Nyebelin kamu ih."

"Maafin aku lah."

"Iya iya bawel," sahut Nadia.

Sore ini Nadia dan Hilya pergi ke masjid. Nadia membawa sapu lidi sebab ia tak mau lagi masuk gudang itu. Sedangkan Hilya membawa kosek WC.

"Nad, kita kan cuma suruh bersihin toilet dan tempat wudhu? Ngapain bawa sapu sih?" protes Hilya.

"Kata Andika kemarin, masak kita cuma berisihin dalemnya doang. Halamannya juga dong, gitu," jawab Nadia sedikit memakai gaya bahasa Andika.

"Halah dia mah sok rajin doang!" bantah Hilya.

Nadia menaikkan kedua bahunya tidak ingin menanggapi.

Sampai di masjid, Andika sudah berdiri lemas mengosek bagian dinding berkeramik di toilet pria. Ia tampak letik dengan balutan keringat yang menetes pelan bagai kran yang kehabisan air. Kaus putih yang kemarin masih dipakainya. Maklumlah laki-laki, tidak merasa risih dengan keringatnya sendiri. Berbeda dengan perempuan yang berkeringat sedikit saja langsung ambil tisu.

To be continue!

Hi! Terima kasih yang udah baca sampai sini. Next chapternya sebentar ya! Masukin reading list dulu aja😂
Penulis lagi ada urusan, jadi belum bisa ngetik dulu :')

Tolong vote and comment juga ya :)


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tiga Puluh Juz UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang