Chapter 4

761 39 4
                                    

~Berbahagialah jika kita diberi amanah. Sebab memang bukan kita yang meminta, namun amanah itu datang sendiri memilih kita. Iyaa, kitaa~

Bintang mulai menyemaratakan kawanannya. Sebagai pemenuhan latar langit malam. Kata amak Nadia, itu tandanya nanti malam akan sangat dingin. Pasti amaknya akan menyuruhnya memakai selimut tebal. Amak adalah ibu dari bunda Nadia. Dari kecil amaklah yang merawatnya saat bunda dan ayah bekerja.

Ah, amak, Nadia rindu ....

"Bunda, Nadia malam ini tidur di rumah amak ya?" pinta Nadia.

"Gak ke masjid lagi kayak kemarin?" timpal bunda.

"Ngg- besok aja kali ya?"

"NADIAAA ... NAD— NADIAAA" teriak seseorang dari luar rumah.

Nadia bergegas keluar, didapatinya batang hidung Hilya. Rapi mengenakan mukena dan sajadah di bahunya. "Ayo ngaji!" tukas Hilya.

"Mmm. Besok ya? Aku mau ke rumah amak. Lagi ada tugas organisasi juga nih," jelas Nadia.

"Besok kapan, Nad? Kalau alasan kamu karena tugas sampai kapanpun akan besok dan besok terus. Gak ada lagi kata sekarang. Kamu gak akan pernah sempat."

Nadia yang hanya mengeluarkan setengah badan dari pintu kini keluar dan duduk di lantai beranda rumah. Hilya mendekat dan ikut duduk bersamanya.

"Allahu akbar allahu akbar,
Laa ilaa ha illallaah ...."

Adzan berhenti dan disusul dengan syair pujian oleh sang muadzin.

"Nadia, bintangnya ambyar yak."

"Tadi aku udah lihat sama bunda."

"Bulan itu kayak kamu ya. Dikelilingi ribuan bintang. Bintangnya kita ibaratin tugas dunia kamu. Banyak banget kan?" ucap Hilya.

Nadia termenung, "Maksud kamu, Hil?"

"Begitulah aku memandangmu. Seperti kita melihat bulan itu. Dia cuma satu tapi harus membagikan sinarnya pada ribuan bintang. Bener sih, ia sanggup. Tapi bulan lupa gak ya, kalau sumber energi terbesar itu adalah matahari?" jelas Hilya.

Hilya tersenyum pada Nadia yang mungkin sudah paham.

"Allah Maha besar, Nad. Ayo ke rumahnya, ke masjid. Dia bisa menyelesaikan semua tugas kamu. Asalkan kamu selalu prioritaskan Allah."

Nadia mengangguk.

"Buruan ambil mukena, keburu iqomah ntar!"

Rumah Nadia dan masjid sangat dekat. Hanya melewati satu perempatan saja sudah sampai. Daritadi mereka melangkah dengan kalimat istighfar. Setiap langkah adalah istighfar. Kata Hilya, biar jalan kakinya lebih berfaedah dan berkah. Tak lupa mereka berdua menebar senyum pada setiap orang yang ditemui. Pun bersalaman ketika jumpa dengan sesama perempuan.

Kehangatan dalam bertetangga dan bermasyarakat ini sudah lama tak dilakukan Nadia. Ia begitu senang dan lega. Terbesit perasaan cinta pada kampungnya, yang lama ia tak masuk di dalamnya.

Begitu pun saat sampai di masjid. Hilya mengajak Nadia bersalam-salaman dengan semua jamaah perempuan. Mulai dari bayi hingga lansia dan mulai dari belakang hingga ke depan.

Tiga Puluh Juz UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang