Chapter 5

735 40 4
                                    

~Remaja yang selalu dibanggakan Allah adalah remaja yang hatinya terpaut pada masjid~

Siang berganti tugas dengan sore, kini lelahnya matahari membuat bahagia penduduk bumi. Suasana yang segar tanpa sengatan sinar ultraviolet dan sebelum gelap datang. Namun, tidak terlalu segar bagi Nadia. Ia harus memenuhi hukuman dari pak kyai, datang ke masjid untuk membersihkan tempat wudhu dan toilet. Sementara di rumah saja tidak pernah, bagaimana caranya ia bisa membereskannya? Kalau bunda tahu, Nadia bakal dapat ejekan bertubi-tubi.

"Di rumah aja gak pernah pegang sapu, sok-sok mau bersihin masjid," ucap sang bunda yang mampu mendesak Nadia untuk jujur padanya. Sebab tak biasanya perempuan manja itu pamit ke masjid tanpa mengenakan pakaian muslim. Ia hanya diam saja dan membiarkan kebenaran itu mengalir dari mulut bunda. Jika dibantah berupa pembelaan, sampai besok pun tak akan usai.

Sudah pukul 16.00 WIB Hilya tak kunjung datang. Padahal salat asar berjamaah di masjid pun sudah selesai daritadi. Apakah Hilya lupa atau sengaja tidak mau datang karena masih belum terima dengan Andika? Namun ini adalah perintah pak kyai. Tak ada yang pernah menolak perintahnya.

Aku yang ke rumah Hilya saja deh!

Kaus panjang polos yang berwarna senada dengan jilbab segiempatnya, tampak matching dengan celana training yang ia pakai. Nadia tidak membawa apapun. Ia pikir, satu-satunya masjid yang berdiri di kampungnya itu apa iya tidak memiliki alat bersih-bersih?

Seharusnya Hilya yang datang ke rumah Nadia. Sebab rumah Nadia lebih dekat dengan masjid. Nanti pun bila Nadia yang menghampiri Hilya, artinya ia akan melewati rumahnya lagi.

Belum sampai di depan rumah Hilya, ia bertemu dengan Hilwa, adik kandung Hilya.

"Eh Hilwa, darimana tuh bawa tas plastik?" tanyanya.

Hilwa mengangkat tas plastik putihnya dan menatapnya sekejab. "Ini? Beli jenang kak, hehe."

"Oh— eh ya! Hilya di rumah kan?"

"Iya tuh lagi nonton TV. Mbak Nadia mau ke rumah? Ayo mbak!"

Nadia dan Hilwa hanya menuruni jalanan setapak, rumah Hilya berada di bawah dataran rumah-rumah yang lain. Maklum, tanah di kampung, tidak semua rata. Tapi ini menjadikan nilai eksotis tersendiri.

Hilwa masuk rumah untuk memanggil kakaknya. Sementara Nadia duduk di kursi beranda rumah.

"Mbak Nadia, ternyata mbak Hilya lagi sakit. Tiba-tiba demam gitu. Katanya, mbak suruh datang aja ke masjid," jelas Hilwa.

"Hah? Sendiri?" lanjut Nadia dengan wajah pucat pasi, "Mana bisa? Aku gak tahu alat bersih-bersihnya di mana. Lagi pula, bayangin deh, masak aku sendirian bersihinnya, emang aku marbot masjid apa?"

"Ya gimana lagi, mbak?"

"Bentar deh aku mau ngomong dulu sama Hilya!" pinta Nadia.

"Eh, maaf mbak, mbak Hilya pusing banget udah tidur. Mending mbak Nadia cepetan deh keburu ditunggu pak kyai," saran Hilwa.

Membenarkan kalimat Hilwa, Nadia pamit dan melangkah ke masjid ditemani beribu tanda tanya. Ia bingung sebab belum pernah bicara dengan pak kyai. Apalagi ia tak menguasai wilayah masjid. Jangan-jangan peralatan bersih-bersih ada di gudang tempat menyimpan keranda dan payung untuk orang meninggal!

Tunjukkan jalan-Mu, ya Allah.

Sampai di masjid, rumah pak kyai sepi. Tidak ada kehidupan di sana. Semua pintu dan jendela tertutup rapat. Jemuran yang biasa menggantung di samping juga tidak tampak. Beranda yang biasa dijadikan tempat singgah dua buah motor pun bersih.

Tiga Puluh Juz UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang