Chapter 2

975 58 3
                                    

~Alquran adalah pemberi syafaat di akhirat. Bila di akhirat yang besar saja mampu, apalagi cuma di dunia? Ia akan lebih memiliki kuasa besar~

"Allahu akbar allahu akbar ...."

Adzan magrib sudah berkumandang. Mendengar kalimat takbir dari muadzin itu, hati Nadia berdebar. Perasaan seolah mengguncang jantungnya. Kaki meminta haknya untuk berjalan ke masjid. Hati minta asupan dari pahala salat berjamaah. Sementara otak dan pikiran tertuju pada soal matematika yang mematikan bila tidak dikerjakan.

"Sekali-kali deh ke masjid!" gumam Nadia.

Nadia mengambil wudhu dengan doa-doanya di setiap basuhan. Sudah lama ia tak menarasakan nervous seperti ini. Dipakainya mukena warna cokelat tua, mukena yang masih sama dengan mukena lima tahun yang lalu. Bukan karena ia tak mampu membeli, ia sudah membeli mukena berkali-kali. Namun, bila yang lama masih bagus dan selalu membuat kita nyaman, why not?

"Bunda, Nadia ke masjid dulu ya," pamit Nadia menyusul sang bunda di dapur. Bunda terlihat kaget dengan ucapan Nadia. Tumben dirinya mau ke masjid.

"Eh, iya, Nad," jawab bunda sambil memotong sayur kacang.

Nadia melangkahkan kakinya ke masjid. Menengok kanan kiri saat sampai di perempatan. Dari kanan ada bapak-bapak dan tiga anak laki-laki yang hendak menuju masjid. Di sebelah kiri ada seorang anak perempuan dan ibunya yang sama-sama memakai mukena putih. Dan dibelakang Nadia ada satu laki-laki dewasa yang berdehem menyalipnya.

Nadia menghirup panjang udara petang. Dirasakannya aroma orang-orang bijaksana. Yang berlomba-lomba datang ke masjid maupun beberapa motor dan mobil yang baru pulang kerja.

Sampai di masjid ia terkejut. Di bagian tempat wudhu pria yang terbuka, banyak sekali remaja cowok nongkrong di situ. Bukan untuk antre, namun merokok dan sekadar mengobrol. Di halaman masjid pun tersebar belasan motor, mungkin milik warga yang rumahnya jauh. Saat masuk, serambi dipenuhi masyarakat dari berbagai kalangan. Yang tua duduk anteng lebih mendekatkan diri pada Allah. Tasbih berada di tangan keriput mereka. Sementara yang muda asik berbincang dan bertegur sapa dengan yang lainnya.

Nadia nyaris canggung dengan semua orang. Sebab tahun-tahun ini ia memang jarang keluar rumah. Ia duduk di dekat lemari Quran.

"Subhanallah walhamdulillah walaa ilaa ha illallah. Allah. Allah. Allah. Ya Allah. Robbi zidni ...."

Lantunan pujian itu sangat menggetarkan hati Nadia. Nadia seperti terbawa ke zaman kecil dulu. Didengarkannya dengan seksama. Lantunan pujian dari orang yang memiliki suara serak basah. Pandangannya berusaha menerobos puluhan jamaah laki-laki untuk melihat sang muadzin.

"Nadia? Ngapain clingak-clinguk begitu?" sapa seorang perempuan yang memakai mukena warna hijau lupus.

"Hilya? Eh, enggak. Itu siapa sih yang pujian?" tanya Nadia.

"Kenapa? Suaranya bagus ya? Naksir? Cie cie ...."

"Dih, enggak Hil! Orang cuma tanya doang," sahut Nadia salah tingkah.

"Itu Andika. Kamu pasti gak kenal, kan? Dah lama gak ngaji," jelas Hilya.

"Dia anak kampung sini juga? Kok aku gak tahu ya ...."

Tiga Puluh Juz UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang