[10] Partner?

64 9 8
                                    

"Yaudah, berarti Areta belum bisa percaya sama Abang. Areta anggap bahwa Abang gak sayang sama kita," ujar Areta menyudutkan.

Panca menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Percuma saja ia berdebat dengan adiknya, toh memang belum waktunya ia untuk mengerti apa yang terjadi.

"Dan ...," Areta menyipitkan matanya mengintimidasi.

"Areta juga berhak menaruh curiga sama Abang," ujar Areta.

"Hah? Apa Areta?" tanya Panca berusaha mencerna kata-kata adiknya itu.

Apa gue harus curigain Abang gue sendiri? Sementara gue kan belum punya buktinya.

Areta menggigit bibirnya, ragu. Apa yang harus ia katakan? Ia memang menaruh curiga dengan Panca, karena ia masih sebal dengannya lantaran ia terlihat tak peduli dengan papahnya dan juga Areta. Tetapi, ia juga tidak bisa seenaknya menuduh Panca begitu saja tanpa bukti. Bukan tipe Areta banget.

Aaah, gak mungkin.

"Engga Bang, lupain aja," ujar Areta mengalihkan.

Panca pun mengangkat pundaknya tak paham.

Panca membuka ponselnya, lalu terlihat ia sedang mengetik, sepertinya ia sedang mengirimkan pesan kepada seseorang.

"Bang, euh— gue mau bilang sesuatu nih," ucap Areta sambil menggaruk telengkuknya.

Panca pun beralih menatap Areta, lalu kembali lagi menatap ponselnya, "Hm, ngomong aja, pakai izin segala."

Bagaimana Areta harus memberi tahu Panca soal dugaannya? Apa ia bakal percaya?

"Euh— anu Bang, kok gue ngerasa ada yang janggal ya sama kecelakaannya Papah?" Areta akhirnya melontarkan pertanyaan kepada Panca, walaupun dengan penuh keraguan.

Panca yang terlihat sedang mengetik keyboard ponselnya itu langsung menghentikan aktivitasnya ketika Areta melontarkan pertanyaan tersebut. Pandangan Panca langsung beralih ke Areta.

"Euh— maksud gue, ya hm— Areta ngerasa aja ada yang aneh gitu Bang, Abang ngerasa gak?" Lanjut Areta.

Sedangkan, yang dimaksud langsung memusatkan perhatian penuh pada Areta. Ya, Panca kini tengah memperhatikan Areta entah mulai kapan. Raut wajahnya terlihat tenang, karena memang sudah kepribadiannya, namun terlihat dari matanya yang seperti sedang mencerna baik-baik perkataan darinya, Areta bisa melihat itu.

"Kenapa kamu bisa bilang gitu, Areta? Apa kamu punya buktinya?"

"Belum sih Bang, ini baru dugaan Areta aja. Soalnya, Areta punya firasat gak enak aja soal Papah. Makanya, Areta nanya soal ini ke Abang. Gimana menurut Abang?" Tanya Areta menunggu reaksi Panca.

Panca berpikir sejenak, "Hm, kalau menurut Abang, mungkin kamu belum bisa terima dengan keadaan Papah, jadi kamu banyak memikirkan hal yang aneh-aneh. Wajar kok, cuma kamu juga harus lebih banyak istirahat aja," ujar Panca.

"Hm, gitu ya Bang? Tapi, Abang tau gak, kecelakaannya tuh terjadi disaat Papah mau ke pemakaman Mamah. Bukannya hari itu pun keberangkatan Abang ke Bali? Trus, hari itu juga hari dimana aku dipilih jadi siswi terbaik di sekolah ku. Aneh gak sih Bang?" tanya Areta seakan ia belum puas dengan pikirannya.

Panca terdiam, masih mencerna perkataan Areta. Lalu ia mengangguk-anggukan kepalanya, "Hm, kok bisa gitu ya? Abang juga bingung Ret," Panca tersenyum kepada Areta.

"Nah, itu dia bang, makanya Areta juga masih menduga-duga masalah ini," ujar Areta sambil menunjukkan jari telunjuknya.

"Yaudah, kamu istirahat gih, udah malem loh, besok kan kamu sekolah," ujar Panca mengalihkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nice To Meet You (Too) [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang